Saranghaeyo~~ noona

437 39 12
                                    

Daegu ____ 2017

Suara ketukan cepat yang tercipta dari sepatu pantofel dan jalan aspal yang beradu. Seakan berlomba dengan deru napas yang tersengal-sengal. Gadis belia terpogoh- pogoh menerobos guyuran hujan di lorong jalan sempit. Tubuh yang terlanjur basah kuyup masih berusaha dilindungi tas kecil yang dia genggam erat di atas kepalanya.

Sial! Umpatnya dalam hati. Mengutuk hari ini yang tiba-tiba hujan bertepatan dengan jam pulang kerjanya. Terbesit nasib kurang beruntung dalam hidupnya.

Seandainya dia memiliki mobil tentu tidak akan mengalami hal menyebalkan seperti ini. Kehujanan. Tapi diingat lagi letak rumahnya berada di lorong sempit yang hanya cukup dilintasi pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Menggunakan jasa taksi pun tak bisa.

Apa dia harus mengutuk lagi nasib yang hanya mampu menyewa rumah di lorong sempit ini? Bukan tidak ada keinginan untuk pindah rumah sewa di jalan yang luas atau minimal dekat dengan halte bis. Hanya saja biaya sewa yang dipikir cukup membebani. Mengingat gaji besar baru dia rasakan 2 tahun belakangan ini walau kenyataan masa kerja telah 7 tahun dia jalani. Inti dari keluhannya adalah dia tidak terlahir dari keluarga berada.

Penderitaan bertambah lengkap dengan panjang lorong gang dari jalan raya menuju rumahnya terbilang cukup jauh. Kaki mungil itu sudah menahan nyeri sedari tadi. Kakinya sering lecet memakai sepatu hak begini.

Pernah dia membawa sepatu ganti yang dimaksud untuk dipakai hanya diperjalanan saja. Hal konyol yang terjadi dia dimarahi ibunya. Setelan baju kerja yang dipadukan sepatu casual dianggap tidak terlihat seperti pekerja kantoran.

Pegawai magang, itulah prasangka yang tidak diinginkan ibunya jika orang lain melihat tampilan putrinya seperti itu di jalan umum. Sedikit menaikkan martabat! Alasan klasik seperti telah menjadi prinsip hidup untuk ibunya.

Baru dia sadari jalanan sepi. Hanya dia seorang yang sibuk melawan hujan. Dengan sisa kekuatan ia melangkah semakin lambat. Berharap adanya tawaran tumpangan walau hanya boncengan sepeda.

Kakinya semakin terasa perih. Menyerah dengan melepas kedua pantofel itu. Rasa perih ini masih tetap sama seperti dulu. Kenangan terpedih dalam sejarah hidupnya. Kejadian yang sama di waktu dan tempat yang berbeda.





Buk-gu _____ 2012

"Aku mohon, sekali ini saja jangan menolak!"

Suara tegas dari namja bersurai coklat itu dengan ekspresi memohon.

Dia mensejajarkan posisinya disampingku. Salah satu kakinya menahan keseimbangan motor yang berkecepatan lambat.

"Terima kasih. Aku sudah terlanjur basah kuyup." Aku berusaha menjawab lembut tidak ketus seperti biasanya pada namja terpaut 2 tahun di bawahku itu.

"Hanya pikirkan cepat sampai rumah. Tidak lebih lama lagi kedinginan beresiko terserang demam."

Nadanya semakin memaksa.

Otakku mencerna ucapannya. Tubuhku memang sudah terasa menggigil. Yang terpenting aku tidak mau sakit dan absen kerja besok. Tidak tidak! Membuat cacat pencapaianku sebagai karyawan yang baik.

Aku menghentikan langkah. Menoleh padanya tanpa ekspresi. "Baiklah." Hanya itu yang keluar dari mulutku dengan masih menahan gengsi.

Raut wajah namja berponi itu seketika berubah sumringah memamerkan senyuman kotaknya. Bentuk senyuman terunik yang jarang dimiliki orang lain.

Arti senyuman yang ambigu bagiku. Benarkah dia tak ingin aku jatuh sakit? Atau hanya senang kali ini aku meresponnya. Oh tidak! Aku menerima tumpangannya karena alasan tadi, tidak ingin terserang flu.

Palace LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang