wan

1.1K 114 10
                                    

Kereta adalah kendaraan umum yang paling sering namja berstatus dokter-Han Jisung namanya- gunakan dari sekian ribu warga penduduk korea selatan dari sekian fasilitas umum dan alat transportasi yang di tawarkan oleh pemerintah untuk rakyat. Ribuan orang menggunakannya tiap hari, tiap malam, tiap minggu bahkan pertahun. Tak peduli jika itu hari kerja, atau hari libur. Pengunjung meningkat hingga sesak akan lautan manusia. Tapi setidaknya Jisung hampir selalu berhasil mengambil tempat dan duduk dengan nyaman dengan kertas berisi informasi di tangannya.

Dia sibuk, jadwalnya padat. Tapi ia tidak bisa menggunakan kendaraan pribadi karena kuda besi miliknya itu sedang sekarat di bengkel temannya. Ya, setidaknya kereta ini tidak membuatnya terlambat meski terkadang kereta memakan waktu lebih lama untuk tiba di tempat tujuannya.

Matanya membaca paragraf perpargraf, bait perbait, dan mencerna informasi yang ia dapatkan di koran itu di otaknya. Mata hazelnya mengedip beberapa kali saat ketika matanya terasa sakit karena terlalu ia paksakan untuk mendikte.

"Sudah 3 minggu saya tidak melihat anda di antara para jemaat, Dokter Han."

Suara yang sangat familiar merengut perhatiannya.

Namja yang di panggil dokter Han itu mendongak ke atas. Menemukan sosok pendeta yang selalu menyapanya ketika ia berkunjung ke gereja untuk berdoa. Dia bukanlah hamba yang begitu taat, tapi ia selalu menyempatkan dalam kesibukannya untuk berdoa. Setiap kali ia datang, ia akan bertemu dengan pendeta di depannya. Pendeta memiliki paras indah, dan tampan di saat bersamaan.

Hazelnya bertemu dengan sepasang mata kelam yang telah hampir berminggu minggu tidak ia lihat. Dua ? Ia tak terlalu ingat.

"Pasti anda sangat sibuk, mengingat virus Corona menjadi ancaman untuk korea selatan setelah perayaan tahun baru china. Aku mendengar kabar di televisi bahwa pengunjung rumah sakit meningkat sekitar 60% dari biasanya,"

"Kapan anda terakhir kali melakukan check up di rumah sakit, Pendeta Lee ?" Balas Dokter Han menolak untuk menjawab pertanyaan yang di ajukan meski itu hanya sekedar basa basi. Alih alih menjawab ia malah melontar kembali amunisi yang sama ke sang pendeta.

Pendeta Lee yang ia panggil tersenyum tapi Jisung hampir tidak mengetahui bahwa pendeta itu tengah tersenyum

Ketika siluet seorang ibu ibu tua terlihat kesusahan mencari bangku untuk istirahat tertangkap oleh mata sang pendeta, Pendeta yang memiliki wajah porselen itu bangkit. Membiarkan ibu tua beserta anaknya memiliki kursi yang ia dapat.

"Kau belum menjawab pertanyaan ku!" Kata Jisung merengut kembali perhatian Minho yang awalnya ia berikan untuk Ibu ibu paru baya tersebut.

Pendeta Lee malah terkekeh. "Aku baik baik saja,"

"Nde, kau terlihat sangat baik. Hingga virus Corona menjadi hal tak mengherankan jika bersarang di tubuh kurusmu,"

Pendeta itu memang memakai masker, dia berada dalam keadaan tidak sepenuhnya fit, maka dari itu sulit untuk mengetahui apa dia sedang tersenyum atau tidak. Tapi Jisung dapat membaca gestur halus dari seorang namja yang telah ia kenal lama. Seorang namja yang selalu mengucapkan trinitas suci di depan para jemaat. Seorang namja yang selalu memberikannya motivasi. Menerangi jalan ketika ia tersesat.

"Kau ingin ke gereja ?"

Matanya melirik ke arah Jisung.

"Aku akan menjawab kenapa aku tidak datang ke gereja akhir ini." Jisung memiliki kebiasaan berputar putar dalam topik pembicaraan. Pendeta itu juga sudah terlalu biasa dengan perubahan tiba tiba arah pembicaraan.

Tanpa mendengar lebih lanjut ucapan Jisung yang memiliki suara berat syarat akan beban yang ia tanggung, Minho tahu kemana arah percakapan ini. Di bilik pengakuan dosa, tempat kecil tapi tempat itulah yang menjadi tempat pertemuan pertama kali ia bertemu seorang Dokter muda memiliki bakat hebat dan berpotensial dalam tubuhnya yang penuh dengan emosi positif dan pantang menyerah.

"Kau adalah dokter yang hebat Ji,"

Mata Jisung menyengat. Tidak ia tidak mau menangis di sini, di depan umum. Di depan anak kecil yang tengah mengisap permen lolipop nya.

"Jangan berkata seperti itu,"

"Hei ada film bagus di bioskop. Dan katanya film itu baru dan sedang booming,"

Jisung tertawa pelan. "Apa nama judulnya ?" Tanyanya.

Minho terdiam. Matanya melirik sekitarnya, mencari petunjuk di berbagai poster iklan yang dapat ia lihat di luar jendela kereta atau koran yang tengah di baca Jisung. Untuk menjawab pertanyaan Jisung.

"Kau saja tidak tahu apa nama judul film baru tersebut. Bagaimana bisa kau merekomendasikan film itu untukku ?" Masih dengan kekehannya suasana suram menjadi cair di antara mereka membuat Minho menghela nafas lega.

"Ya. Aku tidak berada di umur yang tepat untuk mengajak seorang berkencan. Aku sudah terlalu tua untuk itu,"

Senyuman Jisung mengembang. "Wah, apa aku baru saja di ajak untuk pergi berkencan ? Itu hebat, aku mendadak menjadi penasaran bagaimana sikap anda nanti ketika memperlakukan pasangan anda ketika kita akan berkencan, tuan pendeta. Kapan kita akan pergi ? Aku menjadi tidak sabar,"

"Kau terlalu banyak berbicara, Han Jisung."

"Tempatnya tidak norak kan ?" Sindirnya dengan nada mencibir. "Atau, kita akan pergi ke restoran bintang lima lalu di iringi dengan lagu lagu romantis dengan kondisi restoran yang telah di sulap semedikian rupa dengan di kelilingi lilin dan bunga bunga cantik lalu kau akan pergi melamarku. Itu terdengar klasik, pasaran, tidak seru, dan juga membosankan. Tapi meski begitu jika kau yang melakukannya untukku, aku akan menerima langsung lamaranmu dengan senang hati. Atau kau ingin aku yang menjadi pihak pelamar ?"

"Hentikan." Geramnya. Tapi ia tidak marah. Hanya malu.

"Kau sudah mendapatkan kata persetujuan dariku, Tuan pendeta." Jisung mengedipkan matanya. Mengoda Minho yang tengah salah tingkah.

"Jadi kapan kita akan pergi untuk kencan pertama kita ?" Tanyanya dengan senyuman. Manik hazel yang berbinar semangat dan penuh harap.

Minho terdiam. Menelusuri paras namja bermarga Han di depannya. Namja yang jauh lebih muda 5 tahun dari nya.

"Nanti."

'Setidaknya anda tidak terlarut dalam kesedihan karena telah gagal menyelamatkan nyawa seseorang lagi. Ya, kita para manusia hanya bisa menolong. Berhasil atau tidaknya pertolongan kita itu semua bergantung pada di atas. Itu adalah suatu kuasa yang tak dapat kita miliki. Itu juga bukan atas kehendak kita. Itu sepenuhnya bukan salahmu, Jisung. Tapi melihat anda sedih bukan sesuatu yang sangat ku ingin kan dari semua yang ku ingin kan selama aku bernafas.'

Tapi Minho tidak mengucapkan kalimat yang telah ada di benaknya itu ketika ia memandangi wajah Jisung. "Kau adalah dokter muda yang hebat, Han Jisung." Puji nya menghentikan senyuman Jisung.

Jisung mengedipkan matanya berkali kali. Dia terkejut dengan pujian yang mendadak, "Te-terima kasih,"

Mereka terdiam sejenak. Membiarkan mata mereka beradu, menyelam ke arah kolam keindahan dan kejernihan yang di pancarkan oleh manik yang masing masing mereka miliki. Itu terjadi beberapa menit sampai Minho ingat apa nama judul film yang ingin ia tonton bersama Jisung.

Pendeta itu mengedip ngedipkan matanya lalu menyebutkan nama film yang di rekomendasi oleh kalangan biarawati di geraja,

"Ah, ya nama filmnya frozen 2."

Sekarang Jisung yang terkejut.




Fin
_

Catatan :
Aku tahu Minho itu atheis. Cuman aku pikir akan menarik jika minsung mendapatkan peran penyelamat dengan perannya masing masing. Ini hanya fiksi, so jangan terlalu baper.

Have a great day!

Pendeta dan Dokter -Minsung- [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang