23 - Suara Hati

52 1 0
                                    

Lala dibawa ke sebuah tempat yang begitu gelap, kotor, kumuh, tak terawat, lebih mirip sebuah gudang. Orang-orang bertopeng tadi meninggalkan Lala sendiri di sana. Sementara Lala masih berusaha terus berteriak, berharap ada seseorang yang bisa menolongnya.

"Tolong! Tolong! Siapa pun keluarin aku dari sini! Tolong," teriak Lala terus-menerus.

Seperti dugaan, tak ada jawaban. Apa Lala harus bermalam di tempat ini? Lala sungguh ketakutan. Ia mulai lelah karena terus menangis dan berteriak.

Setelah sekitar satu jam Lala terkurung di tempat ini, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Lala bertanya-tanya siapa yang datang.

"Kak,"

"Hai, La. Gimana rasanya? Takut? Capek? Salah sendiri teriak-teriak!"

"Kenapa kakak bisa--"

"Lala, kamu masih aja sok polos, menurut kamu ngapain aku di sini?"

"Jadi kak Amel yang--"

"Ya. Dan kamu pasti tau banget apa alasan aku berbuat kayak gini."

"Kak Amel, aku tau kakak marah, kakak kesel sama aku. Tapi beneran kak, aku bahkan gak pengin nyakitin hati kakak."

"Kenyataannya semua udah terjadi, La."

"Aku udah berusaha cegah kak Rafa, aku gak tau kalo akhirnya kak Rafa tetep nekat putusin kakak."

"Oh ya? Kamu memang berusaha, berusaha hancurin hubungan aku sama Rafa. Dan, kamu seneng kan? Usaha kamu berhasil. Lalu, aku harus bilang makasih gitu ke kamu? Oh, atau kamu mau aku ucapin selamat ke kamu?"

"Gak kak. Selama ini kak Amel salah paham."

"Ya. Bener banget. Aku memang salah paham. Aku salah karena awalnya mikir kamu ini cewek baik, makanya aku berusaha selalu baikin kamu. Terus, hah. Nyatanya apa? Begini nasib aku sekarang."

"Kak Amel maaf kak. Tapi aku gak ada apa-apa sama kak Rafa."

"Ya belum. Tapi Rafa udah milih ninggalin aku cuma demi kamu."

"Kak, aku--"

Amel menjambak rambut Lala hingga Lala kesakitan.

"Kak, aku mohon lepasin kak," mohon Lala.

"Sakit ya? Kamu tau, hati aku lebih sakit sekarang. Dan itu cuma gara-gara ulah kamu."

Tiba-tiba ada suara gebrakan pintu, "Amel, lepasin Lala sekarang!" ucap seseorang di dekat pintu.

"Zain, kamu kok bisa tau aku di sini?"

"Aku ngikutin kamu dari tadi. Sekarang lepasin Lala! Jangan nyakitin dia lagi."

"Ini urusan aku sama Lala, Zain. Kamu gak perlu ikut campur."

"Kamu udah keterlaluan Mel. Kamu pikir dengan kamu nyakitin Lala begini, kamu bakal bahagia? Terus Rafa mau kembali sama kamu? Iya?"

"Zain. Kamu gak tau gimana perasaan aku sekarang."

"Mel, selesaiin masalah kamu sama Rafa. Bukan dengan nyakitin Lala, Lala gak salah di sini."

"Kamu terus aja belain Lala. Padahal aku ini temen kamu Zain. Aku tau, mungkin kamu belum bisa lupain Lala. Kamu masih punya rasa sama dia. Tapi, dia udah hancurin aku sama Rafa, bahkan dia hancurin hati kamu kan?"

"Cukup Amel! Perbuatan kamu ini termasuk tindak kriminal. Lepasin Lala atau sekolah bahkan polisi bakal tau ini."

"ZAIN!"

"PERGI! Sebelum aku bener-bener laporin semuanya. Pergi Mel! Jangan ganggu Lala lagi."

Amel akhirnya pergi karena takut dengan ancaman Zain. Zain pun mendekati Lala dan mencoba membantu Lala bangun.

"La, kamu gapapa kan?"

"Kak Zain, makasih." Lala pun pingsan.

"Lala. Astaga, La, bangun Lala! Kamu kenapa?"

Zain menggendong Lala. Ia sungguh khawatir dengan kondisi Lala sekarang. Karena tak tahu harus berbuat apa, Zain memutuskan membawa Lala pulang ke rumahnya.

Zain membaringkan Lala di ranjang. Lala tak kunjung sadar. Zain menelepon dokter agar datang ke sana dan memeriksa keadaan Lala.

Beberapa menit kemudian, Lala tersadar.

"La, kamu udah bangun?"

"Kak Zain, aku--"

"Kamu di rumah aku La. Maaf ya, tadi waktu kamu pingsan aku bingung harus gimana. Makanya aku bawa kamu ke sini."

Lala berusaha bangun. Namun, sepertinya kondisinya masih terlalu lemah. Seluruh badannya masih terasa sakit.

"La. Pelan-pelan. Biar aku bantu, kamu masih lemah sekarang." Zain membantu Lala duduk.

"Ahh," Lala mengaduh kesakitan.

"Lala, kamu kenapa? Apa yang sakit? Eh, ini kamu minum dulu," Zain memberikan segelas air untuk Lala.

"Kamu tunggu sebentar ya, aku udah panggil dokter, sebentar lagi pasti dateng. Biar dokter periksa keadaan kamu," lanjut Zain.

"Makasih ya kak. Kakak udah nolongin aku dari kak Amel dan sekarang--"

"Sstt. Udah gapapa. Aku gak mungkin biarin kamu kenapa-napa."

Setelah dokter memeriksa keadaan Lala, Zain meminta Lala untuk di rumahnya sementara waktu.

"La, dokter bilang kamu harus banyak istirahat. Kalo semisal nanti masih ada yang sakit, kamu langsung bilang aja ya sama aku."

Lala mengangguk.

"Kak Zain, aku mau pulang kak," ucap Lala kemudian.

"Lala. Kamu istirahat sebentar dulu di sini ya. Nanti pasti aku anter kamu pulang kok."

"Tapi kak--"

"Gapapa La, aku mohon ya. Setidaknya kamu bisa kumpulin tenaga dulu, baru kita pulang."

Lala pun menurut pada Zain. Ia istirahat di kamar Zain sesuai permintaan Zain.

Ketika Lala tertidur, Zain mengamati Lala dengan saksama. Ia mendekati Lala, menatapnya begitu dalam. Zain mengusap rambut Lala dan merapikan rambut yang menutupi wajah Lala.

"La, kamu masih sama. Semanis dan secantik biasanya. Seandainya kita masih bersama kayak dulu ya La. Jujur La, kamu masih di hati aku sampe sekarang. Rasa aku ke kamu masih sama kayak waktu pertama kali aku nyatain cinta ke kamu. Tapi, perasaan kamu justru buat orang lain. Aku pengin banget kamu bisa lupain Rafa dan bersama aku lagi, Lala. Aku sayang kamu," ucap Zain lalu mencium tangan Lala.

Zain mencium kening Lala dan mengusap pipi Lala dengan lembut.

Lala merasakan sentuhan Zain. Begitu ia membuka mata, Lala terkejut melihat wajah Zain yang masih sangat dekat dengannya.

"Kak Zain??"

OSIS, I'M IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang