'Kenapa masih 5 April? Kapan waktu akan berjalan lebih cepat?'
Queen beranjak dari kasurnya dengan nyawa yang belum sepenuhnya bersemayam di sana. Ia meraih handuk baru yang digantung di sisi kamar dan meletakkan ponselnya di atas meja rias. Queen memasuki kamar mandi dan membilas dirinya. Tak lama, hanya sekitar 20 menit saja. Berlama-lama di kamar mandi tidak membantunya menghilangkan Athala.
"Sial."
Suara scarf yang tertarik dengan cepat menandakan Queen sedang terburu-buru. Ia meraih tas dan memakai high heels-nya dengan cepat. Setelah itu satu panggilan masuk ke ponselnya.
"Ya, Mami, aku sedang di jalan menuju alamat yang mami kirim.... Apa? Tolong beritahu bahwa aku akan sampai kurang dari 10 menit.... Terimakasih, Mami."
Madam Shu memberi kabar bahwa pelanggannya itu sudah tak sabar dan meminta kepastian dari Queen. Queen yang tidur pukul 2 pagi itu pun akhirnya kesiangan.
"Duh, benar ini 'kan? Lantai 7 nomor 1," bibirnya tampak merapal. Queen mengetuk pintu itu dengan yakin dan saat pintu terbuka Queen pun masuk begitu saja. Sesaat kemudian pintu tertutup dan Queen pun berjengit.
"Athala?"
Athala menarik tangan Queen dan menggiringnya ke ruang tengah tanpa menatap Queen terlebih dahulu.
"Sejak kapan kau gemar meneguk wine?" Queen bertanya seraya mendudukkan dirinya di lantai yang tertutup karpet lembut.
"Sejak pencarianku tidak berbuah manis." Athala menuang red wine itu kedalam sloki. Tidak sampai penuh, tapi aromanya menguar cukup kuat dari sana. "Earthy. Aromanya membuatku seperti berada di tengah hutan."
Menenangkan. Queen meneguknya dalam sekali shot. Queen melirik Athala yang meneguk wine miliknya dengan cepat. "Seperti sommelier sejati saja. Caramu membuka dan menerjemahkan wine itu."
Berulang kali mereka minum dan terlibat perbincangan singkat. Hingga tak terasa botol wine itu sudah kosong. Queen beranjak dan bertanya stok wine lainnya. Namun, lengannya ditahan oleh Athala.
"Madam Shu bilang kau hanya bermain dengan pria bernama Rama. Kenapa begitu?"
Queen terdiam. Ia melepaskan perlahan tangan yang masih menggenggamnya. Ia menoleh dan tersenyum manis. "Di mana wine lainnya, Tuan?"
Athala menunjuk ke sudut ruangan. Ia juga menjelaskan letak pasti di mana wine itu berada.
"Aku hanya menemukan white wine. Aku harap kau tidak teler seperti semalam, Tuan...," sindir Queen.
"Tentu."
Athala membuka wine itu dengan cekatan. Ia memutar perlahan lalu menariknya dengan sempurna. White wine yang mengalir perlahan kedalam sloki memunculkan aroma yang tak kalah jauh dari red wine. Aromanya seperti rumput hijau yang sangat segar. Kedua sloki itu beradu dan menimbulkan dentingan yang teredam oleh wine itu sendiri. Queen dan Athala mengaitkan lengan mereka yang sedang memegang sloki lalu meminumnya bersamaan.
"Aku bertaruh. 5 sloki dan kau teler, Tuan Athala."
Athala menyipit, matanya menangkap senyum yang terpatri indah di bibir Queen. Ia mengisi slokinya dan meneguknya lagi. Berulang kali, sampai kesadarannya berkurang 50 persen.
"Kenapa Rama?" racau Athala.
Queen terdiam. Sudut matanya menangkap Athala yang meletakkan kepalanya di atas meja kaca. Queen beranjak dan meraih sloki itu, berniat menyingkirkannya. Sepersekian detik, belum sempat memindahkan, tangannya ditarik paksa oleh Athala.
"Lepas, Tuan."
Athala mendorong Queen sampai terbaring di atas sofa di sisi kanan meja kaca. Ia mencekal kedua pergelangan tangan Queen dan sedikit menindihnya sehingga Queen tidak bisa melepaskan diri.
"Kenapa Rama? Jawab aku, Zeva," racau Athala lagi.
Queen mencoba meronta, setidaknya agar cengkeraman tangan Athala mengendur dan Queen dapat melepaskan diri. Namun, Athala yang merasa tertekan tak akan membiarkan gadis di bawahnya lari sampai ia mendapatkan jawaban.
"Bermain apa, Zeva? Dan kenapa hanya dengan Rama?"
"Athala. Jangan memaksa. Lepaskan aku!" teriak Queen.
Athala tampak geram. Otaknya saat ini hanya berisikan tiga kosa kata. Queen, Rama, dan bermain. Athala tiba-tiba mendekatkan bibirnya dan tubuhnya semakin menindih Queen.
"Apa yang kau lakukan? Minggir!" pekik Queen saat Athala menjauhkan wajahnya.
"Kau melakukan hal itu dengan Rama, 'kan?" ujar Athala dengan tanpa ekspresi.
"A- apa maksudmu?"
Queen tahu ke mana arah pembicaraan itu akan bermuara. Ia benci mengingat dan mengutarakannya pada siapa pun.
"Jawab Zeva!" bentak Athala.
"Ya! Kau sama saja dengan Rama! Lakukan saja jika kau mau!"
Air mata Athala menetes satu demi satu. Ia memejamkan matanya, kenyataan pahit yang harus ia terima, ia gagal menjaga gadisnya.
"Maaf, ini semua salahku. Seandainya aku tidak dengan egoisnya pergi, paman tidak akan menjualmu." Isak tangis Athala terdengar pilu. Queen terenyuk. Athala tidak pernah menangis bahkan saat tertusuk pagar. Ia hanya akan meringis, Queen ingat betul saat itu.
"Kau tau dari mana masalah itu?"
"Tidak penting. Mulai saat ini kau harus tinggal di sini, denganku."
"Heh. Dan membiarkan rumor murahan itu tersebar? Jujur saja, aku senang kalau kau hancur, tapi aku tidak mau reputasiku yang buruk menjadi lebih buruk lagi. Mengertilah, kita tidak lagi berada di jalan yang sama."
Athala menatap mata gadisnya. Selama ini tidak pernah ada kata berakhir yang terucap. Athala menyayangi dan mencintai Queen bagaimanapun kondisinya.
"Aku sudah punya Rama. Dia memang perusak, tapi kau pun tak ada bedanya. Dengan setengah mabuk memojokkanku. Sial."
Athala melepas cengkeramannya. Kepalanya sakit sekali. Perlahan ia menurunkan kepalanya dan menjejalkan wajahnya pada ceruk leher gadisnya.
"Aku sudah di sini. Jangan pergi lagi, sayang."
Tidak boleh ada animo, Queen.
To be Continue
Hai!
Kalian boleh bgt krisar cerita aku, komen aja ya
Klo typo juga silahkan komen nnti lsg ku benerinBuat yg bingung apa sih sommelier dan animo, nih aku ksh sedikit garis besarny ya ^^
Animo : hasrat atau keinginan yang kuat
Sommelier : org yg ahli membuka atau mnyajikan wine dengan camilan
Jangan lupa kalo kalian suka, vote dan masukin cerita ini ke library kalian ya ^^
See you on the next chapter ^^
Bubye~
KAMU SEDANG MEMBACA
1 APRIL : Queen-Athala [END]
RomanceTepat pada tanggal 1 April, Athala dan Queen sama-sama melihat dengan jelas keberadaan masing-masing. Namun, tak ada satu pun yang berusaha maju. Queen lebih memilih berlari, sedangkan Athala hanya diam di tempat. Apakah mereka benar-benar menanti s...