Tak ada yang bisa ku lakukan ketika libur tiba...ya semua kembali hampa tak seperti rutinitasku minggu lalu
Aku benci sepi dan selamanya akan begitu, aku sedikit bercerita namaku Hana Wijaya entah kenapa aku menyukai namaku ketika dia memanggilku han..
Kembali ke rutinitasku saat ini, aku masih berusia 21 tahun sekarang aku masih berstatus sebagai mahasiswi stadium akhir di salah satu Universitas Negeri di Bali. Satu kata yang menggambarkan diriku, "aku cepat bosan". Seperti itulah aku. Di saat menginjak semester 6 ini sedikit membuat kepalaku stres berat.. Ya apalagi cobaannya ketika kondisi dan situasi turut membuat kekacauan hidupku selama ini.
#Hana prov
.
.
Perjalan kuliah ku di mulai kala itu, semua menentang keinginanku.. Bisa di katakan menangis darah pun pernah aku perjuangkan demi pendidikan. Yaa bagiku tak ada yang bisa di unggulkan dari seorang wanita berdarah Bali sepertiku selain Memiliki pemikiran yang terdidik dan sebuah gelar yang bisa di banggakan.Lika-liku kerumitan mulai muncul saat tekat ku mampu menutup mulut semua pihak di sekelilingku, termasuk keluargaku.
Terlahir sebagai gadis biasa, dengan wajah biasa, penampilan biasa, bahkan tubuh yang tak menarik membuatku cukup merasa tak memiliki kelebihan yang di berikian tuhan padaku.
Mengingat aku sendiri pun bukan gadis yang cerdas.. Nilai bahasa indonesia ku pas pas an, matematika selalu anjlok, bahkan aku nyaris sering mempermalukan diriku sendiri. Ntahlah apa yang menjadi keunggulanku hingga menginjak usiaku yang ke 21 tahun ini.
Sedikit bercerita, perjalanan hidupku begitu rumit, bahkan untuk sekedar tersenyum tulus seperti yang sering aku perlihatkan pada orang-orang yang tidak mengenal latar belakangku.
Yah.. Kadang aku malas berpura-pura atau sekedar menceritakan siapa aku.. Alasannya simple hidupku bukan untuk konsumsi publik dan aku benci di kasihani.
Aku gadis yang berprinsip dan memiliki semangat yang tinggi kala itu, hingga saat ini.. .
Untuk menempuh pendidikan hingga semester ini, beribu tangisan yang aku lalui.. Entah mengapa tak seperti orang tua dan keluarga pada umumnya, hidupku nyaris tak pernah merasakan kasih sayang mereka..
Keluargaku kacau.. Orang tua tak pernah mempedulikanku, bahkan aku jarang berkomunikasi dengan mereka.
Berawal dari keisenganku mengisi form di sebuat situs resmi untuk mendaftar PTN aku di terima di perguruan tinggi di Terkenal di kotaku.. Ya Universitas Udayana.
Segala kebingungan melandaku kala itu, termasuk perasaan bangga menyelinap di dadaku, sedikit membuncah dan aku langsung menunjukkan ke ayahku. Ya aku seketika kecewa kala itu, ketia ia hanya menatap nanar tanpa memberikan respons apapun.. Harapanku langsung pudar aku menangis tersedu.
"Tuhan, aku hanya ingin kuliah.. Mengapa sesulit ini, katanya kakak ku dulu orang terkaya di desa, warisannya menggunung.. Mengapa untuk sekedar memperoleh pendidikan pun ayahku tak mwndukung" aku benci ketika untuk ke sekian kalinya air mata itu menetes.. Aku hampir kehabisan akal dan menyadari beberapa hal
Pertama...ya kakek ku memang kaya raya, tanah warisannya dimana-mana tapi salahnya bukan itu, salahnya ada di ayahku ketika iya tak mampu menerima estafet itu jatuh ke tangannya. Semua terasa cepat bahkan semakin hari menipis dan bangkrut. Ayah ku tak mampu mengelola berhektar-hektar tanah warisan tersebut. Iya hanya tukang marah-marah yang tidak mengerti arah perkembangan jaman. Bisa ku sebut ayahku keturunan kolonial.
Coba saja kalian menjadi anaknya, bisa di bayangkan apa yang bisa aku banggakan darinya? Ya aku selalu mengingatkan diri untuk besyukur tanpa menyalahkannya secara langsung.
Berawal dari statusku di Facebook kala itu, salah seorang guru SMA ku mengetahui aku fiterim di PTN..langsung di chat via messeger dan aku di minta ke sekolah ke esokan harinya. Entah mengapa aku merasa ceritaku sangat memprihatinkan dan aku malu merepotkan banyak orang.
Akibat desakan pagi itu, aku datang ke sekolah dan menggampiri bu Mitha di ruang guru, beruntung tak banyak guru berkumpul di ruangan itu, karena aku datang saat jam mengajar sedang berlangsung..
Di langsung memintaku duduk, dan meluncur sudah wejangannya pagi itu, aku hanya mampu diam dan menjawab sekedarnya.. Iya sangat menyayangkan keputusan di status facebooku "banyak jalan menuju Roma, ya jika tidak sekarang mungkin nanti" tulis ku..
Aku langsung menangis ketika ia mendesak alasanku menolak kuliah.. Aku tau konsekuensi ketika di terima di PTN dan justru aku mebatalkan.. Kalian pikir apalagi?. Tentu saja mereka hanya memikirkan nama sekolah yang buruk "kalau kamu buang sekarang konsekuensinya bukan kamu yang menerima, tapi adik2 kelasmu nanti. Mereka akan sulit menembus PTN dengan jurusan yang sama. Kita akan di backlist selama 5 tahun". Aku di bentak kala itu oleh seorang guru yang aku benci wajahnya hingga kini. Saat itu aku langsung menangis histeris, dan berkata bahwa ayahku tak sanggup membiayai.
Bu mitha langsung memelukku dan meyakinkan akan banyak beasiswa yang bisa aku cari. Ia meyakinkan berulang-ulang hingga berjanji membantuku untuk menjelaskan kepada ayah. Ia menelepon seseorang saat itu. Aku hanya menurut sembari mengatakan terimakasih kepadanya..
Sesampainya di rumah, betapa malunya aku.. Mantan kepala sekolahku yang baru pensiun beberapa bulan lalu datang ke rumah dan berbicara serius dengan ayahku. Ia meyakinkan ayah bahwa pendidikan untuk perempuan juga penting. Berulang kali ia menolak dan setelah lelah mengatakan iya.
Aku nekat berjuang kala itu, tanpa persetujuan ayah aku tetap melanjutkan daftar ulang. Itu tekatku hingga pendidikan itu mampu ku raih.
Dan disinilah aku, Universitas Udayana..dengan segala awal mula level stres ku bertambah. Dimulai dari nekat sendiri hingga berakhir kost dengan teman satu angkatan, banyak permasalahan dan tidak cocok.. Akhirnya apa aku nekat nyari kost lagi hingga hangus sudah uang dua juta beserta rentetannya.. Teman kostku ternyata parasit tak bertulang yang justru memanfaatkan kepolosanku.
Aku fikir ia baik dan tulus, ternyata sama saja! Selain karena memanfaatkan tumpangan saat itu, iya juga sekaligus menjadi parasit yang memintaku mengantarnya kemana-mana. Uang jajanku ludes di setiap minggunya akibat mengikuti gaya hidupnya itu, ditambah uangku terforsir untuk membeli bensin, uang listrik, dan air galon di setiap minggunya. Padahal aku yakin tak sebanyak itu aku menghabiskannya. Apalagi penyebabnya, kalau bukan si manja itu, yang aku benci hingga kini!.