5

5.7K 436 27
                                    

Berita pertunangan Keenan dengan cepat menyebar ke seantero kantor. Bagai anak-anak panah yang melesat cepat. Entah kenapa perempuan suka sekali bergosip, seakan menjadi habit yang melekat. Tak mengenal tempat. Percakapan dengan tema pertunangan Keenan dan Sekar terdengar di toilet, pantry, meja kerja, hingga ke pojok-pojok kantin. Mengalahkan berita-berita penting tanah air.

Banyak yang bersuka cita, tapi tak sedikit pula yang mendesah kecewa. Tentu saja yang paling banyak menyambut gembira adalah dari golongan para pria.

Saat jam makan siang, masih saja tema pertunangan Keenan menjadi pembicaraan hangat. Menutupi viralnya berita virus corona.

“Baguslah Bos kita sudah tunangan. Saingan berat jadi berkurang satu,” celoteh Zaki yang mengambil tempat duduk di depanku. Tantri tidak ikut serta. Sedang diet katanya.

Aku hanya menggelengkan kepala mendengar ucapannya.

“Paling tidak jadi penglipur lara karena kemarin ditinggal kawin Isyana Sarasvati,” tambahnya lagi dengan wajah dibuat menderita.

“Tenang, stok jomlowati masih banyak.”

Aku menyodorkan es jeruk yang langsung diseruputnya nikmat.

“Apa kamu tidak tahu kalau menurut Katadata di Indonesia saat ini jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan? Berselisih hampir 2 juta! Belum lagi laki-laki yang poligami. Makin bertambah aja saingan gue!” jelas Zaki, membuatku tergelak.

“Itu artinya kiamat masih berjarak. Kita gak usah buru-buru kawin!” sahutku sambil menahan tawa, menghibur sesama jomlo.

Sedangkan di meja lain, terlihat para pekerja perempuan banyak yang mendadak patah hati.

“Yah, patah hati berjamaah kita. Sakitnya tuh lebih dari waktu Song Joong Ki kawin sama Song Hye Kyo.” Suara sumbang milik Andin, anak Accounting.

“Tenang. Song Joong Ki sama Song Hye Kyo aja bisa cerai, apalagi yang masih tunangan?” timpal perempuan lainnya yang kukira berasal dari bagian Marketing.

Sesaat keributan kecil itu berubah hening. Orang nomor dua terganteng menurut gadis-gadis di sini datang menuju kantin. Dayan celingukan seperti mencari seseorang. Pria itu tersenyum lebar ke arah aku dan Zaki.

“Ini dia saingan terberat nomor dua,” bisik Zaki dengan wajah kembali memelas.

“Kika, tadi aku cari kamu ke ruangan. Aku lupa kalau saat ini jam makan siang,” kata Dayan, lalu duduk di samping Zaki.

“Ada apa, Yan? Padahal, kan, bisa panggil saja aku nanti ke HRD.” Aku biasa memanggilnya dengan nama. Dayan pernah protes saat aku hendak memanggilnya dengan embel-embel ‘Mas’ atau ‘Pak’.

“Nanti malam ada undangan peresmian kafe dari klien. Good job, Kika. Sepertinya mereka sangat puas. Kita datang bareng, ya. Sepertinya Mas Keenan juga akan datang. Dia bilang ingin tahu hasil kerja kamu.”

Tentu saja aku tahu acara itu. Raka juga sudah berpesan dari jauh hari memintaku datang.

“Wah, aku merasa tersanjung. Makasih juga sudah memberiku kesempatan untuk proyek itu.”

“Selanjutnya aku ingin kamu mengerjakan desain rumah dari seorang klien. Dia perempuan, tapi permintaannya aneh. Dia bilang yang jadi konsultan pengerjaan rumahnya harus perempuan, usia matang, dan belum menikah.”

“Apa hubungannya?” tanyaku bingung.

“Aku juga tidak tahu. Mungkin setelah bertemu dengannya, kamu akan tahu jawabannya. Sampai ketemu nanti malam, ya.”

Dayan pergi setelah selesai dengan urusannya. Aku dan Zaki kembali kerja dengan perut yang sudah terisi penuh.

Malam harinya, aku datang memenuhi undangan Raka. Malam yang cerah. Seharusnya bintang terlihat berhamburan. Sayang, langit kotor Jakarta seakan menyembunyikan bintang-bintang itu.

Mantan TerbaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang