"Keluarga itu menyatu bukan satu-satu."
💫💫💫
Pagi hari seharusnya ditemani oleh keluarga yang harmonis. Mengucapkan selamat pagi dan sarapan bersama. Namun, berbeda dengan aku. Sendiri. Hanya ada kursi berjejeran dan sebuah roti.
"Maaf, Tuan muda. Tuan dan Nyonya besar telah tiba tadi malam." Sri—pembantu di rumah— memberitahu. Tepatnya hanya pemberitahuan saja.
"Ya sudah, Bibi kembali ke dapur dulu, Tuan," ucapnya ramah.
Ayah? Bunda? Tiba? Tapi kenapa tidak sarapan bersama? Apa tidak rindu dengan anaknya ini? Sial, percuma saja mereka di rumah, tapi tetap sama. Sepi dan sendiri. Aku benci.
Roti ini hanya sekedar mengisi tenaga bukan mengisi semangat dalam jiwa. Sebenarnya kedatangan mereka penting buat aku karena dengan begitu semakin cepat aku beritahu tentang ini semua.
Iya, walaupun aku tau. Mereka pasti bakal nolak dan gak mau datang ke rumah Ica.
Wanita paruh baya berparas cantik turun dari sebuah tangga. Olivia Frinanta namanya. Sosok yang melahirkan, tapi tak membesarkan.
Cukup sakit, tapi bagaimanapun aku tetap menghargai, sedikit. Dia tetap yang berjuang antara hidup dan mati ketika dulu. Sekarang hanya sebagai nama tanpa ada sayang.
"Nif, bagaimana kerjaan kamu?" tanyanya senyum.
"Gitu," jawabku.
"Oh ya, Bunda di rumah cuma hari ini aja. Besok terbang lagi ke Bali. Ayah juga lusa pergi ke Makassar," Jelas bunda.
What? Apa mereka tidak lelah? Apa mereka tidak rindu akan anaknya? Apa mereka tidak memikirkan aku? Aneh.
Begitulah mereka. Datang bmhanya singgah. Bukan untuk membuat bahagia, tapi semakin benci akan sikap mereka.
Bukan maksudku durhaka. Hanya mereka yang membuat aku marah. Marah akan kesibukan yang tiada henti setiap harinya.
Tunggu dulu, kalau bunda pergi esok hari berarti aku harus membicarakannya hari ini. Kan tidak mungkin nanti. Bilang saja dulu, kalaupun mereka tak setuju toh aku akan memaksa.
Aku memberanikan diri untuk bilang apa yang seharusnya diucapkan. Dan saat itu pula Ayah turun. Jadi, ini kesempatan yang bagus buat bilang.
"Bun, Hanif mau bilang sesuatu," ucapku.
"Kamu mau bilang?" tanya bunda, ayah pun ikut penasaran.
"Hm... Hm... Ha–"
"Yang benar kalau mau bicara. Ga usah gugup. Jangan kayak anak cewe!" Perintah Ayah.
Aku menunduk. Semakin takut kalau mereka tak mau. Namun, demi Ica aku rela.
"Hanif mau ngelamar seseorang."
Bunda dan ayah terkejut. Matanya tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Mungkin karena mereka tidak tahu bagaimana keseharianku.
"Kamu serius?" tanya Ayah.
"Hanif serius. Kemarin sudah melamar hanya saja seseorang itu minta waktu dan juga calon mertuaku mau ayah dan bunda ikut serta."
"Haduh, bunda sibuk nih. Mau arisan dulu, ya!" Bunda pergi meninggalkan aku dan ayah.
Tersenyum. Itu yang aku lakukan setiap kejadian seperti ini. Selalu ada alasan yang mungkin gak masuk akal.
"Ayah juga mau pergi? Gak senang anaknya mau punya pendamping hidup?" teriakku. Sengaja, supaya bunda mendengar pula ucapan ini.
"Apa kalian tidak pernah memikirkan aku? Sampai hal yang terpenting dalam hidupku saja kalian anggap cuma permainan. Pergi begitu saja tanpa mau memberi jawaban ataupun saran. Itu yang namanya orang tua?"
"Satu lagi, aku cuma mau jujur. Seseorang yang aku cintai itu sederhana. Dia tidak cantik, tapi hatinya sempurna bagaikan purnama. Keluarganya sederhana, tapi setiap hari memiliki cara untuk bahagia. Tidak seperti kita yang mencari kesibukan cuma demi kesenangan."
Cairan bening menetes. Entah, saat ini runtuh menghampiri bertubi-tubi. Jika kebenaran mereka tetap memilih kesibukan daripada aku, cukup pergi dan tidak perduli lagi.
"Berhenti kamu!" titah Ayah. Terlihat sekali matanya melotot, tangannya sudah geram seakan ingin menerbangkan di pipiku.
"Kenapa? Kalian merasa? Bukankah ini sebuah kejujuran? Toh keluarga ini memang sudah rusak semenjak Harun GILA. Tau kenapa dia gila? Ya karena kalian."
"Berhenti! Ayah bilang berhenti ya berhenti!" ucapnya menggebu-gebu.
Bunda membalikkan badan. Tetesan air matanya pun keluar. Ah, baru aku lihat dia menangis. Apa cuma tangisan palsu?
~Tbc
Eh eh eh
Jangan lupa vote yeeeeeee😗
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi dan Bulan
Teen Fiction"Mulai hari ini, Adek jadi pacar Abang." Sebuah kalimat terlontar saja dari pria tampan. Menatap wanita pujaan yang disayang dan selalu dinanti kehadirannya. "Bang, maaf sebelumnya. Adek ini kan jauh dari kata sempurna sedangkan Abang itu lebih dar...