O4. ⌇ Perkara Jatuh.

375 54 7
                                    

Makan malam di meja keluarga Ryujin malam ini terasa hangat, kalau dilihat secara visual saja sih. Khusus malam ini ada kakaknya, Agnidista Lia Lakshitari, nama panjangnya. Gak tau deh Ryujin kalo siapa tau kakaknya punya nama panggung apa gimana.

"Gimana kampusnya, udah kerasan sekarang?" tanya ayah, biasanya ayah menekankan untuk fokus makan aja jangan ngobrol, tapi khusus malam ini beliau sepertinya ingin berbincang hangat dengan anak kesayangannya.

Lia mengangguk, tersenyum lebar. Tipe senyum yang lihat aja bisa ikut senyum juga rasanya, makanya walaupun hati Ryujin pias ia tetap menyembunyikan senyum sebab melihat lengkung curva cantik kakaknya.

"Baik, udah mulai betah juga di kos." balasnya dengan nada cerah, membuat ayah dan ibu terkekeh merasa senang.

"Oh, nanti aku boleh pinjem akte keluarga gak?"

"Buat apa?"

"Persyaratan beasiswa, udah dapet beasiswanya jadi tinggal kasih data tambahan aja."

Ryujin tebak habis ini ayahnya bakal tertawa bangga lalu mengelu-elukan Lia, memberikan kerlingan kebanggaan yang rasanya sebagai anak kalau berhasil lihat kilap seperti itu di mata orangtua, udah fiks masuk surga jalur snmptn.

lalu ibunya akan mengelus tangan Lia penuh kasih sayang, seolah bersyukur sama semesta karena sudah diberikan anak super membanggakan —ya ampun berapa kali kita ngulang kata "bangga" disini sih?!— habis ini beliau bakal semangat ke arisan soalnya mau ngaduin anak sulungnya biar ibu-ibu lain iri, tipikal.

Terus habis itu —

"Tania, kamu kapan bisa bikin ayah bangga, kayak kakakmu?"

Iya, apalagi sih skenario yang kalian impikan? Ryujin sudah berselebrasi sendiri di dalam hatinya karena tebakannya gak meleset sedetikpun, mau ketawa rasanya lalu dengan sengaknya nanya sama dunia, 'Heh apa gak punya skenario lain? udah khatam banget nih' gitu.

Tapi habis itu nangis, karena walaupun ia hafal apa-apa saja yang bakal terjadi kalau kakaknya pulang, Ryujin tetap gak siap untuk melindungi hatinya biar gak terluka.

Kadang perkara manusia itu gak banyak, cuma itu-itu saja tapi berulang terus tanpa jeda, sampai lelah setengah mampus.

Sama seperti Ryujin, berani cekik leher deh pasti 8/10 anak di Indonesia yang kalau punya saudara serba bisa udah mirip superman, pasti masalah terbesarnya dibanding-bandingin.

Orangtua selalu menjadi pihak terdekat yang sangat mungkin menghancurkan mimpi anaknya, terdengar jahat tapi benar.

Padahal capek, mau ngeluh lalu ngilang. Rasanya itu mau ngomong kalau setiap anak itu dibikinnya gak sama, halo? dikira Tuhan menciptakan manusia pake mesin fotocopy? enggak.

Tapi dalam kondisi dan situasi dimana kita seolah deposito berjangka panjang yang kalau sampai bunganya gak banyak sama dengan rugi mengeluh bukanlah jalan keluar, bukannya lega malah tambah sesak.

Jadi Ryujin memilih opsi nomor dua, mengalah. Walaupun seringkali warasnya sampai menjerit-jerit menyedihkan, gapapa. Semua hal di semesta ini cuma berputar pada waktu, nanti —gak tau nantinya itu kapan. pasti ada waktu dimana orangtuanya bakal merangkul Ryujin, lalu ngomong ke Ryujin, "Walaupun gak secemerlang bintang diangkasa, kamu masih anak kami."

Ryujin selalu mencoba percaya. Iya, pegangan sama kata percaya memang bunuh diri, tapi sepertinya itu memang keahlian Ryujin.

Yah, Ryujin tau yang akan memeluknya nanti besar kemungkinan adalah jatuh, tapi gapapa. lutut yang berdarah akan menebal dan kebal pada akhirnya. Ryujin hanya perlu bersabar sampai dirinya kebal sendiri.

[i] Adicita RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang