Aku cepat mengayuh sepedaku. Kulihat jam tanganku seakan berputar begitu cepat. Saat ini yang kukejar hanyalah waktu.
"Qiela, kamu harus bisa. Bayangkan saja kau mengejar pria-pria bodoh yang ingin sekali kau tampar pipinya." Aku menyemangati diriku sendiri.
Jam tujuh kurang tiga menit. Untung saja aku bisa mengejar waktu. Seperti biasa, tiga hari yang lalu aku selalu saja melihat pak Narto hampir menutup pintu gerbang. Tiada alasan lagi mengapa aku selalu bangun siang. Menonton film, aktivitas yang tak bisa aku hindari. Setiap malam aku selalu menonton film di layar laptopku hingga tidur larut malam.
"Cepat neng! Eneng selalu datang kesiangan." Pak Narto pun hafal kalau aku langganan datang terlambat.
"Iya pak." Aku hanya meringis melihat kesabaran pak Narto.
"Udah neng, cepat masuk!"
Aku masih saja memegangi sepedaku.
"KRING....KRING...." Bel telah berbunyi. Astaga akankah aku harus dihukum untuk kesekian kalinya.
"Pak Narto, tolong parkirkan sepeda saya." Aku menyodorkan sepedaku kepada pak Narto. Lalu aku berlari secepatnya.
"Tapi neng." Pak Narto terlihat kebingungan..
"Tolong saya pak. Saya takut dihukum lagi." Aku menjawabnya sambil berlari tanpa menoleh kepada pak Narto.
Aku berlari melewati ruang-ruang kelas. Waktu, waktu dan waktu. Mungkin hanya waktu yang tak bisa aku hentikan.
"Assalamu'alaikum." Aku gemetar tapi aku juga merasa kesal jika mengingat perlakuan Angga, ketua OSIS yang tidak waras itu.
Namanya bagus tapi tidak dengan hatinya.
Dengan rasa gemetar dan takut aku beranikan diri untuk masuk.
Untunglah pria-pria bodoh itu belum berada di kelas. Tapi aku lihat semua siswa telah duduk rapi.
Senang, lega, kesal, dan takut. Entahlah apa yang sebenarnya aku rasakan. Yang aku tahu saat ini hanyalah perasaan jengkel dan hasrat dendam yang belum terwujudkan.
"Astaga kau terlambat lagi. Untung saja kak Angga dan kak Vito belum datang." Tio, pria berkacamata dan sedikit lebay itu sepertinya merasa simpati kepadaku.
"Kenapa kau selalu terlambat Qiel?" Silvi, gadis yang juga berkacamata menanyakan alasan kepadaku.
"Apa kau selalu tidur larut malam Qiel?" Maya, Silvi, dan Tio saja yang selalu ramah dan sering menyapaku.
"Sudahlah, cepat duduk." Tio, ia sangat peduli padaku. Tapi aku tak mungkin menyukainya. Ia laki-laki tapi sangat cupu.
Tak lama setelah aku duduk. Tibalah pangeran-pangeran gila yang tengah ditunggu-tunggu.
"Semoga aku betah hari ini." Hatiku selalu berharap dan berdo'a. Walau kenyataannya tak banyak harapanku yang terwujud.
Suasana kelas sepertinya gembira atas kedatangan mereka. Tapi aku sama sekali tidak merasakan itu. Hatiku sudah tertutup rapat untuk mereka berdua.
"Selamat pagi adik-adik." Kak Angga menyapa semua siswa.
Aku terpaksa memanggil mereka dengan sebutan 'Kak'. Mereka adalah senior kami, tapi sifatnya bagaikan makhluk yang haus kebahagiaan.
"Apa kabar adik-adik semua?" Kak Vito, ia menyambung sapaan kak Angga.
Sungguh aku merasa bosan dengan perkataan manisnya. Sok akrab, sok dekat, dan juga sok romantis. Mungkin aku jijik dengan perkataan mereka. Tapi aku selalu berharap supaya Tuhan selalu melimpahkan hidayah-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Putri
RomansaQiela, seorang gadis manis dengan ketiga sahabatnya yang baik. Melewati lika-liku perjalan cinta dengan pria yang sangat menyebalkan. Pria bodoh, itu nama yang diberikan Qiela. Namun, dalam perjalan cintanya ia harus berhenti di tengah jalan. Akank...