.
.
.
Seokjin mengerjap. Satu. Dua kali.
Bangun dengan kondisi mabuk sudah dialaminya berkali-kali, terutama menjelang musim dingin dimana alkohol adalah cara paling cepat dan efektif menghangatkan tubuh. Tapi bangun di atas ranjang seluas tiga kali kasur rumahnya, terlindungi empat tiang penyangga bertirai renda, beralas seprai sutra serta terbungkus selimut bulu angsa, jelas bukan hal yang biasa terjadi. Bahkan dalam mimpi.
Atap tinggi, dipeta ukiran klasik berhias sulur emas di segala sudut. Nuansa kayu mendominasi hingga bingkai jendela. Selembar jubah hanbok mewah terpajang di badan sebuah manekin, menemani gantungan mantel warna cerah, juga peralatan kaligrafi di meja jati yang tidak murah. Lukisan Joseon berlatar dinding gading, sekat ruangan serta pintu geser khas Korea menambah sentuhan tradisional di kamar beraroma pinus tersebut.
Ditelannya ludah sambil menganga, jelas bukan hotel biasa.
"Selamat pagi."
Mencoba tak tersentak atau meloncat dramatis akibat terkejut, Seokjin sigap mengibas kepala agar bangkit dari lamunan. Perlahan, fokusnya berpaling ke sebelah kanan, tempat dimana seorang pria berkacamata tengah menyilangkan kaki di sofa tunggal berlapis velvet, mengenakan mantel tidur hitam dan kaus putih sederhana. Rambut keperakan teracak asal, buku terbuka di atas paha, "Mimpi indah?"
".............aku dimana?"
"Rumahku."
"MASA?"
Yang bersangkutan memiringkan kepalanya seolah baru saja menerima pertanyaan paling aneh sedunia, "Benar. Ada masalah?"
"Jangan bohong."
"Tidak, sungguh. Ini rumahku."
Pria itu, Namjoon, dulunya ketua badan eksekutif mahasiswa, jurusan hukum tata negara yang disegani. Bersimpangan dengan pusat gedung ekonomi bisnis, Seokjin tak berminat menggali asal-usul keluarganya meski terlibat organisasi serupa. Disiplin, berani, penuh ide brilian, dan alur pemikirannya mencengangkan. Otaknya jenius selaras titel anak emas kampus. Seokjin pun mengagumi segala wujud kecerdasan, mana tahu jika laki-laki yang dimaksud ternyata lebih dari mapan?
Lawan bicaranya tak tinggal diam, terdorong kewajiban sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab, "Bantalnya kurang nyaman? Atau penghangatnya tak bekerja?"
Seokjin menggeleng cepat. Sekelas kamar eksekutif bintang lima, apanya yang bisa dicela?
Tapi Namjoon masih penasaran, tubuh tegapnya beranjak dari kursi sembari melepas kacamata usai menaruh buku di sisi lampu, "Apa kasurku bau?"
"Tidak, semua oke, tapi....."
Bunyi langkah kaki membuat sanggahannya terpotong, Namjoon ikut menoleh ke sumber suara dan sempat terlihat kurang senang, sebelum teringat bahwa dia sendiri yang menghendaki kedatangan orang lain di luar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)
Фанфик[BTS - Namjin/Monjin] Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta. . . . . SHEN|MEI Kumpulan Fi...