Jingga menatap cewek yang mengenakan jaket oversized itu, cewek yang tadi meminta untuk meminjam ponselnya. Anehnya, Jingga berakhir meminjamkan ponselnya.
"Lah? Emang temen, kan? Temen satu angkatan, temen satu sekolah. Dia temen gue, temen lu-lu pada juga, kan?"
Entahlah. Setelah mendengar si cewek tadi—Ira, berkata demikian, ia jadi tergerak untuk mengizinkan Ira memakai ponselnya.
Jingga tak mau ambil pusing. Ia mempercayakan ponsel dan sedikit privasi yang ada diponselnya kepada Ira. Lagipula, sekali-sekali menolong teman ya tidak masalah.
Ia berjalan keluar kelas, mencari teman-temannya.
"Woi, Jingga!"
Sang empunya nama menoleh, menatap sahabatnya itu, Mikael. Ia menghampiri cowok kurus yang satu itu, dan berdiri disebelahnya.
"Tumben kaga maen hape. Ga bawa?" Tanya Mikael.
"Dipinjem Ira." Jawab Jingga santai.
Mikael mengerutkan kening. Jelas ia tidak asing dengan nama itu. Sebuah nama yang... ah nanti dulu. Jingga yang meminjamkan ponselnya selain kepada dirinya dan Greg memang aneh.
"Lah? Tumben banget lu minjemin ke cewek."
"Nggak apa-apa lah. Kasian juga dia nggak bawa baju ganti."
Mikael semakin bingung saja pada cowok satu itu. Ini orang kenapa sih?
"Jingga yang gue kenal rasanya hati aja nggak punya, apalagi belas kasihan. Aneh lu, Jing."
Jingga terdiam. Ia menghela napas, dan membelokkan pembicaraan begitu saja.
"Jangan panggil 'Jing' ngapa dah." Ujarnya sambil terkekeh kaku.
"Awas suka aja, Jing." Kata Mikael, seolah apa yang diucapkan Jingga barusan hanyalah semilir angin lewat.
"Gajelas lu, Miki. Gue mau ke kelas dulu, deh. See ya!"
Jingga memutuskan untuk pamit dan kembali ke kelasnya, siapa tau Ira sudah selesai meminjam ponselnya.
Kakinya melangkah masuk kedalam kelas yang sudah mulai ramai. Ia menuju tempat duduknya, mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi not lagu klasik yang sedang ia pelajari.
Jingga adalah seorang pemain cello. Ia sudah menekuni alat musik itu sejak usianya baru lima tahun.
Ketukan jari pada mejanya membuat Jingga mendongak. Ketukan yang sama seperti yang Ira gunakan saat meminta untuk meminjam ponselnya. Dan ya benar saja, Ira berdiri dihadapannya.
"Thanks a lot, ya!!" Ujar gadis itu, diiringi sebuah senyum yang lebar.
Jingga mengangguk pelan, namun ia terpaku sesaat. Mata Ira yang menjadi seperti bulan sabit saat tersenyum, senyum lebar dengan gigi kelincinya, juga binar iris matanya sangat tidak asing bagi Jingga.
Ia menggelengkan kepalanya, segera bangkit dan keluar dari kelasnya.
...
"Mau bareng nggak, Ra?"
Ira tersenyum lembut, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Gue mau latihan, Gem. Sorry, ya." Ujarnya diiringi senyuman lembut.
"Oh, nggak apa-apa. Santai aja, Ra."
Gadis itu mengangguk kecil. Gema berjalan, ia pamit untuk pulang lebih dulu. Ira merapikan barang-barangnya, memeriksa beberapa kertas-kertas not yang ada dalam sebuah map hitam polos.
Ia sudah memperlajari sedikit lagu-lagu tersebut di rumah, sehingga sepertinya latihan di sekolah kali ini tak memakan waktu yang begitu lama.
Kakinya berjalan, menuju ruang musik. Sebuah ruangan kesukaannya. Ia sudah meminjam kunci dari pengurus gedung, dan anehnya pintu tak dikunci ketika sampai di ruangan tersebut. Ia tak ambil pusing, dan langsung melengos masuk.
Ia letakkan tas dan barang-barangnya di dekat tembok, sambil menghela napas. Ira tersenyum singkat, mengeluarkan dan mempersiapkan biolanya. Rencananya, latihan beberapa piece untuk biola, dan kemudian ia ingin bermain piano.
Ira mempersiapkan notnya, biolanya, dan juga dirinya. Ia duduk dengan posisi yang siap untuk bermain, dan mulai menggesek alat musik tersebut.
Ia larut, dalam permainannya sendiri. Bahkan barangkali terlalu larut sampai tak sadar ada seseorang yang memandangnya sedari tadi.
"Almeira?" Panggil orang tersebut setelah Ira menyelesaikan permainannya.
"Loh, Jingga kan?"
Jingga, orang yang memandangi Ira sejak tadi, mengangguk. Jujur, ia agak kaget juga dengan kemampuan bermain Ira. Itu benar-benar bagus.
Ira menatap Jingga, malah salah fokus ke sebuah tas gitar disebelah cowok itu. Juga ada beberapa lembar kertas, dan sebuah pensil.
"Menulis lagu?"
"Ya... begitulah."
"Nggak apa-apa gue disini?"
Ira bertanya demikian, sebab dari pandangannya, Jingga adalah orang yang tak begitu nyaman diamati orang lain ketika sedang menekuni kegiatannya. Puitis dan pandai bermusik.
Jingga sendiri juga bisa maklum Ira bertanya demikian. Keduanya mirip, lebih suka menekuni hobi mereka dalam kesendirian. Membuat waktu berkualitas bersama diri dan hobi mereka sendiri.
"Nggak apa-apa, tapi kayaknya lu aja deh yang di sini. Gue bisa pake tempat lain, kok." Ujar Jingga.
"O-Oh, oke. Sorry ya, jadi harus pindah."
"Tenang aja, gapapa." Kata Jingga sambil berjalan keluar, dengan sedikit senyum tipis.
Ira menjadi kikuk sendiri, merasa kaku karena belum pernah ada orang yang berada satu ruangan dengannya ketika ia sedang latihan. Kecuali latihan bersama orkestra, tentunya.
Jingga sudah ada di ruangan itu sejak tadi, dan anehnya Ira sama sekali tidak sadar! Jujur, ia sedikit malu karena kejadian barusan. Ira bodoh! Mengapa tidak memeriksa sedikit ada orang atau tidak?
"Ah udahlah, biarkan."
Akhirnya, ia berkemas dan memilih melanjutkan latihannya di rumah.
Mikael nih ges
ENTAH APAAA INIIIII
Berantakan, hehe. Yaudahlah ya. Wkwk.
Votement ya ges hehe tengsss
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan, Jingga, dan Secangkir Cerita
Romansa[SLOW UPDATE] "Kau tau aku sosok yang membosankan, monoton, dan menyebalkan. Rasanya mustahil ada yang mencintaiku seperti apa yang kau lakukan," Ujarnya, sore itu. "Kenapa? Kau memang membosankan, dan menyebalkan. Namun kau menulis. Segala tulisan...