Kepulan asap yang baru saja menyembur dari belah bibir Jungkook mengudara lepas. Bercampur diantara angin malam yang menusuk. Dan beberapa saat kemudian menghilang—lenyap dari pandangan.
Sejemang ia meratap ke bawah dimana pusat hiruk-pikuknya kota pada malam hari. Bising, dan sangat ramai. Bunyi campuran yang bersahutan hingga sulit menebak diantara mereka satu persatu. Menelisik dari atas tempat ia terduduk orang-orang yang berkerumun layaknya semut. Kecil, mudah digenggam dari jaraknya, dan sangat rapuh—mudah dihancurkan.
Menarik nafas dalam-dalam, lekas pandangan matanya beralih ke samping kiri. Menatap subjek lain yang sama dengannya tengah terduduk dalam beberapa jarak yang tersisa diantara mereka. Cukup jauh, sebab Jiyeon yang memutuskan. Enggan berada dekat-dekat dengan Jungkook karena sifat dinginnya.
Tengah mengunyah pelan sebungkus burger murah yang Jungkook beli untuk mengisi perut gadis kecilnya. Menunda sarapan, dan memilih menunggui Jungkook pulang seharian di dalam flat. Monoton, dan pasti membosankan. Jungkook yakin Jiyeon pasti mati di makan kebosanan yang tak berarti.
Keputusannya untuk membawa gadis kecilnya duduk melihat pemandangan kota Seoul di malam hari tepat di atas gedung tak terpakai yang biasa ia tempati adalah opsi yang cukup bagus. Jiyeon kelewat tenang, dan selalu diam sebelum Jungkook sendiri yang memulai komunikasi.
"Kau suka?" Jungkook bertanya tiba-tiba, memecah keheningan dan mengundang atensi Jiyeon hingga memerhatikan. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Jungkook lanjut saat Jiyeon menatapnya.
Menjeda kunyahan, Jiyeon mengalihkan perhatian pada burger di depan mulutnya yang habis dikunyah seperempat.
"Lumayan," tuturnya singkat. Kendati begitu, cukup membuat Jungkook mematri senyum puas.
"Syukurlah kalau begitu. Selera ku dalam memilih makanan sepertinya sangat bagus sekali," Jungkook berdecak bangga pada dirinya. Menghisap kembali rokok yang belum habis. "Kau tahu, tempat ini adalah tempat favoritku."
"Aku tidak bertanya," balas Jiyeon ketus. Kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
Jungkook lantas terkekeh geli, menyadari sifat Jiyeon yang dingin timbul lagi.
"Aku tidak peduli, aku hanya ingin berbagi cerita saja. Sedikit tentang hidupku yang menyedihkan," ia meringis di akhir kata. "Ah, kenapa aku bisa semendramatisir ini, ya," ujarnya lanjut disertai tawa pelan.
Jiyeon masih diam, lantas Jungkook tetap lanjut pada kalimatnya, "Kau tahu, Jiyeon. Kurasa tidak ada perbedaan diantara kita. Kita berdua sama," menjeda saat menghisap rokoknya lagi yang hampir saja habis dalam satu batang. "Aku merasa senang dipertemuan kita pertama kali. Aku merasa itu seperti anugerah."
Kendati Jiyeon diam dan bersikap tidak menanggapi, ia tetap menyimak. Sebab, lantunan frasa Jungkook begitu menarik untuk di dengar. Sesekali melirik melalui ekor matanya bagaimana ekspresi Jungkook saat bercerita. Setegar apa pria itu? Jiyeon hanya merasa penasaran. Seberapa kuat mereka berdua menanggung beban.
"Tapi beban ku tidak sesulit dirimu. Aku masih bersyukur dilahirkan oleh kedua orangtua yang jelas dan ... tch! Tidak bisa dibilang bertanggung jawab, sih. Sebab, mereka membuang ku di depan panti asuhan. Meninggalkan ku di sana saat berumur lima tahun, lalu pergi tanpa jejak. Melepaskan kewajiban, dan kemudian melupakanku."
Perlahan tone Jungkook merendah, merasakan emosi di dalamnya kala bayangan kesendirian menyergap dalam kepala. Teramat sakit dan sulit untuk dilupakan.
"Mereka pergi, Jiyeon. Melepaskan tanggungjawab nya sebagai orangtua yang seharusnya membesarkan ku. Mereka pergi dan tidak pernah kembali." Manik Jungkook menerawang ke atas langit malam yang gelap. Sembari tetap melanjutkan cerita, "Aku ditinggalkan di sana dalam kesepian dan kesedihan yang cukup lama. Membuatku tertekan dan ..." Menarik nafas panjang, ia menimpali lagi, " ... sama sepertimu. Dingin dan kaku, nyaris tidak berekspresi."
"Sangat sulit membuka komunikasi dengan orang-orang. Bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hingga beberapa tahun kemudian aku di benci oleh anak-anak di sana." Ia meringis, terkekeh geli sejenak. "Bahkan beberapa pengasuh disana turut membenciku. Aku berusaha menahan kebencian mereka. Bagaimana tatapan mata mereka yang memandangku layaknya musuh."
Membuang puntung rokoknya yang habis, Jungkook menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang ditahan di belakang. Mendongak, menatap langit dan memutar kembali memori usang tak patut diingat.
"Aku berusaha bersabar dan menunggu beberapa tahun lagi untuk dewasa dan bisa bertahan hidup sendiri. Sebab, jika aku memutuskan untuk pergi cepat dari sana, aku yakin pasti akan mati tidak berarti. Jadi, tepat saat aku berumur enam belas tahun aku pergi. Meninggalkan panti asuhan yang ku benci. Bahkan hingga saat ini."
Angin dingin begitu menusuk. Pakaian yang Jiyeon kenakan cukup membuatnya terasa hangat dan terlindungi. Aroma khas Jungkook bahkan melekat di sekujur tubuhnya.
"Setelah itu aku seperti gelandangan," Jungkook tertawa ringan manakala memori lucu membayang dalam benak. "Terlantar, terdampar, dan terkucilkan. Bahkan orang-orang menatapku jijik. Tapi, aku bisa bertahan hingga saat ini berkat perjuanganku untuk melawan kerasnya kehidupan dunia. Aku tidak mau terlihat lemah dengan mencoba bunuh diri atau apa. Sangat payah sekali jika hal itu kulakukan. Benar, bukan?" Bibirnya mengulas seringai lepas dengan tatapan yang tak lepas pada semesta malam hari.
"Aku tetap bertahan pada posisiku. Berjuang dengan beban yang ku punya. Berusaha dengan kerah tenaga yang kumiliki. Dan ... usahaku cukup membuahkan hasil yang terbilang memuaskan. Aku bahkan bisa menyewa flat sederhana untukku hidup ke depan. Hanya melalui kerja kerasku yang kecil-kecilan, tapi itu sangat berarti bagi kehidupan."
"Aku tengah mencoba membuktikan kepada dunia bahwa aku bisa bertahan dengan caraku sendiri tanpa mengakhiri kehidupan. Itu pasti terdengar memalukan, dan semesta pasti akan tertawa terbahak-bahak setelahnya."
Rembulan mulai ditutupi awan perlahan-lahan, hampir tenggelam sepenuhnya. Tanpa memudarkan suasana bising kota kendati sudah memasuki pertengahan malam hari. Masih ramai dan tetap hidup.
Lantas terdiam selama beberapa detik, membiarkan angin malam menerpa tubuh keduanya secara percuma. Tanpa ada niatan beranjak dari sana. Maka, Jungkook lekas berdiri dari duduknya di tepi gedung usang itu. Membersihkan celananya dari abu yang lengket, kendati percuma. Sebab, celana yang dikenakannya memang tidak berarti dan tak layak pakai.
Mengalihkan pandangan pada gadis kecil di sampingnya dengan senyuman sehangat mentari. Mengalahkan dinginnya malam.
"Ayo, kita pulang." Jungkook mengulurkan tangan begitu sampai di depan Jiyeon.
Lantas gadis kecil itu menatap uluran itu sejenak. Sebelum memutuskan dengan pelan untuk meraihnya. Menggandeng tangan besar itu, membiarkan telapak tangan kecilnya terlindungi oleh yang lebih besar dan hangat. Menyalurkan afeksi, membimbing Jiyeon menuju kepulangan.
"Paman?"
Tanpa menghentikan langkah, Jungkook menunduk, lantas menyahut, "Ya?"
Mengulum bibir sejemang, Jiyeon bertanya walah sempat ragu. "Jadi, Paman mensyukuri kehidupan Paman yang sekarang?"
Terdiam, Jungkook tak kunjung menjawab. Berpikir sejenak demi merangkai kata dalam kepala.
"Ya, bisa dibilang begitu."
"Walaupun menyedihkan?" tanya Jiyeon lagi. Mengundang gelak ringan dari Jungkook.
"Ya, walaupun menyedihkan. Aku menyukainya," ujarnya masih dengan sisa tawa yang bertahan.
Jawaban itu membuat dada Jiyeon menghangat entah kenapa. Terdapat perasaan senang manakala ia dipertemukan dengan Jungkook. Senasib, sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan di dalamnya.
Hingga dalam kegelapan malam dan sela langkah mereka menuju jalan pulang, Jiyeon mematri senyum tipis dalam diam. Sangat amat tipis sekali dan nyaris tidak terlihat.
Senyum yang telah lama lenyap, mulai terbit perlahan.
-seagulltii
02 Februari 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Daesyn ✔
FanfictionDibawah sinar rembulan pertengahan malam, di selimuti gemerlap malam tak berparas. Jeon Jungkook menemukan takdir pilu yang sama dengannya. Melebihi kadar keterpurukan yang ia punya. Dan akhir hidup yang berbeda. © 2020 proudofjjkabs Started : 01 F...