TB&TV | Bagian 11

295 22 3
                                    

Tak ada yang spesial awalnya, kupikir selain memiliki teman baru dan suasana baru. Namun, dengan adanya Adimas ... jujur saja aku memiliki alasan untuk setidaknya cukup semangat.

Karena entah mengapa aku tertarik pada diri Adimas yang baru.

Memandang punggung yang membelakangiku ini, lintas ingatan mengenai ibu Adimas yang jatuh sakit ... aku sedari tadi mencari sisi sedih dari anak laki-laki ini di mata teduhnya. Tapi tidak ada, mungkin belum.

Ternyata banyak hal yang tak kuketahui mengenai Adimas yang sekarang. Adimas memang telah berubah banyak seiring waktu, begitu drastis dan dramatis.

Adimas yang dulu, siapapun tahu jika masa kecil Adimas teramat bahagia. Memiliki seorang ayah yang memiliki jabatan tinggi sehingga menghasilkan uang banyak, memenuhi kebutuhan Adimas tanpa terkecuali. Hal-hal yang kuirikan saat masih SD pada Adimas-- membuat pandangan itu berubah seiring beranjak dewasa.

Memang benar, ya? Tiap orang tidak selalu berada di atas kadang juga atau nanti, dia juga harus mencicipi keadaan di bawah. Merasakan keadaan di bawah dalam bentuk apapun.

"Adimas?"

Aku menujukan mata pada guru Matematika kami. Beliau memanggil Adimas memastikan jika anak laki-laki itu bisa menjawab soal di papan tulis. Dan tanpa berpikir dua kali, Adimas bangkit sekelas mulai menggodanya dengan beberapa kalimat yang membuatku berpikir bahwa memang Adimas pantas menjadi perhatian guru.

Dia cerdas.

Dia sehat dan tumbuh begitu bugar.

Dia ganteng dengan wajahnya yang kalem juga tegas secara bersamaan.

Dia beribawa, mencerminkan sosok ayahnya.

Dialah Adimas, yang sekarang.

"Mantul Dim!" Kata teman-teman. Senyumku tak surut kala Adimas menyelesaikan salah satu soal Matematika di papan tulis dengan mulus.

Saat hendak kembali di bangkunya berada tepat di depanku, mata kami bertemu dan tak sungkan aku memberikan senyum tipis padanya.

Adimas memang cerdas menyembunyikan suatu hal. Saat dia sering menjadi bualan kekejaman anak SD dalam bentuk fisik ataupun kata, Adimas tak pernah memperlihatkan rasa sakitnya. Dan kini, juga ketika sang ibu yang telah dipilihnya-- tentu karena ia lebih menyayangi beliau, Adimas juga tak memperlihatkan kelarutan sedihnya.

○●○

Berganti jam olahraga, kami buru-buru berlari menuju lapangan. Peluit dari seorang guru mapel olahraga kami melengking memanggil.

Saat itu Indy menyahut pada seisi kelas yang awalnya masih bersantai, "panggilan maut. Buruan gaes buruan!"

Sesampainya kami dengan segera membentuk barisan tak beraturan, beliau akhirnya berucap, "duduk, duduk semua!"

"Heeeh, gak usah takut kotor itu hanya bekas rintik aja. Palingan cuman lembab. Baju kamu aja masih dicucuin pembantu. Oohh atau masih dicuciin sama orangtua?"

Pedas betul mulut guru olahraga kami. Kami menertawai salah satu teman yang ditegur. "Sudah pemanasan?"

"Belum Pak!"

"Ayo bangun semua! Pemanasan!"

Guru kami yang telah berkepala plontos dan tak pernah melepas topinya itu lalu melanjut, "lari-lari dulu, ya?"

Seketika kami mengeluh dengan nada suara frustasi. "Jangan pak pliss ... panes banget."

"Yang guru siapa?"

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang