Prolog

12.5K 830 7
                                    

Jung Jaehyun mengedarkan pandangan ke bar itu yang一belum-belum一bisa ia bayangkan bau dan keadaannya yang ia tebak, penuh manusia mabuk atau hampir mabuk, kebanyakan tenggelam dalam ilusi yang ditawarkan sebotol alkohol berbagai merk dan harga. Namun, meski menyukainya, bukan itu tujuannya jauh-jauh keluar dari apartemennya di pusat kota, melainkan pria yang memunggunginya di salah satu kursi kayu taman seberang jalan.

Diiringi dengusan jengkel, Jaehyun memaksa kakinya menyebrang menuju pria itu. Pertemuan ini bukan atas keinginannya, tapi demi一setidaknya peluang一membuat pria itu marah, Jaehyun bersedia datang.

"Kau sudah tiba." Pria itu mendongak dari entah coretan apapun di kursi yang sedang dia tekuni lalu tersenyum, memamerken seberapa rupawan dirinya.

Di balik glamour, kulitnya bersinar layaknya mercusuar一warna yang tidak manusiawi tapi indah. Malah, pikir jaehyun, terlalu indah. Sepasang matanya yang gelap ibarat jurang yang berbahaya sekaligus menggoda. Sedikit gerakan saja, rambut keemasannya一yang ia samarkan dengan warna hitam untuk membaur dengan penduduk sekitar一menyentuh mata dan ia akan menepisnya dengan jari-jari yang ramping dan tak bercela.

Sia-sia saja mengenakan glamour. Itu seperti lelucon, seperti berusaha menghentikan aliran air terjun. Sekeras apapun usahanya, dia tak bisa menutupi fakta bahwa dia bukan manusia. Keberadaannya yang bersinar-sinar membuat taman ini terkesan lebih indah tapi juga terlalu kumuh untuknya.

"Bangun." Jaehyun menggerakkan dagunya ke bar. "Aku lebih suka bicara di sana."

Pada kesempatan lain, sikap Jaehyun yang lancang seenaknya memberi perintah, akan mengakibatkan dia dijatuhi hukuman yang akan mengajarinya kedisiplinan, tapi dari ekspresi pria itu, Jaehyun tahu bahwa dia hanya tidak menyukai idenya meninggalkan kesejukan taman. Memang begitu一mereka menyukai segala hal yang berhubungan dengan alam. "Aku lebih suka bicara di sini."

"Terlalu banyak manusia bagimu?" Jaehyun mendudukkan dirinya di samping pria itu, lalu mengeluarkan bungkus rokok dan menyalakan sebatang. Dia tidak merokok一tidak sering一tapi kalau ada apa saja yang bisa membuat orang di sebelahnya terganggu, dia akan melakukannya.

Pria itu tertawa, suaranya bagai alunan melodi yang dalam buku cerita manusia, akan dideskripsikan sebagai suara yang bisa menyesatkan mereka saking merdunya. "Jangan bercanda, aku suka manusia."

Asap membumbung dari celah kecil di bibir Jaehyun yang terbuka saat ia bergidik pelan. Pria itu mengatakan kalimatnya seperti berkata "aku suka kue cokelat" atau "aku suka hiburan dari badut itu!" seakan dia menganggap manusia itu ... mainan. "Apa maumu? Apa kau akan mengatakannya atau aku harus belajar membaca pikiran dulu?"

Dimple di pipi pria itu muncul ketika dia tersenyum. "Sederhana saja; aku ingin istirahat. Aku ingin bertemu denganmu一walaupun kau sama sekali tidak ramah."

"Oh maaf." Sindir jaehyun. "Kurasa pendidikanku sebagai manusia tidak mengajariku keramahtamahan dengan benar."

"Oh tidak apa." Menggunakan nada dan intonasi yang sama persis, pria itu menirukannya. "Kita juga tidak dikenal sebagai bangsa yang ramah."

Jaehyun memberengut. Tidak ada gunanya mengoreksi kesalahan kata "kita" kecuali dia ingin terjebak dalam perdebatan basi mengenai jati dirinya yang telah sering mereka bahas, jadi dia hanya menukas, "Keparat kau."

Seolah Jaehyun baru saja menyanjungnya, senyum pria itu mengembang kian lebar. "Aku sudah berulang kali mendengarnya sampai aku menyerah dan menganggapnya pujian." Dia mengangkat bahunya santai. "Aku merindukanmu, sau一"

"Tidak." Jaehyun melemparkan tatapan tajam, berharap bisa berbuat lebih dari itu walau ia cukup yakin tidak akan menang. Geram, diinjaknya rokoknya, melumatkan itu hingga padam. "Aku punya nama, dan kau akan memanggilku dengan nama itu. Tidak ada nama lain, julukan lain atau sebutan lain. Hanya Jung Jaehyun, kau mengerti?"

Pupil mata pria itu melebar一sok polos, sok takut, padahal Tuhan pun tahu sifat-sifat itu jauh darinya. "Maafkan aku, Jaehyun. Ada banyak hal yang kacau belakangan ini dan kadang semuanya campur aduk dalam benakku."

"Kuharap akan jadi lebih kacau." Jaehyun menggerutu. "Kalau sibuk, kau takkan punya waktu mengusikku."

"Aaah, jahat sekali kau." Dengan gerakan malas-malasan, pria itu menyentuh tiang lampu taman yang terbuat dari besi di sebelahnya一satu dari sekian banyak yang tersebar di taman ini, yang merupakan alasan Kim Doyoung, teman Jaehyun, menghindarinya. "Kau tidak tahu saja aku membawakanmu hadiah."

"Hadiah?"

Suara pria itu terdengar geli. "Aku tahu manusia merayakan hari kelahiran mereka sebagai tanda bersyukur atu semacamnya. Mereka meniup balon, memakai topi一"

"Itu hanya untuk anak-anak." Jaehyun berkata muram, marah pada dirinya sendiri karena terpancing, tapi kalau direnungkan, mereka dibesarkan di lingkungan yang berbeda dan pria itu jelas lebih mahir soal bermain kata. "Sebutan kerennya adalah ulang tahun."

"Ulang tahun." Pria itu melafalkannya dengan cara yang sama seperti seseorang mencicipi makanan yang tidak enak. Dia pasti menilai itu konyol, karena dirinya bisa hidup sangat lama dan bahwa dia tidak perlu merayakan bertambahnya usianya yang bisa mencapai berabad-abad. "Lucu juga. Aku tidak tahu kau mau ber ... ulang tahun atau tidak, tapi aku tetap ingin memberimu hadiah."

Bersamaan dengan itu, pria itu mengeluarkan hadiah yang dia maksud; berkilau dalam keremangan cahaya matahari yang serasi dengan warna asli rambutnya. Mungil, ringan, indah luar biasa.

Jaehyun memasang tampang terhina. "Barang bekas? Sungguh murah hati."

Senyum pria itu tidak goyah sedikitpun. "Bukan sembarang barang bekas. Kupikir, kau layak menerima ini, sebagian kecil dari apa yang seharusnya jadi milikmu."

"Aku tidak membutuhkannya." Namun tak urung, diambilnya hadiah itu karena dorongan untuk menyentuhnya tidak tertahankan. Benda itu terasa hangat saat ia menyelipkannya di saku kemejanya.

Kepuasan berkelebat di mata pria itu. "Aku tahu kau akan menyukainya. Aku harus pergi. Semakin lama, semakin sulit untuk menyelinap. Keadaannya benar-benar sedang tidak baik."

"Begitu." Suara jaehyun datar. Tidak ada kepedulian di wajahnya. Menyangkut menyembunyikan emosi, dia salah satu yang terbaik.

Sebelum Jaehyun sempat mencegahnya atau menghindar, pria itu meletakkan tangannya di pundak Jaehyun dan menepuknya dengan lembut. "Berhati-hatilah dan jaga dirimu, saudaraku." Kemudian dia pergi, tidak menghilang, tapi pergi dengan gerakan yang terlalu cepat untuk ditangkap kamera apalagi mata manusia. Pengunjung lain yang dalam waktu singkat jadi penggemarnya tampak kebingungan.

Jaehyun menghela napas. "Kau juga, makluk bodoh."

Dia berpaling pada Doyoung yang menunggu di depan pintu bar, tidak bisa mendekat karena besi-besi di taman, tapi pasti bisa menebak apa yang terjadi karena seringainya terlihat. "Hei, fairy, sudah selesai urusan keluarganya?"

 "Hei, fairy, sudah selesai urusan keluarganya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nyoba2 bikin fantasi lagi karena kangen. semoga yang ini tidak ter-unpub deh WKWKWK

WARNING/? :

- Banyak kata kasar dan adegan kekerasan

- Alurnya lambat karena prinsip gua alon alon asal asique

Morality : A Prince's Tale ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang