Setyo memandang mata gadis kecil di depannya. Merah berair. Ada gambar ketakutan yang ditangkapnya saat memandang Setyo. Kedua bola matanya bergerak cepat ke empat arah. Ke bawah. Ke atas. Ke kiri. Ke kanan. Tidak pernah diam.
"Siapa namanya?," Setyo menoleh ke arah perempuan setengah baya yang berdiri di sampingnya.
"Menik," jawab perempuan itu lirih.
"Menik," Setyo berbisik pelan di telinga sang gadis. "Tatap mata saya. Jangan gerakan bola matamu. Lihat mata saya."
Kedua tangan Setyo memegang kepala Menik. Berupaya agar gadis malang itu dapat memusatkan perhatiannya kepada Setyo. Menik berusaha menatap Setyo. Meski ia sendiri tidak paham apa arti kata-kata Setyo. Hanya beberapa saat. Sebentar kemudian ia menggelengkan kepalanya dengan keras.
Setyo berupaya menahan wajah Menik yang mengiba digenggaman kedua telapaknya. Hanya dalam satu detik. Setyo dapat menatap kedalaman bola mata Menik ketika pandangan mereka beradu. Lalu Setyo menyemburkan garam yang ada dalam mulutnya ke atas kepala gadis kecil yang sudah dua minggu tidak masuk sekolah dengan alasan gangguan kesehatan.
Butiran-butiran garam batu melintas melalui kepala Menik, melompat ke luar jendela dan jatuh di bebatuan belakang kamar tidurnya. "Haaaaaaaaaaaa.........,"suara Menik memekik. Ia menangis sekeras-kerasnya. Bu Darsih, sang Ibu datang dari samping dan memeluk putri semata wayangnya.
Setyo melangkah ke arah jendela kamar. Ia menyemburkan sisa garam yang ada di dalam mulutnya. Menyeka tepian mulut. Lalu berbalik ke tepi dipan, tempat dimana Menik, Bu Darsih dan Pak Tejo berada.
"Pak Tejo.....Bu Darsih.....saya kira Menik sudah bisa beristirahat sekarang,"Setyo berkata sambil menyeka bibirnya, memastikan bahwa tidak lagi ada butiran garam yang tersisa.
"Terima kasih Mas...,"Pak Tejo mendekat dan menjabat tangan Setyo.
"Menik tidak bisa berbicara selama dua minggu ini. Sekarang dia sudah bisa mengeluarkan suara. Walau itu hanya tangisan."
"Sama-sama, Pak,"Setyo meraih dan menggenggam tangan Pak Tejo.
"Selanjutnya, apa yang harus kami lakukan Mas,"tanya Bu Darsih sambil menggendong Menik.
"Ibu dan Bapak memberikan minum Menik air putih yang saya berikan di botol air mineral tadi. Pastikan Menik meminumnya sampai habis. Jika air putihnya sudah habis dan tidak ada perkembangan atas sakit Menik, saya harap Bapak dan Ibu memberitahu saya," Setyo menjelaskan.
*****
Desa Kragan, terletak belasan kilometer di timur Rembang. Kehidupan selalu ramah di sini. Tetapi tidak dalam segala arti. Bagi Setyo, guru muda yang menyimpan mimpi besar menjadi pengajar terkenal dan perancang metode pengajaran modern yang bisa masuk layar kaca menyapa pemirsa, atau duduk di ruang studio radio yang dipenuhi pendingin dan suaranya dinikmati para penggemar, menjadi guru sekolah dasar di sini sama sekali bukan rencana hidupnya.
Terkadang ada penyesalan yang bersembunyi di belakang telinga. Kesadaran yang berteriak lantang dan mengusiknya saat ia mengayuh sepeda di siang bolong nan terik. "Siapa yang memintamu melamar sebagai tenaga pendidik, Setyo? Bukankah itu kamu? Seorang sarjana matematika dari universitas ternama. Sekarang menjadi guru sekolah dasar di desa. Betapa aku mengasihani dirimu, Setyo".
"Hush.....diam saja. Nikmati. Nikmati. Nikmati....," itu suara hati Setyo setiap godaan egonya menyerang. "Hidup pasti memiliki tujuannya sendiri. Saya disini untuk menemukan tujuan hidup saya sendiri".
Pertempuran batin yang sepertinya selalu dimenangkan suara hati. Tetapi hidup, seperti kata Setyo, memiliki tujuannya sendiri. Satu tahun Setyo berada di Kragan, ia kini hampir tidak lagi memiliki jalan pulang untuk melihat dirinya yang dulu. Masa lalunya hampir-hampir kabur.
Ia kini berada pada titik, yang sama sekali bukan pilihan dirinya, dimana dunia yang nyata dan dunia yang maya bertemu. Terkadang, pertemuan itu menjadi begitu nyata. Seperti halnya bayangan hitam yang berdiri di ujung pematang...menunggunya saat ia semakin jauh melangkah dari rumah keluarga Pak Tejo dibawah remang pertemuan sore dan malam
(bersambung)