-Real Love

51 3 3
                                    

Aku masih bisa merasakan keberadaannya. Aku merasa dia masih ada disisiku, bahkan aku masih bisa merasakan sentuhan dan kecupan lembutnya. Ini terasa seperti dia tidak meninggalkanku. Tidak- dia tidak meninggalkanku meski raganya tak lagi ada didekatku. Ia masih ada disini. Dia tak pergi kemana mana.

Kenapa ini harus terjadi? Kenapa ia harus pergi? Apa Tuhan tidak sayang padaku? Apa aku tidak ditakdirkan untuk bahagia?. Hidup sudah cukup menyakitkan sebelum ia datang dan saat ia hadir dalam hidupku, dia harus pergi?. Otakku terus berputar putar mencari jawaban hingga aku lelah sendiri. Tapi Ibuku bilang "Kadangkala pertanyaan pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana sekali"

Ibu bilang aku tak perlu temukan jawabannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan aku hanya harus belajar mengikhlaskannya

Semudah itu.

Tapi aku tidak bisa, aku terlalu mencintainya. Sulit bagiku untuk menerima ini. Tidak, aku tidak bisa menerimanya.

Kadangkala aku terbayang masa masa itu. Masa masa yang indah itu. Saat saat dimana kami menghabiskan waktu bersama, bersenda gurau. Sangat menyenangkan. Tapi kini semua itu tinggal kenangan. Membuatnya semakin sulit untuk dilupakan.

Andai aku tak pernah membuat kesalahan. Semuanya akan baik baik saja. Aku tak akan menderita begini.

***

"Bagaimana kabar Lenin hari ini?" Tanya seorang dokter muda. Dia seorang gadis yang (terlihat) baik, tapi aku tidak menyukainya. Lebih tepatnya aku merasa takut padanya.

Percaya padaku, dibalik senyumnya, ada sesuatu yang mengerikan. Dan dia akan menghabisiku tanpa ampun.

"Aku? Baik baik saja" Kataku sombong. Dia tersenyum. "Wah bagus kalau begitu. Tapi yang dokter lihat dikertas penilaian ini, sepertinya suasana hati Lenin sedang tidak baik, ada apa?" Tanyanya ramah.

Jangan tersanjung dulu, itu hanya formalitas. Basa basi busuk.

"Itu bukan urusanmu" jawabku ketus.

Mereka terkejut, tentu saja

Ibu terlihat sangat terkejut mendengar jawabanku. Tapi Lani- dokter itu, berusaha untuk tenang. "Tentu ini urusan dokter, Lenin. Dokter kan ingin membantu kamu-"

"Membantu apanya? Memangnya dokter bisa mengembalikan Fahri? Membuat keadaannya seperti dulu lagi?"

"Keadaan apa yang kamu maksud? Semua itu hanya... argh!" Kata Fariz, ayah tiriku, ia terlihat frustasi.

Lani melirik kearah Fariz dan memberi kode bahwa ia- Fariz, harus tenang. "Setidaknya dokter bisa membuat suasana hatimu lebih baik" katanya.

"Kalau kau bisa, aku tidak perlu merasakan perasaan perasaan terkutuk ini lagi. Aku sudah muak. Aku tak tahan" aku pun bangkit dari dudukku tapi Fariz menahanku. Ia menatapku tajam, berusaha mengitimidasi.

Tapi aku tidak kalah.

"Lenin sayang" bisik Ibu lembut. "Kamu mau bertemu Fahri, kan?" Tanya Ibu. Aku mendesis kesal.

"Peluru Ibu sudah habis. Kata kata itu tidak lagi mempan untukku" kataku sambil tersenyum sinis.

"Ibu sungguhan" aku menoleh kearahnya, ia terlihat serius.

"Sekali lagi, Peluru Ibu sudah habis" kataku dengan nada tinggi. Ibu menangis, lalu aku mendekapnya. "Turuti Ibu, sayang. Untuk kali ini saja. Lakukan ini untuk Ibu. Ibu sudah lakukan segalanya untuk kamu" bisik Ibu lagi

"Baiklah. Aku berjanji. Tapi kalian juga harus berjanji"

"Apa?" Tanya Fariz, dia terlihat agak ketakutan.

"Aku ingin bertemu dengan Fahri" jawabku. Ibu mengangguk. Tapi Dokter Lani dan Fariz terlihat tidak menyukai ide itu. Fariz bahkan keliharan marah.

Tapi mereka tidak bisa berbuat apapun. Aku menang, dan itu membuatku senang. Aku menang.

***

"Yang benar saja! Kamu tahu kan kalau Lenin bertemu Fahri itu bagaimana? Kau mau anakmu bahagia, jangan korbankan anakku!"  Omel pria itu. Ia tidak terima dengan keputusan istrinya.

Wanita itu memijat keningnya, ia terlihat begitu Frustasi. "Aku mengerti. Tapi aku harus bagaimana lagi? Tenang saja, selama ada Dokter Lani, semuanya akan baik baik saja"

"Bawa saja dia ke Korea. Agar ayahnya yang mengurusnya. Apa kau tidak lelah atau kesal, Fiona? Kai bersenang senang sedangkan kau kesusahan dengan anak itu"

Mata si wanita membulat, amarahnya nyaris saja meledak. Tapi kali ini ia mampu untuk meredamnya.

"Meski aku lelah dan kadang kesal, tapi dia tetap anakku. Jika anak itu baik baik saja, tidak apa apa. Tapi kamu tahu sendiri kan? Aku tidak mau melepaskan anakku. Jangan gila" 

"Dia sudah dewasa, Fiona. Lagipula kau juga sudah tua. Kau tidak bisa terus bersamanya" Wanita itu terisak dan si pria mendekapnya.

***

"Bu, Ibu bilang Kak Fahri akan pulang ke Indonesia. Kapan dia tiba, bu?" Tanyaku pada Ibu saat sarapan. Ibu yang sedang berusaha menelan sup krim buatan Bibi, tersedak.

"Lenin, Apa Lenin tidak rindu dengan Appa Kai?" Kata Fariz mengalihkan pembicaraan "Lebih baik bertemu Appa daripada bertemu dengan Fahri. Bulan depan kita ke Korea" katanya bersemangat.

"Aku tidak butuh lelaki bajingan itu" kataku

Ya, yang kusebut bajingan adalah Bapak kandungku.

"Lenin" Ibu mempringati. Tapi aku tak peduli

Aku bangkit dari dudukku. Ibu ikut bangkit & mencekal tanganku. "Lenin, habiskan dulu makananmu" kata Ibu.

Aku bisa melihat wajah letih Ibu. Aku iba padanya.

Tapi egoku lebih besar dari rasa empatiku. Jadi aku lebih memilih untuk pergi dari meja makan dan membuatnya menangis. Hatiku seperti teriris. Namun aku tidak mau merasa kalah. Itu membuatku sangat marah.

Menyakiti lebih baik daripada terus disakiti.

Terkadang aku ingin menyakiti Fahri. Tapi aku tak sanggup. Aku... aku hanya inginkan dirinya. Kami saling mencintai, tapi kenapa tidak bisa bersatu?

Kenapa?

Apa Tuhan tak mentakdirkanku untuk bahagia di Dunia? Aku selalu berprasangka baik pada Tuhan, mungkin aku bahagia bukan saat ini, tapi nanti.  Tapi aku sudah tak tahan lagi.

Aku terisak hingga dadaku terasa sesak. Dan kemudian aku jatuh tertidur. Aku lelah, benar benar kelelahan.

***
"Lenin sayang, bangun nak" kata Ibu padaku. Aku pun segera terbangun saat ibu mengelus kepalaku dengan lembut.

Aku terkejut saat melihat sosok yang kulihat. Sudah lama sekali aku tak menemuinya. Dia tersenyum kikuk kearahku.

Aku tak percaya, apa ini hanya mimpi? Apa sekarang aku sudah mati? Dan aku bertemu dengannya di surga?

Tidak mungkin

Apa aku berhalusinasi lagi?

Ia mendekatiku secara perlahan, kemudian ia menyerbuku & mendekapku erat. "Maafkan aku ya" bisiknya lembut tepat ditelingaku. Ini terasa sangat nyata. Aku tak pernah rasakan sensasi yang seperti ini. Apa kegilaanku semakin menjadi jadi?. 

"A-aku mencintaimu..." bisiknya sambil menahan isak tangis

"Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu, Helenina"

Aku melepas dekapannya dan menatap matanya.

"Kau harus segera bangun. Kau harus hidup bahagia. Tapi denganku bukan jalan bahagiamu. Karena dalam sebuah hubungan yang bahagia, keduanya harus bahagia" katanya.

"Aku mencintaimu, tapi tidak lebih dari perasaan seorang kakak laki laki kepada adik perempuannya"

Aku menunduk. Air mataku menetes dengan deras.

Mencintaimu adalah pilihanku, tapi menjadi seperti ini bukan keinginanku. Dan aku sadar, selama ini aku hanya bercumbu dengan bayang bayangmu.

Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang