Bab.3
Farhan10 tahun kemudian ....
Sakila menyeringai sinis sambil berkacak pinggang di ujung pematang sawah. Dia menatap bocah dengan baju kotor itu tajam.
Setajam silet ....
Mirip kata-kata dalam sebuah acara siang di televisi.
"Bun ... maaf," cicit bocah itu takut-takut. Dia tadi disuruh oleh ibunya ke warung untuk membeli sabun cuci piring tapi saat di jalan dia tergoda mencari belut di pematang sawah karena panggilan teman-temannya. Teman-temannya yang lain sudah kabur begitu melihat rupa singa galak satu ini. Sakila si janda monster.
"Pulang!" Suara Sakila melengking membuat sakit telinga yang mendengarnya.
Bocah dengan baju kotor itu menunduk pura-pura takut dan mulai naik ke pematang dan berjalan terlebih dahulu untuk pulang.
"Udah mau magrib malah main lumpur. Kamu bisa nyuci baju sendiri, hah?! #@$&##&@#! $@$&$$&##@!!"
Bocah itu terus menunduk mendengar serentetan peluru tanpa mesiu dari ibunya. Dia hanya meringis dengan tersenyum sembunyi-sembunyi karena lagi-lagi dia ketahuan.
"Farhan, ayo pulang!"
Dengan pasrah, bocah bernama Farhan itu menggeloyor pulang ke rumah. Di belakangnya sang ibu masih saja mengomelinya hingga tiba di teras rumah.
"Sudah ... La. Farhan masih kecil." Suara sang ayah menjeda rempetan Sakila.
Dengan lega, bocah itu berterima kasih pada kakeknya dan pergi ke belakang untuk membersihkan diri.
"Bapak sih, nurutin semua maunya Farhan. Tuh lihat, Pak. Mau magrib malah main lumpur. Kayak bisa nyuci baju aja." Sakila masih tetap tidak terima.
"Nyuci ya tinggal dicuci, La.Namanya juga anak-anak, La. Kamu dulu waktu kecil juga begitu. Apa kamu lupa, dulu habis magrib pernah bikin geger kampung karena hilang? Malu-maluin Bapak saja kamu."
Sakila ingat. Dulu waktu kecil dia juga bandel sekali. Pernah suatu malam warna kampung harus geger karena mencari dirinya yang menghilang dari rumah. Bahkan berita kehilangannya di siarkan menggunakan speaker masjid. Dia yang saat itu masih kecil belum paham arti dari pengumuman masjid hanya santai saja memetik buah belimbing di pekarangan samping rumah.
Namun begitu banyak warga yang memanggil-manggil dirinya, barulah dia bersuara dan menjawab panggilan itu.
Respon ibunya begitu dia ditemukan adalah memeluk dirinya erat, namun begitu pelukan itu terlepas, omelan ibunya tidak berhenti hingga dia menginjak bangku SMA. Nasib yang tragis.
"Tapi kan, Pak. Anak juga harus belajar disiplin. Biar bisa maju."
"Halah, kamu buktinya. Lulus kuliah malah mendekam di desa. Buat apa ijazah kamu itu? Buat pajangan aja gitu? Biar tetangga tahu kamu sudah lulus kuliah, tapi sayang jadi pengangguran?"
Sakila menghela nafas panjang. Selalu begitu. Beberapa tahun ini, ayahnya sering menyinggung ijasahnya. Dia mengerti jika sang Ayah ingin dia bergerak. Tapi ... dia tidak siap jika harus pergi ke kota lagi. Kota itu sangat kejam dan menakutkan. Jika dulu dia bisa memandang sebagai sebagai sebuah tantangan, kini dia malah melihatnya bagai sebuah resiko.
Dia memang bisa pergi ke kota lain, tapi dia tidak yakin juga bisa beradaptasi dengan baik. Katakanlah dia takut. Dia memang takut untuk melangkah lagi. Baginya cukup hidup bahagia di desa bersama Ayah dan Farhan.
"Di Jakarta kamu bisa cari kerja yang lebih baik." Lelaki itu memandang anak semata wayangnya dengan campur aduk. Dia ingin anaknya mengikhlaskan masa lalu yang menyakitkan itu. Dia tahu anaknya selama ini hanya pura-pura bahagia. Dia tahu jika anaknya hanya berpura-pura ceria dan menjadi sosok lain galaknya minta ampun untuk menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya.
Anak perempuannya itu tidak mau dikasihani orang karena nasibnya yang kurang beruntung.
"Sudahlah, Pak. Besok-besok saja diomongin lagi. Kila mau ambil wudhu dulu, sebentar lagi adzan Maghrib." Sakila mencari alasan untuk pergi dari hadapan ayahnya. Dia juga sebenarnya tidak nyaman jika ayahnya sudah mulai menyinggung-nyinggung kota dan kota.
Biarlah dia bersembunyi dulu agar dia siap melanjutkan hari.
***
Sakila termenung di atas ranjang. Malam ini dia merasakan lagi perasaan sakit yang dulu pernah dia rasakan. Meskipun rasanya memang memudar seiring berjalannya waktu, namun tetap ada rasa benci dan juga marah di dalamnya.
Dia dulu merasa sungguh semuanya terasa tidak adil. Tapi sekarang dia berpikir sebaliknya. Mungkin saja lebih baik jika semuanya berakhir lebih awal hingga dia tidak harus menderita lebih banyak.
Entah sebenarnya dia juga tidak yakin apakah mantannya itu laki-laki baik atau tidak setelah perceraian. Nyatanya laki-laki baik pasti akan menemui orang tuanya dulu jika ada ketidakcocokan atau masalah, kemudian mencari jalan keluar dan meneliti masalah bersama. Bukan malah lepas tangan, menceraikan Sakila, mengusirnya dari rumah serta tidak memberikan sepeserpun uang untuk wanita itu.
Sakila masih ingat dengan jelas bagaimana dia keluar dari rumah itu dengan perasaan terhina. Hanya uang tabungannya yang akhirnya menyelamatkannya hingga dia bisa pulang ke kampung halaman. Mungkin jika dia tidak memiliki tabungan, dia hanya bisa menjual perhiasannya atau ponselnya untuk mencari ongkos.
Benar-benar laki-laki yang tidak bertanggung jawab!
Jalan uraikan tentang uang tunjangan masa Iddah atau apapun itu, Sakila benar-benar hanya membawa semua barang-barang yang dia beli dengan uangnya sendiri.
Ah, untuk apa dia mengingat luka itu. Yang ada hanya kesal dan marah. Pertanyaan ayahnya sore tadi membuat dirinya berpikir, haruskah dia kembali ke kota? Haruskah dia menantang nasib di sana?
Dia hanya takut jika nanti terluka kembali. Mampukah dia?
Bagi Sakila, mengadu nasib di kota itu tidak sesederhana yang orang pikir. Apalagi dia juga memiliki kenalan atau teman di sana. Begitu mereka bertemu dengan teman atau kenalan, mereka pasti akan banyak bertanya, mengulik masa lalunya.
Memang sebenarnya hal itu biasa terjadi, tapi Sakila yang enggan mengingat-ingat masa kelam itu. Ck. Apa yang harus dia lakukan?
Sakila berguling-guling di atas ranjangnya dengan pikiran rumit.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiatus!
RomanceSakila ingin Hiatus. Sejak perceraiannya yang penuh air mata dan kebencian, dia ingin berhenti. Tak lagi berharap pada makhluk bernama laki-laki. Jika hidup sendiri bisa bahagia, buat apa kan menikah lagi? Tapi memang kadang manusia hanyalah pembua...