Aku mencoba pulang dari rasa sakit. Setelah sekian lama, dendam itu tak berkesudahan dan semakin membakar dada yang sedang baik-baik saja hingga terasa hangus. Rasa sakit itu, membekas. Entah sampai kapan. Meski mencoba kulupakan. Tapi kekuatan sakit lebih ekstream dari rasa takut akan adanya angin badai setelah sekian bulan tiada hujan.
Setiap dari kita tak meminta sakit itu ada. Tetapi ia akan otomatis berada. Mengiringi rasa bahagia. Rasa sakit adalah ujian untuk mengkhlaskan untuk tidak merasa memiliki yang kita harapkan atau kita jaga. Tetapi cinta tanpa rasa memiliki seperti gula tanpa rasa manis. Adanya sakit akan menguatkan cinta. Tapi bisa juga lebih sering meninggalkan cinta.
Cinta mengajarkan kepedulian. Rasa sakit menghantui kita dengan ajaran 'harus meninggalkan'. Rasa sakit lebih betah tumbuh di ruang hati yang berisi, ruang dia di dalam kehidupan kita. Ia tumbuh, dan tumbuh. Semakin kita mengingat masa lalu, semakin dewasa umur rasa sakit itu. Dan lama-lama menjadi gunung yang tak berkesudahan pertumbuhanya.
Ada yang bilang, rasa sakit itu harus di lupakan. Bahkan dia pun pernah bilang, "Jangan pernah membenciku, karena sebenarnya aku tetap mencintaimu." Tetapi, yang muncul adalah air mata. Dan lagi-lagi, air mata menimbulkan sesaknya dada untuk bernafas. Padahal udara yang sebanyak ini bebas kita ambil setiap saat. "Sampai kapan, manusia sepertiku ditemani rasa sakit?" Ucapku.
Terkadang ingin kusayat tanganku untuk mengakhiri hidupku agar rasa sakit juga ikut pamit. Atau setidaknya aku minum obat-obat generik yang berlebihan demi mengalihkan rasa sakit. Bahkan telah kucoba memburu apa yang membuatku bahagia. Dua hal itu telah aku lalui, kecuali menyayat tanganku. Sebab itu terlalu cengeng. Tetapi, dua hal itu tak membuatku lupa akan rasa sakit.
Cinta yang hadir beberapa bulan sungguh tak tahu diri. "Untuk apa datang jika hanya menanam luka yang tak ada obatnya. Sedangkan mencari pelampiasan hanya akan menyakiti diriku sendiri. Dan jika pelampiasan itu ke orang lain. Justru aku bersepakat untuk membudidayakan rasa sakit ke orang lain. Menolak cinta, aku tak bisa. Membuang rasa sakit begitu besar pengorbananya," ucapku.
Pantas saja, semakin lama umur manusia, umumnya semakin bersinar sendirian. Bisa jadi mereka telah paham betul tentang 'antara tidak penting atau sulitnya menaruh kepercayaan ke orang lain.' Dan wajar ketika mereka berkata pada khalayak, 'Inilah keluarga kecilku.' Bukan 'Keluarga besarku'. Padalah sebenarnya, semua manusia adalah keluarga dari leluhur nenek moyang suku dan ras kita. Bahkan keluarga dari tuntutan nabi Ibrahim hingga Adam.
Dan beruntunglah mereka yang berani mencintai dengan pemahaman, 'bahwa hidup dan prosea hidup ini adalah skenario Ilaihi rabbi. Yang ada akan kembali tiada. Yang hidup akan mati. Dan manusia tak punyaa secuil amanah untuk memiliki kecuali menjaga dengan yang kita mampu. Dan membenci kepergian sama artinya membenci Ilaihi rabbi. Dan membenci Rabbi adalah syirik yang sebenarnya.'
KAMU SEDANG MEMBACA
RANUNG, Lovely In Java
Teen FictionCinta yang hadir harus dirasakan, agar kepekaan cinta berkembang menjadi kepeduliaan hingga akhir hayat