15. saat nyata adalah kita (4)

105 4 0
                                    

Waktu akan selalu bergerak maju. Itulah fakta yang tidak bisa dielakan manusia. Kenyataan jika sesuatu yang telah dilewatkan begitu saja membentuk penyesalan terdalam.

Sudah satu bulan aku dan dia terjeda. Perlahan tapi pasti, dinding jarak itu telah berdiri kokoh di antara kami. Tidak ada lagi suara yang meneriaki namaku dari luar kelas. Tidak ada lagi seseorang yang duduk dan tertidur di bangku sebelahku.

Aku berpikir, mungkin Ardan lelah. Mungkin Ardan menyerah untuk menemuka jawaban dari semua perubahanku. Atau dia mulai muak dengan segala keegoisanku. Entahlah. Aku tak ingin menanyakan itu. Kubiarkan dia mendeskripsikan apapun tentangku.

Aku mengingat beberapa bulan yang lalu saat dia menyadari segala keanehanku.

"Kenapa kita seperti ini?"

Selama sebulan kemarin dia seperti kalang kabut. Kerap kali bertanya sesuatu yang salah pada diriku. Bukan dirinya.

"Luna. Apa yang salah? Aku merasa ada yang berbeda? Kamu tidak lagi menjadi dirimu."

Benar. Aku lupa bagaimana diriku yang selalu bersamamu. Bagaimana aku yang menjadi diriku di sampingmu. Bagaimana aku menemukan alasan tersenyumku.

Aku ingin mengatakan semua itu. Namun, lagi-lagi bibir ini hanya bisa bungkam. Tak ingin banyak berkata, apalagi berkilah. Hingga satu kalimatku membuatnya mengerti.

"Aku membenci kamu."

Hanya tiga kata itu. Kata yang sama sekali tidak pernah kuniatkan begitu mudahnya terucap.

Ardan hanya terdiam, membeku. Sampai kemudian dia tersenyum dan berkata. "Aku tahu. Sekalipun aku tak mengerti. Aku akan mencoba menerimanya. Kamu ingin kita berjarak? Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Mulai saat ini."

"Luna. Aku hanya berpesan. Semoga kamu bisa menemukan seseorang yang bisa menjagamu. Seseorang yang tidak akan pernah menyakitimu. Itulah alasanku kenapa selalu memintamu untuk memberitahuku seperti apa laki-laki yang memperjuangkanmu. Aku tidak akan bisa memukulinya lagi. Jadi, pintar-pintarlah memilih." Itulah senyum terakhir yang Ardan berikan untukku.

Kubenamkan wajahku pada meja kelasku. Menahan lelehan air mata yang tertahankan. Sangat perih. Namun sesuatu yang mengikis hati terasa lebih pedih. Aku tahu seharusnya aku tak mengatakan itu. Karena tanpa sadar akulah penyebab semua ini terjadi. Bukan dia.

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang