🐠 Delapan Belas

1.7K 252 11
                                    

[Jangan lupa tinggalkan jejak ya, teman-teman. Vote n comment. Aku tahu kalau kalian juga tahu caranya menghargai.]



















Rabu, 10 Juli 2019









Minhee meletakan erlenmeyer terakhir yang tadi diambilnya di rak yang ada ruang preparasi setelah proses steril selesai. Selanjutnya, ia berjalan pelan ke arah ujung rak kayu di tengah ruang kultur fitoplankton, di mana ada sebuah erlenmeyer berisi cairan berwarna hijau hingga skala 1000 ml. Secarik kertas aluminium menutupi bagian mulut erlenmeyer dengan sebuah selang aerasi yang menyelip di antara mulut kaca erlenmeyer dan kertas aluminium. Cairan hijau itu adalah hasil kultur fitoplankton berjenis Tetraselmis chuii miliknya dan Eunsang. Pak Gigih memang menyuruh mereka untuk melakukan kultur sendiri dan menghitung kepadatan mikroalga hasil kultur mereka itu setiap hari. Setidaknya, ada ilmu lain yang mereka dapat selama PKL ini.

Saat sedang asyik mengamati cairan hijau di dalam erlenmeyer itu, Eunsang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kultur dengan dua potong kaca kecil di tangannya—namanya hemositometer. Hemositometer adalah alat yang digunakan untuk menghitung jumlah sel secara cepat dan dapat digunakan untuk konsentarasi sel rendah.

Lelaki manis berambut merah itu lalu meraih sebuah tisu yang terletak di sisi bagian depan papan tulis putih yang di gantung pada dinding di sisi pintu. Tangannya lalu bergerak perlahan untuk membersihkan hemositometer.

“Ini udah hari ke berapa sih, Min?” tanyanya ketika ia sudah berjalan ke arah Minhee untuk siap mengambil sampel cairan hijau tadi.

Minhee sendiri terlihat sedang melepas selang aerasi yang mengalirkan udara ke dalam erlenmeyer—sebagai suplai oksigen untuk si Tetraselmis yang hidup di dalam sana—agar dapat mengambil beberapa tetes cairan di dalam sana untuk dijadikan sampel.

“Hari ke enam,” jawabnya kemudian, lalu menutup ujung selang dengan ibu jari tangan kanannya sementara tangan kirinya bergerak untuk melepas kertas aluminium dari tutup erlenmeyer. Gerakan selanjutnya yang ia lakukan adalah mengeluarkan selang dari dalam erlenmeyer dan dapat terlihat sedikit cairan yang menyangkut pada ujung bawah selang. Ia selanjutnya membawa ujung bawah selang itu ke permukaan hemositometer di tangan Eunsang, lalu melepaskan ibu jarinya dari ujung bagian atas selang—sehingga cairan itu mengalir ke luar dari selang ke badan hemositometer.

“Harus hitung sampai hari ke berapa sih, sebenarnya?” Eunsang bertanya lagi, kini dengan gerakan meletakan sepotong kaca yang tadi dibawahnya juga ke atas badan hemositometer yang sudah ada cairan hijau tadi.

Minhee sendiri tak langsung menjawab. Ia sibuk mengembalikan selang aerasi ke dalam erlenmeyer, menutupnya kembali dengan kertas aluminium, lalu memasang kembali ujung selang aerasi pada pipa yang yang mengalirkan oksigen.

“Gak tahu, tapi kalo dilihat dari itu,” Minhee menjawab kemudian, dagunya lalu menunjuk papan tulis putih yang berisi beberapa tulisan tentang jenis fitoplankton yang dikultur dan lain sebagainya, “pakan fitoplanktonnya dikultur dengan siklus empat hari panen. Tiap empat hari dipanen dan dikultur lagi. Kalo ada larva tiramnya, kita cukup hitung sampe hari ke empat, karna di hari ke empat udah dipake buat pakan larva tiramnya.”

Eunsang mengangguk kecil, lalu memberi isyarat pada Minhee agar mereka keluar dari ruang kultur segera. Karena sesungguhnya, ruang kultur itu sangat dingin. Hal itu karena suhu di ruang kultur disesuaikan dengan suhu lingkungan tempat hidup si fitoplankton yang dikultur di sana.

“Tapi larva tiramnya gak ada, Min,” Eunsang berucap ketika mereka sudah keluar dari ruang kultur, “terus kata bu Rati, sebaiknya kita hitung terus, sampai hari di mana kepadatannya menurun.”

[1] PRAKTEK KERJA LAPANGAN || HwangMiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang