1. | Bunda dan Kenangan Pahit

479 30 0
                                    

Sebuah tangan terulur menyentuh barisan tuts piano.

Sedikit berdebu. Artinya piano ini memang jarang digunakan. Tentu saja. Karena pemiliknya malah betah berlama-lama tinggal di negara orang. Tanpa ada niatan untuk kembali lagi.

Netranya tanpa sengaja tertubruk pada satu bingkai foto yang terpajang rapih di atas piano itu. Foto dengan tiga orang di dalamnya. Seorang gadis yang sangat mirip dengannya itu sedang mengenakan toga dan jubah khas orang wisuda. Tersenyum lebar sambil memegang satu buah buket bunga. Di kanan dan kirinya ada dua orang paruh baya yang juga tersenyum bangga pada gadis itu.

Gemma tersenyum sinis. Sebegitu bangga dan cintanya kedua orang tuanya pada Jemima. Iya. Foto itu bukan foto dirinya yang sedang merayakan kelulusannya. Melainkan foto kakak kembarnya yang sekarang sudah tiada.

Tentu saja orang tuanya tidak akan repot-repot datang dan membawa satu buket bunga ketika dia wisuda. Karena memang dia tidak pernah menempuh pendidikan tinggi seperti kembarannya itu. Terlebih dia bukanlah Jemima yang selalu mereka elu-elukan.

Tidak ingin mengingat kenangan-kenangan pahit yang hanya akan membuatnya tersiksa, Gemma beranjak dan menuju sebuah ruangan yang berada di sebelah piano miliknya.

Tapi itu pasti akan terasa sulit. Karena rumah ini begitu menyimpan banyak kenangan pahit. Setidaknya untuk dirinya.

Pulang ke Indonesia bukanlah hal yang tepat untuknya. Itu berarti akan membuka luka lama yang sudah kering. Membangkitkan memori kelam yang sudah dia kubur dalam-dalam. Lagipula definisi pulang menurutnya, bukan pulang ke rumah ini. Ini bukan rumahnya. Bukankah, rumah adalah tempat yang selalu ingin membuatmu kembali dan merasa nyaman. Yang terdapat banyak cinta di dalamnya? Cih! Gemma bahkan tidak bisa merasakan semua itu di sini.

Dengan perlahan, dia membuka sebuah pintu yang catnya sudah berganti menjadi putih. Ruangan itu adalah kamarnya. Mantan kamarnya. Tidak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya yang sudah berbeda dari yang dulu pernah dia lihat. Kamarnya ini berubah seratus delapan puluh derajat. Gambar-gambar karyanya telah raib. Begitu pula hasil karyanya yang ia torehkan di tembok. Kamar itu begitu rapih. Tidak ada satupun barangnya yang tersisa. Bahkan ranjangnya pun di ganti.

Entah kenapa, semua ini membuat hati Gemma tiba-tiba mencelos. Seperti ada yang mencubit hatinya. Seolah-olah dia sudah benar-benar tidak di anggap oleh keluarga ini. Apa sebegitu nistanya dia sampai hal kecil seperti ini pun mereka ubah?

Lamunannya terputus kala suara berat menyapanya di balik pintu kamar yang memang sengaja dia buka.

"Merindukan kamarmu, huh?"

Joseph William Ostroff menghampiri cucunya yang sedang duduk di tepi kasur. Mengusap rambutnya pelan.

Gemma menggeleng. Tidak. Dia sama sekali tidak merindukan kamar ini. Rumah ini. Keluarga ini. Dia saja sebenarnya enggan pergi ke rumah ini lagi. Kalau bukan karena di paksa oleh kakek dari pihak ayahnya ini, Gemma tidak akan pulang. Meskipun hujan badai menerpa dunia. Meskipun kiamat telah dekat. Sebenci itu dia dengan rumah dan isinya ini.

Namun Joseph tentu mengingatkan Gemma, bahwa bagaimanapun dia harus pulang. Tentu untuk menghormati Jemima yang telah berpulang kepada Yang Maha Kuasa seminggu yang lalu.

Ya. Sudah seminggu mereka ada di Indonesia. Selama itu pula Gemma menolak tinggal di rumah ini. Dia lebih nyaman tinggal di hotel. Padahal ayahnya bersikeras agar Gemma mau menginap di sini.

"Menyimpan kebencian dalam diri itu bukan tindakan yang tepat Gemma,"

Joseph meraih tangan mungil miliknya. Menggenggamnya erat.

Notice Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang