“Sepasang mata yang tersenyum, mewakili bibir yang tak bisa berkata. Tak perlu suara, aku tahu kamu merindukan kebersamaan kita.”
***
NADIA berusaha merendengi langkah kaki Dodit yang berjalan cepat di lorong panjang rumah sakit. Namun dia gagal, Nadia selalu tertinggal beberapa langkah di belakang dan hanya bisa melihat siluet punggung Dodit yang tanpa henti melangkah.
“Belok kanan Nad!” Rahma menegur. Tanggap, dia menarik tangan Nadia. “Pikiran lo kemana sih? Biasanya elo yang paling bisa diandalkan dibandingkan gue.”
Nadia tidak membalas gerutuan Rahma. Dia tidak punya waktu untuk itu, terutama saat ini mereka setengah berlari mengejar Dodit, berusaha untuk tidak terpisah darinya. Dari kejauhan Nadia melihat Dodit memasuki sebuah ruangan dan setelah itu dia tidak keluar lagi. Ketika mereka sampai di depan ruangan itu, Nadia berhenti sejenak untuk membaca papan nama; bangsal Melati. Pastilah itu tempat di mana ayah Dodit dirawat.
“Ayo kita masuk. Itu Dodit!” Rahma menarik tangan Nadia lagi dan menunjuk kepada satu lelaki yang berdiri di sudut ruangan.
Nadia menuruti tarikan Rahma dan masuk bangsal Melati yang dihuni oleh banyak pasien, tentu saja! Apa yang Nadia harapkan dari sebuah bangsal di rumah sakit? Apa Nadia akan menemukan kamar pribadi? Sebuah televisi atau sofa tempat keluarga yang menunggu bisa beristirahat? Semua kemewahan itu tidak ditemukan di bangsal ini. Nadia sampai di dekat Dodit ketika lelaki itu sedang berbicara dengan seorang perawat perempuan.
“Jadi Bapak saya mulai tadi siang cuma sendirian Mbak?” Dodit nampak tidak percaya.
Perawat itu mengangguk. “Iya mulai dari tadi siang. Kami sudah berusaha menghubungi pihak keluarga tapi nggak ada tanggapan. Tunggu, apa kamu putra Pak Rafi’i?” Dia bertanya sembari membenarkan tali infuse yang sempat terbelit.
“Iya saya adalah putranya. Saya baru saja sampai dari Jakarta,” beritahu Dodit. Tangannya mengepal sedangkan matanya menjurus menatap pada satu sosok yang terbaring di tempat tidur.
Nadia mengikuti pandangan Dodit dan melihat seorang lelaki berusaha memberikan senyuman lebar ketika bertatapan dengan putranya yang sudah lama tidak dia lihat. Muhammad Rafi’i, walaupun tidak bisa menggerakkan sekujur tubuh, walaupun bibirnya kaku sulit untuk berkata, dia mencoba berkomunikasi dengan menggerakkan pergelangan tangan. Kedua mata Rafi’i tampak tersenyum, seperti berkata, ‘Apa kabar nak? Ayah merindukanmu’. Entah kenapa melihat kondisi Rafi’i yang memprihatinkan membuat mata Nadia memanas.
“Kalau begitu, bisa kamu urus administrasi dulu? Mulai dari kemarin nggak ada satupun yang mengisi formulir pendaftaran secara lengkap. Ikut saya sekarang kalau bisa.” Perawat itu memberitahukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Terbaik Nadia [End]
Spiritual"Kamu membuatku hanya memiliki satu pilihan. Melepaskan kamu, itu yang bisa aku lakukan." - Nadia Humaira Nadia Humaira adalah perempuan yang terobsesi dengan penyempurnaan diri. Dia tidak mempercayai cinta walaupun umurnya sudah siap untuk menikah...