Chester menggerutu di pagi seperti ini. Ia bangun terlambat. Pekerjaannya di kafe dimulai beberapa menit lagi. Shit, lelaki itu hanya bisa mandi dengan cepat. Kemudian menggunakan kaus oblongnya—tak mempedulikan rapi atau tidaknya. Dibaluti kemeja polos berwarna biru tua.
Kakinya yang berbalutkan sepatu sobek melangkah begitu cepat. Mengejar target tentang waktu yang tak sedang berpihak. Keringatnya bercucuran, kemudian mendorong pintu kafe. Ia masuk dengan tergopoh-gopoh. Rambut cokelat cerahnya sedikit terkena basahnya cairan tubuh tersebut.
"Sial." Chester kembali merutuki, kemudian berjalan asal ke tempat ia meracik kopi.
"H-hai," ucap seorang gadis yang perlahan menghampirinya. "Aku sudah melayani semuanya. Jangan khawatir."
Chester melihat siapa yang berbicara padanya. Matanya membelalak, dengan bibirnya yang setengah terbuka. "A-Aleshandra?"
"Ya, panggil saja Alesha." Senyum Alesha terbit sangat manis. Dengan kedua pipinya yang terpancar merah merona. "Tenang saja, Chester. Kau beristirahatlah."
Tiba-tiba, senyum Chester juga mengembang meski kecil. Ia berucap, "Terima kasih, Alesha."
Alesha mengangguk kecil. Kemudian duduk, mengikuti Chester yang berjalan menuju bangku yang berada di ujung pelayanan kafe. "Kau membaik?"
Dehaman Chester mewakili ucapannya saat ini. Ia tak ingin menggeleng, pun mengangguk. Pikirannya masih bingung. "Jika aku ingin kopi sekarang, mungkinkah aku dipotong gaji?"
"Kau bisa saja," ucap Alesha diiringi kikikan. "Mau kubuatkan kopi?"
"Tak perlu. Aku bisa membuatnya untukmu." Chester berdiri, tapi segera ditahan oleh Alesha. "Kenapa?"
Kepala Alesha mengangguk. "Aku buatkan, kau terlalu lelah."
Entah kenapa, Chester mengangguk tanpa ragu. Ia duduk, memandangi keadaan kafe yang selalu ramai. Senyumnya muncul, ternyata banyak orang yang masih stay di tempat bergaya klasik nan sederhana ini. Kemudian, ia mengacak rambutnya—bermaksud merapikan. Ia lupa mengenakan pelembut rambut.
Matanya bergerak, beralih menatap Alesha dari jauh. Ia merasa hatinya tenang sesaat. Meski perkenalannya kemarin terlihat aneh. Berisi amarah, frustrasi, lalu sepucuk rasa manis yang membekas dalam hatinya.
Chester mengambil ponselnya. Mengecek apakah ada pemberitahuan, tetapi ia memutuskan untuk bermain game. Tak lama, kopi datang bersamaan dengan gadis yang kini menjadi temannya.
"Ini, kopimu. Silakan," ucap Alesha, seperti barista. "Aku juga membuatnya, jadi dua gelas."
Ponsel Chester seketika dimatikan. Kemudian memasukkan benda tipis itu ke dalam saku kemejanya. Alesha menyadari sesuatu yang janggal. Yaitu label harga yang masih menempel di bagian bahu Chester.
Kekehan Alesha membuahkan kejanggalan Chester. "A-ada apa?" tanya lelaki itu, yang tak tahu apa-apa.
Alesha melayangkan jari tangannya ke bagian bahu Chester. Menarik sesuatu yang masih menempel. Chester terpaku. "Kau lupa menariknya."
Tangan gadis itu beralih menunjukkan sebuah kertas yang kini menempel di telunjuknya. Ia memperlihatkan benda tipis itu. "Kau terburu-buru, mungkin?"
"Right." Chester tersenyum. "Aku memang ceroboh.”
Diam-diam, pipi lelaki itu terasa panas. Namun, tatapan matanya tetap setajam elang.
***
nih apdet
KAMU SEDANG MEMBACA
Asleep
RomanceAntara mimpi dan kenyataan yang tak bisa terbendung jelas. "Feel asleep. You're my euphoria, and my dysphoria."