:: Bab IX ::

2.2K 192 9
                                    

"Saya mau bicara sama kamu."

Dan berakhirlah Delia di sini. Balkon kamar Ardan yang pemandangannya menghadap ke kebun kecil milik mama pria itu. Mereka berdiri bersampingan, terpisah dengan jarak sebanyak 5 jengkal. Cahaya bulan yang malam itu entah bagaimana bisa begitu bersinar menemani keheningan diantara keduanya.

Delia tidak berani memulai pembicaraan. Jari jemarinya yang bertaut tampak bergesakan. Pertanda bahwa dirinya mulai gugup. Bagaimana tidak? Berada di kamar seorang pria yang bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Ya, meski Delia pun sebenarnya yakin Ardan tidak akan berbuat macam-macam padanya. Tapi, sekedar waspada itu tidak apa, kan?

2 menit berlalu dan masih tidak ada suara dari dua orang di balkon tersebut. Sungguh, Delia tidak bisa jika harus diam bertahan di sana lebih lama lagi. Ia baru saja akan berpamitan pada Ardan jika suara berat lelaki itu tidak menggema di dalam gendang telinganya.

"Saya menolak perjodohan ini."

Reflek, gadis gempal itu menoleh ke sisi samping dan sudah menemukan mata Ardan yan menatap dirinya dengan lekat. Sebuah tatapan penuh kemantapan dan keseriusan. Tidak ada binar kebohongan di sana. Yang mengartikan bahwa pria itu serius dengan kata-katanya barusan.

Bibir Delia terkatup rapat. Gadis itu masih belum berani merespon karena sejujurnya ia juga tidak tahu harus berkata apa. Memang, ia sudah menduga ini sejak lama. Namun, ketika Ardan mengatakan itu langsung dan tepat di hadapannya, kenapa Delia merasa ada sesuatu mencubit hatinya?

"Saya menolak perjodohan ini dan saya yakin kamu juga," ulang Ardan untuk kedua kalinya, kembali menampar Delia  bahwa dirinya memang benar-benar tidak bisa menerima perjodohan ini.

Bukan tanpa sebab mengapa Ardan bisa mengatakan itu. Perjodohan ini, rencana gila neneknya ini menurutnya sudah kelewat batas. Dirinya memang menyayangi neneknya, sangat. Tapi, bukan berarti ia harus terus menerus menuruti kemauan sang nenek. Ardan sudah terlalu tua untuk terus diperlakukan seperti ini. Menurutnya, kalau memang jodoh pasti lambat laun akan dipertemukan. Bukan dipaksakan dengan cara yang menurutnya sangat konyol.

Tidak, bukan karena sosok gadis yang akan dijodohkan dengannya itu tidak sesuai seleranya. Ya, memang pada awalnya ia sempat memandang Delia sebelah mata hanya karena gadis itu gendut dan tidak cantik. Namun, bukan itu alasannya. Ia hanya merasa bahwa Delia, yang kata neneknya adalah jodoh paling tepat untuk dirinya itu, justru tidak tepat di dalam hatinya. Entahlah, hanya saja ada sesuatu yang masih mengganjal di dalam perasannya sehingga Ardan memutuskan untuk menolak perjodohan ini. Dan tidak pernah berpikir akan menikah dengan sosok gadis di sampingnya itu atau siapapun.

“Kalau boleh saya tahu, kenapa Mas Ardan menolak perjodohan ini?” tanya Delia, setelah tidak bersuara sejak Ardan selesai mengutarakan maksudnya mengajak gadis itu berbicara. Ardan memaku tatapannya pada kedua bola mata gadis itu, yang entah bagaimana tiba-tiba terlihat cantik di matanya.

Menyadari pemikiran gilanya tersebut, Ardan bergegas mengerjapkan mata dan menoleh ke arah lain. Menghindari tatapan gadis itu sebisa mungkin. Sungguh, Ardan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah jatuh cinta pada gadis gendut itu. Tidak akan.

Sementara Delia yang masih menunggu jawaban Ardan hanya bisa memainkan jari jemarinya yang tertaut. Ritme degup jantungnya sudah semakin tidak beraturan karena Ardan yang masih setia diam, belum mau menjawab pertanyaannya. Perutnya pun juga jadi terasa tidak enak karena dibuat cemas dan takut oleh sikap pria di sampingnya itu.

“Kita berbeda, Delia. Saya dan kamu itu jauh berbeda,” jawab Ardan beberapa detik setelahnya, yang langsung merebut perhatian Delia hingga gadis itu mengernyit karena mencoba memahami maksud jawabannya.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang