[12] Kabar Buruk

3.5K 514 16
                                    

“Kamu bertanya, kenapa aku marah?Tentu saja aku marah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamu bertanya, kenapa aku marah?
Tentu saja aku marah. Mereka nggak tahu, pengorbanan apa yang kamu lakukan agar mereka bahagia.”

***

“Astaghfirullah al-’Adzim, jadi bapak masuk rumah sakit Bu?” Dodit terkejut dan menjatuhkan banyak piring ke westafel. Untung piring plastik, jika tidak berapa banyak uang harus dia gunakan untuk mengganti rugi.

“Iya, malam tadi! Tiba-tiba saja bapak kamu kejang-kejang. Ibu terpaksa bawa dia ke rumah sakit,” beritahu Ipeh melalui sambungan telpon.

Jantung Dodit seperti jatuh dari tempatnya ketika mendapat telpon mendadak dari Ipeh. Tidak pernah menduga akan mendengar berita yang tidak baik di pagi hari, di mana dia memulai hari dengan bekerja keras. Keringat dingin membanjiri tubuh dan wajahnya langsung pucat pasi.

“Makanya kamu cepatan pulang ke Bandung. Ibu butuh bantuan kamu dan pihak rumah sakit juga minta uang muka. Ibu nggak ngerti urusan administrasi.” Ipeh menambahkan ketika Dodit hanya terdiam karena syok.

“Administrasi? Kan ada Mas Haris! Masa dia nggak bisa bantuin bapak masuk rumah sakit. Bantu daftar dan memilih kamar?” Dodit bertanya bingung.

Ipeh meledak dalam amarah. “Haris lagi sibuk ngurus pernikahannya! Minggu ini dia nikah, masa kamu lupa? Dia harus memastikan pernikahannya berjalan lancar. Kita nggak mau pihak keluarga perempuan malu. Oh ya! Kapan kamu kirimin duit buat nambahin beli mas kawin Haris. Acaranya minggu ini!” Dia mendesak Dodit dan sekaligus mengingatkan.

“Kondisi bapak lebih penting! Bukannya begitu kan? Masa disaat seperti ini kita memikirkan pernikahan. Kita harus mendahulukan bapak,” seru Dodit tidak percaya. Hatinya penuh rasa kekecewaan.

“Bapak kamu yang nggak bisa jaga diri! Apalagi waktu menjelang hari pernikahan Haris. Bapak kamu seharusnya menjaga kesehatan. Ibu juga nggak bisa menjaganya seharian di sini. Ibu harus pilih baju.”

Ipeh malah menyalahkan balik ayahnya. Sungguh Dodit tidak mengerti. Dan menjaga kesehatan? Bagaimana bisa? Sedangkan ayahnya hanya terbaring di tempat tidur seharian. Apa mereka—Ipeh, Haris dan Anto—tidak menjaga ayahnya dengan baik? Tidak mengacuhkan ayahnya dan sibuk dengan dunia mereka sendiri? Rasanya Dodit ingin muntah, perutnya terasa mual, mungkin karena amarah atau kesedihan yang dia tahan.

“Dodit pulang!” Dodit mengambil keputusan segera.

“Baguslah, kita butuh bantuan kamu sekarang. Dan jangan lupa bawa banyak duit. Buat keperluan—”

Suara Ipeh langsung terputus. Dodit sengaja mematikan sambungan telpon. Kalau dia terus mendengarkan suara ibu tirinya, dia yakin tidak bisa menahan diri dan berakibat dengan berteriak marah padanya. Lutut Dodit lemas, dia duduk berjongkok di lantai dan merasakan kedua tangannya gemetar hebat. Hatinya sekarang dirudung cemas, membayangkan kondisi ayahnya. Namun dilain pihak dia merasa sedih dan pilu membayangkan ayahnya mungkin seorang diri di kamar rumah sakit. Memanggil-manggil nama seseorang hanya sekedar untuk ditemani atau pun diajak bicara.

Jodoh Terbaik Nadia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang