40. The Realm of The Fallen King

1.5K 164 210
                                    

Raja Brian berjalan tegap keluar dari balairung Istana Avery. Bunyi genderang perang yang ditabuh bertalu-talu mengiringi setiap langkahnya yang membekas dalam pada salju tebal di depan halaman luar balairung yang membeku. Baju zirah menempel ketat pada tubuh gagahnya dengan beberapa kantong kulit tempat senjata yang melekat di punggung dan sekitar pinggangnya berisi pedang sihir dan beberapa pisau leluhur bangsa peri. Salju tipis berjatuhan mengguyur mahkota emasnya.

Maurelle setengah berlari menyusul sang raja. Sesekali kakinya terlihat kesulitan melangkah akibat salju tebal yang melapisi seluruh permukaan halaman istana.

"Raja Brian ... tunggu!" teriak peri cenayang itu parau. Asap putih mengepul di depan mulutnya yang terengah. 

Sang raja tak hendak berhenti atau menyurutkan langkah barang sedetik pun. Ia bahkan menulikan telinganya seolah panggilan Maurelle itu tidak pernah ada. Wajah datar dan rahangnya yang mengeras menunjukan kebulatan tekad akan apa yang telah ia putuskan. Tak ada siapa pun atau apa pun yang dapat menghalanginya lagi.

Dengan usaha sedikit keras, Maurelle akhirnya dapat menyusul Raja Brian. Salah satu tangannya dengan lancang menepuk pundak sang raja.

"Jangan pergi, Yang Mulia!" 

Langkah sang raja terhenti. Ia menoleh pada penasihat sekaligus sahabatnya dengan mata membelalak. "Walaupun hari ini adalah hari terakhirku, aku akan tetap menghadapinya, Maurelle. Jangan halangi aku!" ucap Raja Brian mantap.

Maurelle menggeleng pelan. Setetes air bening mengalir dari salah satu sudut matanya tanpa bisa dibendung. Mulutnya beberapa kali terbuka lalu menutup tanpa sepatah kata pun terucap. Seketika bahu peri cenayang itu berguncang tangisnya pecah saat sang raja balas menyentuh pundaknya.

"Bertahanlah, Maurelle. Bertahanlah untuk sang raja baru." Raja Brian melepas mahkota emasnya lalu menyerahkannya pada peri laki-laki bersurai gelap itu. "Pastikan kau selamat dan sampaikan ini pada penerusku, Maurelle," ucapnya lirih. Raja Brian berbalik melanjutkan langkah. Kristal bening yang menyembul di pelupuk matanya segera ia hapus, tak ingin kegundahan hatinya tertangkap pandangan rakyatnya.

Dari balik pintu gerbang taman istana, suara denting pedang terdengar beradu disertai suara teriakan kemarahan dan kesakitan. Perang sudah dimulai rupanya.

Sesosok kesatria Elf berbaju zirah dan topeng besi yang menutup hampir keseluruhan wajahnya memberi hormat begitu Raja Brian sampai di depan gerbang. Sang raja membalas dengan anggukan.

"Jangan keluar, Yang Mulia!" seru kesatria elf itu dengan suara bergetar. Sang panglima perang menatap rajanya dengan mata berkaca-kaca.

"Tenanglah, Gustav. Aku akan baik-baik saja," sahut sang raja mantap.

Panglima Gustav mengangguk pelan, tak hendak membantah pemimpinnya lebih jauh. Pada pertempuran kali ini, Raja Brian telah memilih untuk terjun langsung mengangkat pedang sihir bersama rakyatnya. Pilihan itu rupanya tak dapat dirombak lagi. Dengan berat hati, Gustav mengangkat palang pintu gerbang membiarkan raja melewatinya.

Ratusan kesatria elf berbaju zirah dengan tombak ataupun pedang serta perisai ternyata telah berbaris rapi di balik gerbang benteng. Mereka berbalik lalu membungkuk hormat saat Raja Brian memasuki arena pertahanan pertama Kerajaan Avery. Sang raja mengangkat salah satu lengannya ke atas tinggi-tinggi sebagai sebuah bentuk penghormatan sebelum bertarung.

Tiba-tiba sebuah hantaman keras mengenai pintu gerbang benteng yang terbuat dari baja. Gerbang itu tampak bergetar, sementara para kesatria elf kembali berbaris siaga di tempat semula menanti serangan yang bisa muncul kapan saja.

"Bersiap!" teriak Gustav seraya melangkah maju pada barisan paling depan.

Pintu benteng kembali bergetar. Suara jeritan dan denting senjata yang beradu masih terdengar dari balik pintu benteng.

Fairyverse: a Fairy Tale Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang