tiga - kehilangan

9 2 2
                                    

"Kau sudah berjuang banyak untuk ibu, Sayang. Kau telah bekerja hampir selama 24 jam. Ibu di sini hanya dengan masakan buatanmu di nakas. Maafkan Ibu, Sayang. Ibu tak sanggup lagi ...." Arabella memandangnya nanar. Kemudian membuka kedua tangan-mempersilakan putranya untuk memeluk.

"Ibu ... sangat menyayangimu, Chester. Selamanya, dan selalu." Chester memeluknya cepat. Meleburkan air matanya pada Arabella.

Pikirannya yang buruk kembali menggerogotinya. "Ibu ...."

Setelah cukup lama berpelukan, Chester melepaskan kedua tangannya dari sentuhan Arabella. Ia melihat ibunya yang tertidur. Disentuhnya pipi wanita tua itu. Sial, tiada gerak-gerik sama sekali setelah itu.

***

Semua berkostum hitam. Dalam hujan yang menggenggam hari. Redupnya awan menandakan waktu yang tak senang. Chester terus menangis, berteriak lantang tentang rasa sakit.

Payung hitam yang ia genggam, kini rasanya seakan patah. Pegangannya sangat kuat, dengan air mata yang tak kunjung mereda. Kelopak matanya merah, seperti kornea putihnya yang kini juga ternodai. Nanar tatapannya, memandang batu nisan bertuliskan nama ibunya.

Semua orang yang melayat telah meninggalkan Chester sesudah berdoa. Namun, lelaki itu hanya diam seraya memandang kosong ke arah tanah yang baru saja digali dan dikembalikan lagi. Sial sekali, opini buruk Chester tak bisa terbendung lagi.

"Tuan Chester, aku ... aku tahu perasa-"

"Tutup mulutmu." Chester membalikkan badan, menatap seorang gadis yang ternyata karyawan baru milik Edwin. Tanpa menggubris ucapan puan manis itu, ia berlari menjauhi area pemakaman dan cepat-cepat melajukan mobil tua milik peninggalan ayahnya.

Gadis itu bernama Aleshandra. Kepalanya menggeleng cepat, segera mengejar lelaki itu. Edwin pernah bercerita banyak tentang Chester. Ia merasakan benar rasanya berjuang pada seseorang, kemudian ditinggal tanpa kebahagiaan yang jelas.

Akhirnya, Chester berhenti di rumah sederhananya. Kepalanya tertunduk, tapi cepat-cepat menggunakan kunci pintu untuk membukanya. Didorongkannya benda tinggi itu untuk masuk. Lekas-lekas pemuda itu menutupnya kembali dengan kuat.

Emosi itu, Aleshandra bergidik ngeri.

Namun, setelah itu terdengar suara teriakan putus asa milik Chester. Erangan kepedihan jiwa, sampai pula terdengar benda-benda yang dilempari. Bahkan, gelas pun sepertinya jadi incaran.

Chester kacau sekali.

Aleshandra berlari mendekati rumah Chester. Mengintipnya dari jendela bertirai putih tipis. Ia memandangi dengan hati-hati. Di sana ada sebuah pisau yang digenggam teman kerjanya.

Entah dorongan dari mana, Aleshandra membuka pintu-yang ternyata tak terkunci. Kakinya segera berlari melepaskan genggaman pisau dari Chester, lalu melemparnya cepat ke arah asal. Kini, tangan kanannya menggenggam tangan lelaki itu.

Chester menatap Aleshandra dengan mata merahnya. Ia melepaskan tangannya dari gadis itu. Kedua alisnya miring, seperti menahan amarah. Aleshandra bergidik, lelaki itu tak pernah sepecundang ini.

"Apa yang kau mau, hm?" tanya Chester dengan wajahnya yang tak karuan menimbun segala emosi. "Keluarlah."

Suaranya lembut, tetapi sangat menusuk hati Aleshandra. "Tuan Chester ... aku tak mau kau pergi secepat itu ...."

"Lalu? Siapakah aku dalam dirimu? Aku pantas mati! Tiada siapa lagi yang bisa menjadi milikku!" bentak Chester kemudian melemas. Ia terduduk di sofanya dengan kedua matanya yang terpejam. Di sana masih mengalir air mata yang menunjukkan kepedihannya yang panjang.

"Aku pernah mengalaminya, Chester." Aleshandra masih berdiri di samping Chester. "Kau bisa bangkit."

Kekehan Chester terdengar hina. Ia meremehkan gadis itu. "Kau selalu omong kosong."

Rasanya, Aleshandra hendak balik marah. Namun, ia tetap menahannya. Berusaha menghentikan opini buruk tentang Chester yang mungkin bisa mati jika ia tak menepis pisau itu sesegera mungkin. "Ibumu sedih melihatmu seperti ini. Apalagi, ketika kau berniat membunuh dirimu seperti itu. Ia takkan pernah merasa tenang di sana, jika kau terus seperti ini."

Chester terpaku. Melebarkan kedua kelopak matanya, lantas menatap Aleshandra. "Kau siapa?"

"Tak perlu tahu, untuk sekarang." Aleshandra tersenyum kecil. "Ibuku juga telah ada di sana." Tangan kanan gadis itu terangkat ke udara, kemudian membangkitkan jari telunjuknya, dan membiarkan jari lainnya saling menggenggam.

"Kau tak seharusnya hancur seperti ini." Aleshandra berkomentar halus. "Ikhlaskan, karena ia akan senang di sana, Chester. Tuhan menyayanginya. Kau ingin ibumu senang, 'kan? Kau tak boleh bertidak sesuka hatimu sekarang. Opini burukmu itu mengatur segala jiwamu."

Bibir Chester rasanya tak ingin berbicara. Amarahnya mereda. Kakinya bergerak untuk kembali berdiri. Kedua bola matanya terfokus pada Aleshandra.

"C-Chester...?" Aleshandra merasa canggung. Namun, ia tepis sebisa mungkin. "Aku Aleshandra, teman yang akan berjuang denganmu."

***

debuan wkwk cuma pengen tau siapa aja yang masih mau baca. Kalau masih ada aku lanjut huehehe soalnya ide baru udah ada ;)

AsleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang