Bagian 1 (Areta)

90 5 1
                                    


Sepasang mata Areta tak juga beranjak dari monitor. Fokus menatap satu wajah yang terpampang di sana. Wajah yang berbeda dengan wajahnya kala muda. Wajah itu kini tampak lebih mature. Seulas senyum menghiasi bibirnya yang sebagian tertutup oleh kumis tebal. Keningnya lebar, dan kepalanya separuh botak. Padahal dulu, rambutnya lurus dan lebat. Disisir rapi ke belakang. Ada belahan pada bagian kiri kepalanya.

Kata nenek, orang kening lebar seperti itu pertanda orang pintar. Reflek, Areta meraba keningnya. Lebar. Bahkan luas. Apalagi bila rambutnya dikuncir kuda . Cukup untuk pendaratan pesawat Boeing, demikian Dudi anak tetangganya sering meledeknya. Tapi Areta tak pernah peduli pada kening lebarnya. Juga pada ejekan-ejekan Dudi.

Areta menghela napas. Wajah di monitor itu, reflek melayangkan ingatannya pada Harry Dubois. Teman dunia mayanya tiga bulan terakhir ini. Semula, Areta hanya tertarik pada namanya. Berharap, Harry Dubois memiliki hubungan kekerabatan dengan Eugene Dubois, lelaki yang gambarnya tak lepas dari pandangan Areta sejak bermenit-menit lalu itu. Mereka memiliki nama depan yang sama, juga struktur wajah yang mirip. Namun Areta baru berani menanyakannya sebulan lalu. "Untungnya", harapan Areta tak jauh meleset. Harry memang salah satu cicit Eugene. Namun entah kenapa, Harry enggan bicara banyak. Areta juga tak berani bertanya banyak tentang Eugene pada Harry meski telah lama ia penasaran dengan sosok Eugene Dubois. Sejak ia mulai tergila-gila pada kisah penemuan fosil-fosil manusia purba, dan Eugene Dubois, adalah salah satu penemu fosil paling spektakuler di tanah Jawa.

Kriinggg! Areta tersentak. Jam istirahat berakhir sudah. Ia mengentakkan kakinya keras-keras pertanda kesal. Tak hanya karena keasyikannya berkelana di dunia maya harus berakhir, tetapi nyaring bunyi bel itu kerap membuat gendang telinganya serasa mau pecah. Ia yakin, siapa pun yang punya penyakit jantung, saat mendengarnya bisa terkena serangan jantung mendadak. Atau bahkan tewas seketika. Hiii!

Areta mematikan komputer . Sejenak memandang sekeliling. Sepi. Selalu saja, dia menjadi siswa terakhir di perpustakaan. Untungnya, alasan berada di perpustakaan adalah alasan paling dimaklumi, alias nggak bakal dimarahi kalau terlambat masuk kelas. Apalagi jika kedua tangannya udah memeluk erat buku-buku pinjaman yang tebal-tebal. Bahkan guru Areta paling killer pun, nggak bakal berani negur.


Gerbang TrinilWhere stories live. Discover now