Menjemput Aza pulang sekolah menjadi rutinitas Juna akhir-akhir ini. Yuna juga bersedia saat ia menawarkan diri untuk menjemput Aza sementara Yuna yang mengantar Aza masuk.
Hari ini, cuaca sungguh tidak bisa ditebak. Sejam yang lalu, panas matahari sangat terik sekali. Namun, ketika ia sudah ditengah perjalanan menjemput Aza. Awan mendung mengepung disegala arah. Dan hujan berjatuhan di detik selanjutnya. Sangat deras. Dan pikiran Juna hanya terpusat pada Aza. Semoga anak itu menunggu di tempat yang teduh dan ia harus cepat kesana.
Juna makin mempercepat laju mobilnya. Tetapi, tiba-tiba mesinnya mati. Gerak mobilnya terhenti. Juna kembali menghidupkan mesin. Dan terdengar suara menyebalkan yang sudah ia duga namun kenapa harus ditempat dan waktu sekarang? Ia merutuk kesal. Namun, tak ada waktu untuk menggerutu dan menunggu mekanik datang. Ia harus cepat.
Juna segera menelpon mekanik kepercayaannya. Lalu mengambil payung dan sialnya hanya ada satu. Juna mengembangkan payung dan bergegas keluar. Mengunci mobil, ia berlari menuju sekolah Aza yang mungkin tak jauh lagi. Mungkin.
"Om Juna!" Teriak Aza seraya berjingkrak girang diantara rinai hujan yang berjatuhan di atas genting tempat dia bernaung.
"Sudah lama ya?"
Aza menggeleng, "Nggak, belnya baru aja bunyi. Tapi, kata guru disuruh berteduh dulu. Jangan main hujan nanti sakit."
"Bagus, Aza anak yang pintar." Juna mengusap kepala Aza dengan lembut.
"Ayo, jalan." Juna memayungi tiap langkah Aza sementara ia bermandi hujan.
"Kok Om main hujan? Kata guru nanti sakit loh."
"Om kan kuat. Om biasa mandi hujan asal jangan hujan batu." Canda Juna.
"Aza mau main juga. Kayaknya seru."
"Nggak boleh. Aza nggak boleh main ini."
"Tapi, Aza kuat kok. Itu teman Aza main juga. Aza mau!"
"Nggak boleh, nanti kalau Aza sudah besar dan kuat baru boleh."
"Janji ya Om."
"Iya." Nanti juga lupa.
"Om."
"Kenapa?"
"Tadi tuh yah, kami belajar mtk. Nilai Aza besar loh."
"Oh ya? Berapa?"
"Sepuluh!"
"Wah hebat! Terus teman Aza berapa?"
"Tiga puluh."
Sebentar. Juna berpikir.
"Emang nilai paling besar berapa?"
"Seratus."
Juna tertawa.
"Aza pintar kan? Aza mau pamer sama Om Dafa dan minta mainan."
"Aza pintar kok. Cuman harus belajar lagi supaya dapat nilai lebih besar lagi."
"Kan nilai Aza sudah besar. " Aza terlihat membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku. Lalu menunjukkan angka sepuluh yang tercetak sangat besar di kertas. "Besarkan? Nilai teman Aza tiga puluh tapi kecil."
Juna terkekeh geli, "Aza, yang membuatnya besar itu nilainya bukan tulisannya. Dikatakan besar itu jika nilainya makin bertambah. Contoh, besar mana satu dengan sepuluh?"
"Sepuluh."
"Sepuluh dengan dua belas?"
"Dua belas."
"Dua belas dengan dua puluh?"
"Hmmm... Susah. Aza baru hapal sampai lima belas."
"Kenapa Aza tau besar sepuluh dibanding satu?"
"Karena sepuluh kalau dikurang masih punya angkanya. Kalau satu habis."
"Jadi Aza mengerti kan kenapa nilai sepuluh lebih besar dari satu?"
"Iya."
"Bukan karena ditulis besar dan tiga puluh ditulis kecil."
"Jadi, nilai Aza kecil?"
"Bukan, kecil. Tapi, Aza harus belajar lagi."
"Oce. Om mau ngajarin Aza?"
"Tentu. Om malah senang sekali."
Aza memamerkan giginya yang tersenyum senang.
"Om, tadi Aza belajar mewarnai loh. Aza gambar gunung sama matahari ..."
Dan sisa perjalanan itu diisi celoteh Aza tentang kesehariannya di sekolah sementara Juna mendengarkan bersama derai hujan dan biasnya angin yang membuat tubuhnya makin menggigil.
.
.
.Yuna membuka pintu. Rasa cemasnya karena hujan dan menduga anaknya akan kehujanan sirna saat melihat Aza pulang dengan tubuh kering. Tanpa basah sedikit pun.
"Ibuuu!" Aza berhambur masuk. Meletakkan sepatu dan tas. Lalu menghilang di balik pintu dapur. Dan terdengar suara Aza yang meminta bubur kacang pada neneknya.
Sedangkan Yuna masih diam di muka pintu. Memandang keadaan Juna yang kebasahan dan bibir yang sudah membiru.
Namun, laki-laki itu justru tersenyum diantara dingin yang makin membuat tubuhnya gemetar.
"Hai."
Dasar bodoh.
"Aza sudah pulang." Kata Juna lagi.
"Aku bisa lihat." Jawab Yuna datar.
Juna mengeluarkan ringisan karena mengeluarkan kata-kata bodoh sejak tadi.
"Ehm... sebaiknya aku pulang."
"Tidak ada yang menahanmu disini."
"Iya." Juna menunduk. Mengamati sepatunya yang basah. Kaus kakinya terasa aneh saat berpijak. Dengan air yang terus menitik dari rambut.
"Kalau begitu aku pulang." Juna berbalik.
"Juna."
Juna menoleh. Dan mata mereka bertemu.
"Untuk apa?"
"Maksudnya?" Juna mengernyit bingung.
"Semua ini, untuk apa?"
"..."
"Jika aku memaafkanmu, apa yang akan kau lakukan setelahnya?"
"... Aku tidak tau." Dan sebuah senyuman dari Juna mengakhiri percakapan sore itu.
***
21 Februari 2020
Vote dan komen 😉Part diatas....hmmmm...
#pengennulisceritabarudanlain
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Художественная прозаWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...