1

12.3K 578 12
                                    

Dear, Kika.

Kamu percaya kalau Tuhan itu Maha Mendengar?

Dulu, aku pernah berkata pada-Nya. Kalau suatu saat Dia mengirimmu kembali padaku, itu artinya aku masih diberikan kesempatan.

Sebulan itu adalah waktu yang terlalu singkat bagi pernikahan, apalagi untuk sebuah cinta. Tapi, tahukah kamu? Saat akhirnya kata cerai itu terucap, ada sesal dan luka yang tertinggal. Aku telah melewatkan sebuah kesempatan.

Kita hanya sedang dipisahkan, untuk dipertemukan kembali suatu hari nanti. Entah kapan. Aku hanya bisa berharap.

Keenan.

***

Saat itu, aku tak pernah menggubris email yang pernah dikirim Keenan lima tahun lalu. Sampai akhirnya, aku harus menerima kenyataan, lima tahun kemudian, Keenan menjadi atasan di tempatku bekerja.

Pengantin bodoh itu aku dan Keenan. Menikah dalam rentang waktu 30 hari. Hanya berisi perkenalan, membahas mantan, dan rencana perceraian. Satu lagi, aku lupa. Dihiasi banyak pertengkaran. Tidak ada kemesraan atau pun romantisme pengantin baru.

Hampir tidak terjadi kontak fisik, kecuali yang pernah Keenan lakukan saat hari terakhir kami sepakat untuk bercerai.

"Ka, aku mau cerai tapi dengan satu permintaan."

"Apa?"

Keenan menghampiriku, mendekatkan wajah. Lalu mendaratkan kecupan kecil di kening.

"Menciummu. Anggap saja itu ciuman kenangan kalau kita pernah menikah. Biar kamu tidak kangen sama aku."

Setelah itu, kulayangkan sebuah pukulan tepat di pipi kanannya.

"Dan itu kenang-kenangan dari aku!"

Sebuah pukulan rasanya cukup untuk meninggalkan jejak lebam di wajah tampannya.

"Kalau tidak ada yang mau sama kamu. Kamu boleh cari aku," sahutnya sambil meringis memegang pipi.

"Nggak akan. Kecuali di dunia ini tidak ada lagi makhluk bernama lelaki."

Rencana pernikahan itu bukan keinginan aku maupun Keenan. Setelah lulus, pada saat idealisme sebagai mahasiswa yang baru mengenakan toga sedang membumbung tinggi. Keinginanku adalah bekerja untuk menghasilkan uang. Menikah ada pada urutan sekian. Mungkin pada usia dua puluh lima, bisa juga lebih sedikit.

Begitu juga dengan Keenan. Yang kuingat dia lebih sering cerita tentang kisah cintanya yang kandas karena pernikahan kami. Tidak pernah kudengar dia berencana apa pun dengan masa depannya, kecuali satu. Menikahi mantan pacarnya.

Orang tua kami adalah sponsor utama sekaligus sutradara yang sebenarnya. Dikiranya kami adalah teman masa kecil yang juga akan cocok menjadi teman hidup. Hanya gara-gara pernah bermain bersama saat aku masih jadi bocah ingusan berkepang dua. Padahal aku ingat pun tidak.

Keakraban dan jalinan persahabatan Ayah kami berbuntut perjodohan. Kebetulan, aku dan Keenan sama-sama anak sulung dan berbeda jenis kelamin. Klop untuk sebuah rencana perjodohan!

"Yaelah, bengong! Makan siang, yuk?" ajak Tantri yang kusambut dengan segera bangkit dan mengikutinya sampai ke tempat makan. Restoran yang tak terlalu ramai di depan gedung perkantoran.

"Gimana Mas Keenan? Ganteng, kan?" Tantri mulai menyantap makan siangnya, berseloroh tentang penampilan bos di kantor ini.

"Kalian manggil dia Mas?"

"Kebanyakan sih gitu. Ada juga yang manggil dia 'Pak'. Tapi sangat jarang. Mas Keenan itu owner sekaligus CEO di Creative Indonesia," jelas Tantri menyebut posisi Keenan.

Mantan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang