"Kang Younghyun, aku suka padamu!"
Seorang pemuda bertubuh tinggi berteriak di tengah suasana yang mulai membeku. Uap hangat bermunculan di lensa kacamata bulatnya-yang sekarang sudah merosot ke hidungnya yang tinggi. Syal yang melilit lehernya dipakai untuk menutup wajah pucatnya yang sekarang dihiasi rona kemerahan.
Sang pemilik nama-Kang Younghyun-sedikit tersentak mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu. "Eh? Bagaimana?" Tanyanya dengan mata membulat dan mulut yang sedikit terbuka. Ia kira ia salah mendengar karena angin yang bertiup semakin kencang.
Badai sebentar lagi akan datang.
Sebelum bisa mengulang perkataannya, lengan Jae sudah terlebih dahulu ditarik oleh Younghyun.
"Lebih baik kita pergi dulu dari sini. Anginnya makin kencang."
"Tunggu-"
Tanpa basa-basi, Younghyun menarik lengan kurus Jae. Kedua insan itu berlari menembus bekunya badai salju.
Mereka akhirnya bisa memasuki ruangan yang hangat.
Rumah Younghyun.
Keduanya menghela napas lega. Sedikit saja terlambat, mungkin mereka akan kesusahan untuk pulang-atau lebih parah, terserang hipotermia dan tak pulang sama sekali.
"Hampir saja," Younghyun membuka mantel tebalnya, lalu memakaikannya ke tubuh Jae. Ia lalu memegang kedua tangan Jae. Tangan kurus dan pucat itu sepertinya bisa membeku kapanpun. "Kau tidak apa-apa?" Younghyun menatap wajah Jae-yang sekarang memerah, entah karena malu atau kedinginan-dengan perasaan khawatir.
"T-tidak," jawabnya seraya mengeratkan mantel tebal Younghyun di tubuhnya. Ia sengaja menenggelamkan tangannya di dalam lengan mantel Younghyun. Ia bisa mencium aroma Younghyun yang menempel di bagian dalamnya.
Rasanya nyaman.
"Ayo masuk," Younghyun menaruh tangannya di pinggang Jae, lalu menempelkan tubuh mereka-mengikis jarak antara tubuh keduanya-sambil berjalan ke ruang tengah.
"Maaf, aku belum sempat membereskan rumahku," Younghyun tertawa canggung. Ia lalu menuju ke dapur, meninggalkan Jae di ruang tengah dengan kehangatan mantelnya.
Jae mendudukkan dirinya di atas sofa putih-yang sekarang tidak terlalu putih karena terlalu lama dipakai-sambil memandangi sekeliling ruangan. Ia memaklumi permintaan maaf Younghyun tadi. Rumahnya memang sedikit berantakan.
Lembaran-lembaran kertas berserakan di meja. Di lantai pun tak ada bedanya. Beberapa dari lembaran itu sudah berbentuk seperti bola salju yang tak karuan. Sepertinya penyaluran rasa frustasi dari seorang Kang Younghyun yang terlalu banyak memikirkan karya musiknya.
Jae memutuskan untuk bangkit dan mengambil beberapa lembar kertas.
Saat dilihat lebih dekat, kertas-kertas itu dipenuhi tulisan tangan Younghyun. Mulai dari corat-coret, kalimat-kalimat (sok) puitis yang memancarkan kebahagiaan sampai kepedihan yang (mungkin) pernah Younghyun dapatkan, sampai chord gitar dan beberapa notasi angka.
Jae tersenyum membaca isi pikiran Younghyun yang terpapar di kertas-kertas tak berbentuk ini.
Kang Younghyun memang menarik.
Tak salah bila Jae menyukainya sebagai teman, kan?
Atau bahkan lebih dari sekedar teman.
Well, crap.
Jae kembali mengingat pengakuannya beberapa saat lalu. Saat dipikir kembali, mungkin Younghyun tidak bisa mendengar suaranya. Bodoh sekali, Park Jaehyung! Mana bisa ia mendengar suaramu di sana? Anginnya sangat kencang. Kenapa pula kau memilih tempat itu-di saat yang seperti itu-untuk mengaku padanya? Kalian berdua bisa saja mati ditelan badai, tau?
KAMU SEDANG MEMBACA
farewell stop. | DAY6
Fanfiction| A resting place before you bid the last goodbye. Kumpulan fanfiction oneshot dengan cast member DAY6. Rumah penulis untuk menuangkan ide apapun yang ada di kepalanya. Berminat untuk mampir sebelum pergi? disclaimer: buku ini mengandung konten BxB...