3

6K 445 7
                                    

Hujan baru saja reda. Ribuan tetes air yang turun jatuh meresap ke bawah tanah, sebagian besar lagi masuk ke selokan, menyusuri sungai, sampai akhirnya bermuara di laut lepas. Cahaya matahari yang mulai meninggi, tak sanggup menembus gumpalan awan yang menghias langit.

Hari libur dan cuaca mendung adalah perpaduan sempurna untuk bermalas-malasan di tempat tidur. Tapi tidak dengan hari ini. Begitu hujan reda, kembali kujelajahi jalan menuju toko buku untuk menambah koleksi buku yang sudah lama kuinginkan. Ada banyak hobi dan kesenangan yang biasa orang lakukan, dan bagiku membaca adalah salah satu kesenangan itu.

Menjadi single happy adalah tujuan jangka pendekku saat ini. Membahagiakan diri sendiri tanpa harus terlalu mendengar apa kata orang. Masih sendiri pada usia kepala tiga, sangatlah tidak mudah. Tak jarang mendapat tatapan kasihan dari orang-orang. Seolah-olah aku termasuk makhluk tak lazim.

Bagi sebagian orang, terutama di kota-kota besar, menjadi lajang atau memilih untuk tidak menikah menjadi salat satu pilihan bahkan sebuah gaya hidup. Sebuah pilihan sadar dengan berbagai macam alasan. Setidaknya ada dua alasan yang mengemuka. Pertama, pertimbangan materi. Menikah butuh biaya. Belum lagi kalau sudah memiliki anak. Sementara biaya hidup semakin hari semakin mahal. Alasan ini membuat sebagian orang memilih menunda pernikahan, menunggu mapan secara finansial.

Alasan kedua adalah tidak mau ribet dengan urusan rumah tangga. Menikah berarti bertambah tanggung jawab. Menafkahi anak-istri, mengelola konflik, menyatukan perbedaan dan masalah tetek bengek lainnya. Rumitnya konsekuensi menikah membuat orang yang secara mental belum siap, memilih tidak menikah. Bahkan ada yang secara ideologis menolak lembaga pernikahan karena dianggap hanya menjadi alat perbudakan suami terhadap istri. Para feminis radikal bahkan ada yang memilih menjadi lesbian daripada harus menikah dengan laki-laki.

Pilihan untuk tidak menikah atau menunda menikah adalah pilihan sadar sebagian orang. Tentu saja buatku saat ini lebih kepada keadaan. Entah di mana jodoh itu disembunyikan. Bukankah jodoh itu selalu rumit dan misterius? Tidak bisa dipecahkan menggunakan rumus fisika atau pun matematika.

Beberapa buku yang tampak menarik kukumpulkan terlebih dahulu. Ini terlalu banyak. Tidak semua buku harus dibaca, seperti tidak semua kisah harus diselesaikan. Bagiku buku yang bagus itu isinya mengena di hati, memantul di otak, menginspirasi dan menggerakkan nilai kebaikan.

“Mbak Kika?”

Terdengar seseorang menyapa. Aku menoleh. Raka tersenyum ramah, tangannya memegang beberapa buku.

“Mas Raka? Di sini juga?”

“Iya, sekalian ngajak anakku jalan-jalan,” jawab Raka sambil menunjukkan gadis kecil di sampingnya.

Anak perempuan itu terlihat lucu dengan jilbab merah yang sedikit berantakan. Kedua tangan mungil itu memegang buku cerita anak.

“Wah, cantik sekali. Namamu siapa, Shalilah Kecil?” Aku menyejajarkan tinggi dengan berjongkok. Kurapikan sebentar jilbab merahnya.

“Chika,” jawabnya malu-malu. Kutaksir umurnya kisaran 5 tahun.

“Udah sekolah?”

“TK Tante,” jawabnya lagi memperlihatkan gigi kelincinya yang menggemaskan.

“Ini namanya Tante Kika. Dia ini teman Ayah,” kata Raka memperkenalkan aku kepada putrinya.

“Ayah aku mau es krim,” rengek Chika. “Kata Ayah mau beli es krim.”

“Iya, kita bayar ini dulu baru nanti beli es krim," ucap Raka dengan suara lembut.

Raka beralih menatapku.

“Udah selesai belum milih bukunya? Kalau tidak keberatan, aku dan Chika mau traktir kamu makan,” tawar Raka. “Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena telah memberi desain kafe yang memuaskan.”

Mantan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang