17

194 8 8
                                    

Kadang kala waktu itu teramat kejam. Berlalu begitu cepatnya namun tetap saja menyimpan kenangan yang tak kunjung hilang. Ya walau sebenarnya salah otakku sendiri yang terlalu berpusat tanpa niat melepas.

Selama beberapa tahun ini aku memilih menyibukan diriku sendiri. Terkadang menonton film, kuliah, baca novel, dan juga belajar perihal baking. Dalam waktu lima tahun ini akhirnya aku bisa memuwujudkan mimpi kecilku untuk membuka sebuah cafe di sudut pinggiran kota. Tidak terlalu besar. Namun aku sangat bersyukur atas hasil yang kudapatkan.

Aku memulai rutinitas pagiku selama satu tahun ini. Membereskan cafe pada jam 07.00 pagi sebelum membukanya, menikmati secangkir cokelat panas yang kubuat sendiri. Selalu menyempatkan sejenak duduk di bangku dekat jendela. Tempat yang menjadi favoritku. Dari tempat ini aku bisa melihat lalu-lalang orang-orang dengan segala kesibukannya karena letaknya tidak jauh dari area perkantoran

Tring.

Pelanggan pertama datang. Aku berdiri. Hendak mengatakan jika Cafe kita belum melakukan Open. Namun, saat yang kulihat adalah dia. Aku hanya bisa tersenyum. Pelanggan setiaku selama setengah tahun.

"Hai!" Dia menyapaku. Kebiasaan yang selalu kudapatkan setiap pagi adalah sapaan serta senyum hangat darinya.

"Secangkir cokelat panas juga?" Aku berdiri dengan cepat menuju dapur untuk menyiapkannya. "Bisa berikan aku satu egg tart?"

"Tentu saja. Tapi kamu harus membayar pas hari ini."

Aku sengaja mengingatkannya karena kerap kali pria ini meninggalkan uang lebih untuk karyawanku. Membuatku agak sedikit kurang nyaman.

"Namaku Putra," katanya saat aku menyuguhkan pesanannya. "Boleh aku mengenalmu."

Sebenarnya bukan aku tidak mengerti gelagatnya selama setengah tahun ini. Di antara beberapa lelaki yang mencoba mendekatiku. Hanya dia satu-satunya yang berhasil menggelitik kebekuanku. Lihatlah. Bahkan hanya untuk sekadar menanyakan namaku, dia baru bisa mengatakannya setelah setengah tahun menjadi pelanggan.

Lantas, aku pun duduk mengisi bangku kosong di depannya. Aku mengulurkan tanganku kepadanya. "Perkenalkan. Namaku Alluna."

"Una?"

"Panggil saja Luna. Jangan Una. Karena aku hanya mengizinkan satu orang untuk memanggilku Una."

Dia hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi. Setelahnya aku pun kembali ke dapur untuk memulai pekerjaanku.

Hari ini aku memutuskan untuk membuat satu menu baru. Red velvet cake.

Tidak butuh waktu lama. Adonan red velvet siap dipanggang. Seraya menunggunya matang, aku pun membuat beberapa minuman pesanan pelanggan.

Saat pagi hari kebanyakan mereka memilih coffe. Berbeda saat siang hari. Borwn sugar bubble milk menjadi yang paling laris terjual. Apalagi jika suasana panas.

"Kak! Ada yang ingin membeli cake ulang tahun."

Aku pun keluar untuk melayaninya.

"Halo!"

Edvan. Satu-satunya teman masa SMA yang masih tetap setia mengunjungiku. "Aku ingin satu cake untuk kekasihku. Bisa taruh kotak cincin di dalamnya?"

"Kamu ingin melamarnya di hari ulang tahun?"

Edvan menjetikan jarinya. Tepat.

Kami berdua pun tertawa. Hanya Edvan yang bisa menyita waktuku di sela-sela kepadatanku. Karena aku sangat menghargainya. Kantornya lumayan jauh. Dia juga jarang datang.

Setelah menyempatkan diri untuk mengobrol di waktu istirahatnya. Dia pun pamit pulang. Begitu juga aku yang harus melanjutkan pekerjaanku hingga malam hari. Akan selalu seperti itu. Tapi aku sangat menikmatinya.

*****

Beberapa karyawanku sudah lebih dulu pamit pulang. Tinggal aku sendiri yang masih berada di dalam Cafe. Kumatikan satu persatu lampu, lalu berjalan untuk mengunci pintu.

Tatapanku tertuju pada langit malam. Sambil bersenandung santai. Aku pun memilih untuk mampir membeli sesuatu. Lebih tepatnya untuk makan malamku karena tadi tidak ada waktu.

Setelah membelinya aku pun memasuki mobilku dan kembali ke rumah.

'Selamat malam rindu. Hari ini aku menyapamu dalam singkatnya waktu. Terlalu banyak kesibukanku. Kau tak perlu bertanya ada apa. Yang jelas aku akan selalu baik-baik saja untukmu tanpa kamu minta. Jangan lupa tertawa untuk dunia kita yang berjarak tak tahu sejauh mana.'

Aku menyimpan kertas itu bersama tumpukan kertas lainnya. Malam ini hanya itu yang bisa kutulis. Aku lelah. Namun mataku terusik oleh satu benda berwarna merah.

Buku diary darinya. Masih kosong. Aku membiarkan putihnya tetap bersih. Kemudian kubuka lembar demi lembar kertas itu. Sampai kemudian satu lembar berisi tulisan aku temukan.

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang