Bagian 1 (Perempuan Lain Itu Adalah Aku)

1.1K 38 1
                                    

"Suamimu ... selingkuh?" Kedua mataku dibuat membulat, sehingga Dita bisa mengira kalau aku benar-benar terkejut. "Kamu, yakin?" tanyaku kemudian

"Iya, Sin ...." Dita mengangguk sambil terisak. Lelehan bulir bening membanjiri kedua pipinya.

"Ya Allah ... sejak kapan?"

"Entahlah .... Tapi, sebulan terakhir dia mulai berubah."

"Berubah bagaimana?"

"Sering pulang telat dan sering uring-uringan ga jelas."

"Terus, kamu tahu dia selingkuh dari mana?" tanyaku, sambil menggenggam tangannya erat.

"Dari Mas Irwan sendiri. Dia bilang ... ada perempuan lain." Tangis Dita pecah. Dia sesenggukan, meluapkan rasa sedih yang sepertinya sangat menekan hati.

"Kamu yang sabar ...." Mimik sedih sengaja kuperlihatkan, supaya dia bertambah yakin kalau aku ikut merasa sedih. "Kamu, tahu gak, perempuan lain itu siapa?"

"Mas Irwan memanggilnya Cantik. Entah itu nama sebenarnya, atau panggilan Mas Irwan saja." Dita menunduk, menarik napas dalam-dalam. Kemudian terisak lagi.

Kalau aku? Hampir saja tertawa, beruntung tanganku masih sempat menutup mulut. "Kamu tahu ga, rupa perempuan lain itu?" tanyaku, rasanya penasaran juga.

"Engga ....." Dita menggeleng. "Aku yakin, pelakor itu yang genit. Dia yang menggoda suamiku," ucap Dita, tangannya mengusap kelopak mata yang basah.

Kuberikan tissue, Dita menerimanya.

"Aku sudah berusaha memberikan yang terbaik. Tapi, balasannya seperti ini." Dia terisak lagi.

"Laki-laki memang begitu. Egios, hidung belang. Ga bisa lihat yang bening-bening. Kaya kucing garong dikasih ikan asin! Makanya, aku benci mereka!" Gigiku bergemelutuk. Ini bukan 'akting', tetapi yang sebenarnya. Aku benci kaum laki-laki. Terutama laki-laki itu.

"Tapi, Mas Irwan berbeda."

"Beda apanya? Nyatanya, dia tetap selingkuh!"

"Aku sangat mencintai dia. Ga mau kalau sampai kami berpisah. Dan bagaimana dengan Nindi kalau itu terjadi. Aku ...." Dita menunduk, kalimatnya terhenti.

Dasar cengeng. Sudah tahu dikhianati. Masih saja ngomongin cinta. Bodoh sekali dia, rutukku dalam hati. "Sekarang, kamu tenangin diri dulu. Setelah kemarahan dan kesedihanmu mereda, baru pikirkan tindakan apa yang akan kamu ambil. Baik buruknya pertimbangkan dengan kepala dingin." Tentu saja, ucapan so bijak itu yang terucap dari bibirku.

"Iya, Sin. Hatiku sedikit lega karena sudah menceritakan semuanya sama kamu. Aku ga ada teman bicara selain kamu." Dita menatapku haru. "Kamu tahu sendiri. Di kota ini, aku sendirian. Untuk ngomong sama keluarga, aku ga berani. Takut mereka di kampung kepikiran."

"Aku senang kalau kamu percaya sama aku." Seulas senyuman kuukir setulus mungkin di bibir.

"Sin, terimakasih, ya .... Aku bersyukur sekali punya sahabat sepertimu. Meski kita baru kenal, tapi aku nyaman curhat sama kamu." Tangannya menggenggam tanganku erat.

Aku membalas genggamannya. "Aku sahabatmu, Dit. Suka duka, kita lalui bersama. Aku ingin kamu bahagia. Jangan sungkan. Apapun yang bisa kubantu, aku akan bantu. Meski kita baru kenal sebentar. Tapi, aku merasa, kita sudah kenal lama," ucapku.

Dita memelukku. Aku mengusap punggungnya, seolah sedang memberi kekuatan. Dalam hati aku bersorak, bahagia sekali karena dia merasa kalau aku turut sedih atas perselingkuhan suaminya. Padahal ....

Aku dan Dita bertemu pertama kali di sebuah mall. Mobil yang dia kendarai tiba-tiba mogok, sementara anaknya harus segera ke tempat lomba mewarnai. Aku menawarkan tumpangan. Awalnya dia tidak mau, mungkin curiga. Namun, kuyakinkan kalau aku orang baik-baik. Akhirnya dia pun mau.

Pertemuan ke dua, terjadi di sebuah pom pengisian bahan bakar. Dia memanggilku. Sejak saat itu, kami saling bertukar nomor kontak dan mulai sering mengobrol. Sesekali kami janjian bertemu. Sekedar mengobrol khas perempuan. Saling memberi info barang-barang bagus dan branded.

Dita adalah seorang perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi ideal, dengan kulitnya yang putih bersih. Rambutnya lurus sebahu, selalu tergerai dan wangi. Hidung mancung, bibir merah merekah menambah semakin sempurna rupanya.

Dia juga sangat sayang keluarga, setidaknya itu yang kulihat. Dia sangat perhatian kepada Nindi--anaknya. Bersuamikan seorang pegawai swasta di sebuah perusahaan ternama dengan jabatan yang lumayan tinggi. Sehingga, kehidupannya tampak makmur, tidak kekurangan apapun.

Kehidupannya yang nyaris sempurna, pasti membuat iri para perempuan lainnya. Namun, sebenarnya bagiku tidak. Aku sama sekali tidak merasa iri padanya. Hidupku jauh lebih sempurna. Mempunyai apapun yang kumau tanpa harus meminta. Meski hidup sendiri, tetapi keuanganku jauh lebih mapan dari Dita. Aku memiliki beberapa toko kue yang tersebar di kota-kota besar. Namun, tidak di kota ini tentunya.

Ada satu tujuan, kenapa aku mendekatinya. Ya, pertemuan di mall dan pom pengisian bahan bakar itu adalah bukan ketidaksengajaan. Beberapa hari, aku mengikutinya. Keberuntungan berpihak padaku, ketika tiba-tiba mobilnya mogok. Itu semua adalah awal dari rencana besarku berjalan. Sebuah rencana yang akan tetap tersimpan rapat hingga tiba suatu saat kelak untuk kuungkap.

***

Kulempar tas ke atas kasur, lalu berbaring menatap langit-langit kamar yang berwarna biru. Warna yang sama sekali tidak kusukai. Namun, karena hati ini sedang merasa senang. Jadi, warna biru itu menjadi terlihat begitu sejuk.

Kubuka layar ponsel yang sejak tadi digenggaman. Mencari kontak seseorang dan segera menyambungkan panggilan vidio. Tidak lama, tampak gambar seseorang di layar ponsel. Dia tersenyum. "Hai, Cantik ... kangen, ya?"

"Kangen banget .... Kapan ke sini, ih?" jawabku genit.

"Nanti malem, ya, Sayang?"

"Jangan telat ...."

"Siap Cantik .... Kamu lagi ngapain?"

"Lagi tiduran aja, inget Mas," jawabku manja. Kukedipkan sebelah mata untuk menggodanya.

"Jangan gitu dong ... konsentrasi mas jadi hilang ini ...." Wajah di layar terlihat ditekuk.

"Sengaja ...," jawabku sambil terkikik geli.

"Ih, curang ...."

"Makanya, cepetan ke sini, ya! Aku tunggu."

Setelah memberikan beberapa kecupan, kumatikan sambungan panggilan vidionya. Ah, Mas Irwan ... sekarang, dia sudah berada dalam genggaman. Kapan saja aku mau, dia akan dengan senang hati meninggalkan istrinya.

Laki-laki hidung belang itu gampang sekali bertekuk lutut. Sekali diberi kedipan genit, dia langsung ngekor ke mana pun aku pergi.

Ditaaa .... Dia tidak tahu kalau akulah perempuan lain itu. Perempuan yang telah dengan sengaja menggoda suaminya untuk berpaling. Perempuan yang akan merusak rumah tanggamu hingga hancur tak tersisa. Aku tidak peduli, meski cap pelakor disematkan di dada, yang penting aku ini puas melihat luka yang akan kugores perlahan di hatimu.

Dendam Si Cantik (Sudah Terbit dan Masih Bisa Dipesan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang