Prologus

33 5 3
                                    

"Manusia adalah makhluk terumit yang pernah Tuhan ciptakan melebihi malaikat dan iblis."


Kisah Fuyumi, Natsume dan segala argumen yang mereka lontarkan untuk dunia yang semakin membingungkan ini.

Mood Board

Yukimura Fuyumi

Yukimura Fuyumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Honou Natsume

"Should we start our party tonight?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Should we start our party tonight?"

.

.

.

Hokkaido, Japan.
Saturday, 7th of October 2017
13.16 JST

"Anda yakin dengan keputusan anda?"

Suara seorang gadis manis bersurai merah hati menyadarkan lamunan sosok lelaki berperawakan tinggi dengan rambut ikal brunette acak dan jas labor kusam yang sedang ia pakai. Pikirannya melayang-layang setelah mendengar argumen lawan bicaranya yang cukup membuat orang pintar seperti dia, Professor Sasaki takjub.

Sang professor tersenyum yakin. "Tentu saja, anak muda."

"Berapa persen?"

"120%! Hahahahaha!" Jawab lelaki berusia 45 tahun tersebut dengan lantang penuh percaya diri. Tidak ada nada serius sedikitpun di dalamnya.

Gadis yang duduk berhadapan dengan Sasaki memijit keningnya yang berkerut. Ia bisa merasakan sirkuit otak di dalam kepalanya bisa meledak kapan saja jika dirinya masih berlama-lama di tempat ini.

"Aku bisa kehilangan kewarasanku jika mendengar tawa iblismu itu sekali lagi."

"Terima kasih pujiannya, nona manis."

"Aku tidak sudi memujimu, professor gila. Aku heran kapan kau terakhir mandi karena baumu lebih buruk daripada bangkai tikus!" Jawab sang gadis mulai kesal. Dan tentu saja tidak lupa dengan sarkasmenya yang tidak kenal tempat.

Sekali lagi Sasaki hanya bisa tertawa mendengar nada begitu jengkel dari tamunya ini. Lihatlah betapa lelaki berkepala 4 itu ingin sekali memotret wajah gondok sang gadis yang bisa ia gunakan sebagai penangkal bala di rumahnya.

Tak ingin rumahnya dihancurkan oleh sosok di depannya, Sasaki berdeham, menetralkan tawanya.
"Oke langsung saja, bagaimana permintaanku?"

"Ini." Sang gadis mengeluarkan sesuatu dari bomber jacketnya, meletakkan diatas meja yang ternyata sebuah hardisk. "Ini akan sempurna sendiri seiring waktu berjalan."

Tanpa basa-basi, Sasaki menyambungkan hard disk itu ke laptopnya yang kebetulan sedang menyala diatas meja yang ada di samping sofanya. Sekali lagi ia dibuat takjub dengan magnum opus ciptaan sang gadis. Bibir keringnya menyeringai sembari jemari kurusnya berdansa diatas keyboard laptop. "Oh, beritahu berapa bayaran yang kau--"

"--Tidak perlu. Cukup transferkan saja ke 'dia'. Aku tidak butuh uang." Potong sang gadis bersurai merah hati tiba-tiba.

Alis Sasaki menukik sebelah. Tiba-tiba ia merasa atmosfi yang panas tadi berubah menjadi dingin. Ingin menanyakan alasan gadis muda itu namun ia rasa itu bukanlah urusannya.

"Aku cukup tercengang, lho. Padahal uang itu cukup untuk hidupmu di hari tua nanti." Celetuk Sasaki saat laptopnya berbunyi bahwa hard disk tersebut berhasil dipindai, mencoba mengalihkan topik yang lebih baik.

Sang gadis menggeleng pelan. Mata indahnya menatap pantulan dirinya di permukaan earl grey dalam cangkir porselen Meissen.

"Jalan yang kupilih selalu berat. Sejak awal aku tidak percaya orang sepertiku akan memiliki akhir yang bahagia seperti di dalam dongeng pengantar tidur, hidup panjang dan dengan orang terkasih." Bisa terdengar ada perasaan yang begitu pahit dalam kata-katanya meski ia mengatakannya dengan nada datar andalannya.

Sejujurnya Sasaki tidak merasa enak mengetahui bagaimana sosok di depannya ini menjadi musuh pemerintah dunia. Kalau Sasaki berada di posisi sang gadis, ia takkan bisa setangguh itu.

"Nantikan saja bagaimana takdir membawa ke akhir kisahmu sesungguhnya." Hanya itu yang bisa Sasaki katakan saat ini sambil menepuk bahu kiri sang gadis. Dirinya tidak bisa menebak berbagai probabilitas jika itu masalah alur permainan Tuhan yang bernama 'kehidupan' meski terlahir sebagai jenius yang suka bermain dengan hipotesa.

Sang gadis menarik senyum tipis. Ia bangkit dari kursi sofanya. "Baiklah, urusanku disini sudah selesai. Selamat tinggal, Professor."

"Apakah kau akan kembali lagi?"

Sebuah pertanyaan sederhana itu sukses membuat sang gadis menghentikan langkahnya yang akan meninggalkan ruang tamu keluarga .

Terlihat sebuah senyum simpul yang terukir di bibir sang gadis. Tipis namun terselip keraguan disana.

"Mungkin tidak." Gadis berumur tujuh belas tahun itu akan melanjutkan langkahnya namun Sasaki menahannya lagi.

"Jika ada waktu, aku ingin kita bertukar pikiran lagi seperti dulu."

"Itu jika kau masih ingat untuk hidup. Semoga sukses ya, pak tua." Gadis itu berbalik badan, melanjutkan langkahnya yang terhenti. Meski dengan nada sinis yang biasa ia lontarkan, tampaknya sang professor tidak mampu menebak ekspresi dibalik topengnya yang mengintimidasi itu.

"Kau juga, nak."

Kali ini Sasaki tidak bisa menahan tamunya lagi. Ia tahu sesuatu buruk akan terjadi setelah gadis itu pergi, memindah tangankan mahakarya yang luar biasa kepada ilmuan seperti dirinya. Sasaki mengenggam hardisk yang ia genggam, berharap pemberian sosok tersebut mampu menjawab sebuah obsesinya selama ini sembari melihat punggung sempit nan rapuh itu menghilang dibalik lorong rumahnya.

.
.
.
.

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ferro CordeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang