Prolog

115 6 2
                                    

Langit tidak secerah biasanya. Langit di tempat itu terasa kelam. Mendung. Tidak heran jika mengingat daerah tersebut baru saja mengalami bencana alam. Gempa bumi. Puing-puing bangunan terlihat berserakan. Bangunan tinggi yang runtuh, jalanan yang terbelah serta rumah-rumah yang juga hancur seolah menjadi pemandangan biasa saat itu begitu dua sosok laki-laki berbeda usia berjalan di daerah itu. mereka tidak bisa mencapai pengungsian menggunakan mobil. Lebih tepatnya mereka sengaja tidak menggunakan kendaraan untuk mencapai pengungsian. Lebih memilih berjalan kaki. Laki-laki yang lebih muda menatap datar bangunan tenda darurat yang berdiri di tanah lapang itu. Beberapa relawan dan tim medis, juga para tentara terlihat berlalu lalang. Kesibukan terlihat jelas. Di sisi lain tenda, tepatnya sebuah tenda yang didirikan dekat tenda kesehatan, seorang perempuan muda berkerudung terlihat mengusap peluh di dahi, namun senyuman tetap terlukis dari wajah yang kini memancarkan keteduhan luar biasa itu. Ekspresi yang tidak akan pernah dilihat si laki-laki muda beberapa tahun lalu. Perempuan itu terlihat berbeda. Seolah dirinya dipenuhi aura kehidupan. Tidak ada tatapan mata tanpa minat lagi. tidak ada ekspresi datar yang menyembunyikan banyak hal. dia sepenuhnya terlihat berbeda jika dilihat dari jarak itu. Si laki-laki muda tanpa sadar tersenyum tatkala melihat sosok perempuan itu membalas sebuah pelukan hangat dari seorang bocah perempuan. Senyum di wajah itu sudah sepenuhnya berubah. Dipenuhi ketulusan. Bukan senyum tanpa arti atau senyum penuh luka apalagi senyum formalitas seperti sepuluh tahun lalu. Dan dia tahu. Perempuan muda itu benar-benar telah berubah. Mungkin, hanya satu yang tidak pernah berubah. Efek dari senyum di wajah perempuan muda itu masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Masih bisa membuatnya terpaku saat melihatnya. Masih membuatnya seolah kehilangan napas untuk beberapa saat. Dia... untuk sekian lama, setelah sepuluh tahun berlalu, efek senyum tulus itu masih sama. Masih menyengatkan sesuatu yang terasa hangat ke dalam dirinya.

“Dia segera datang setelah berita gempa disiarkan, padahal dia baru saja sampai dari negara konflik.” Ucapan itu mengalun tenang. Terdengar begitu jernih dari sosok yang lebih tua. Tidak ada jawaban dari ucapan itu, karena sosok yang lebih muda tahu satu hal. Sejak dulu perempuan muda itu selalu sama. Dia selalu mementingkan keperluan orang lain daripada dirinya sendiri. Tidak pernah berubah sejak sepuluh tahun lalu. “Dia murid terbaik yang kumiliki, tidak pernah mengecewakan dan selalu membanggakan. Sejak dulu selalu begitu,” suara itu kembali mengalun tenang.

Keduanya masih berdiri beberapa meter dari si perempuan muda yang menjadi objek pembicaraan mereka. Tidak melangkah mendekat. Hanya mengamati dari kejauhan. Mengamati apa yang dilakukan si perempuan muda. “Tidak mau menemuinya, Dai?” tanya mengudara setelah keduanya diam beberapa saat sembari terus mengamati interaksi si perempuan muda dengan anak-anak korban bencana.

Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya sosok  yang lebih muda itu membuka suara. Kepalanya sejenak mendongak, menatap langit yang mendung. “Tidak ada yang akan berbeda meski aku menemuinya, Dok.” Jawaban itu mengalir begitu saja. Dikatakan tanpa keraguan, meski sorot mata itu menyembunyikan sebuah pengharapan tatkala menyoroti  sosok perempuan muda yang sejak tadi mereka amati.

“Hm, kau benar. Tidak akan ada yang berbeda meski kau menemuinya, tapi, yakin tidak mau sekedar menyapanya sebagai teman lama, Dai? Kalian belum bertemu secara langsung selama sepuluh tahun bukan?”  Sebuah bujukan. Tapi tetap tidak berhasil membuat si laki-laki yang lebih muda tertarik atau berubah pikiran untuk kembali melangkahkan kaki. Menghapus jarak yang hanya beberapa ratus meter untuk bisa menemui si perempuan muda secara langsung.

“Belum selama itu, Dok. Aku sering melihatnya sejak dia menjadi penanggung jawab muridku.” Jawaban yang diberikan mungkin terkesan dingin dan terlalu abai, namun Jagara, sang dokter ahli jiwa di sampingnya tahu apa yang coba disembunyikan laki-laki muda itu. Dia masih mempersiapkan diri. Tengah menyusun skema untuk pertemuan dengan sang murid yang tak lain adalah perempuan muda di sana. Dia sudah menjadi pengamat sejak nyaris sembilan tahun lalu. Menjadi dokter sekaligus guru yang mengamati pertumbuhan dua orang ini.

“Seharusnya kau melihat bagaimana Tungga saat pertama kali bertemu Karang, Dai. Waktu itu menyenangkan sekali melihat Tungga yang tidak bisa berkutik di hadapan Karang.” Sang dokter masih belum menyerah. Alih-alih mencoba kembali melancarkan sebuah bujukan yang tidak akan berhasil, dia mengalihkan topik pembicaraan mereka.

“Aku bisa membayangkannya. Tungga dan Bocah itu memiliki sedikit kesamaan. Itu alasan Anda menjadikannya penanggung jawab Tungga saat dia kembali kan?” sebuah kekehan tercipta. Jagara tahu. Badai selalu bisa menemukan titik dari keputusan yang ia ambil. Dan tidak heran melihat Badai bisa memprediksi alasan apa yang membuatnya menjadikan Karang sebagai penanggung jawab Tungga. Murid Badai yang dirawat di klinik kesehatan mental miliknya.

“Dai, yakin tidak mau menemui Karang sekarang? Kita tidak tahu kapan akan bertemu dengannya lagi jika bukan sekarang. Entah ke mana lagi dia akan pergi setelah urusannya selesai di sini,” sebagai seorang guru serta dokter yang pernah menangani dua ssok itu, Jagara tentu tidak ingin membuat salah satu dari keduanya menyesali sesuatu. Sepuluh tahun waktu berlalu menurutnya lebih dari cukup buat menjadi pengamat tanpa pernah sedikit pun mencoba ikut terlibat sedikit lebih jauh. Dan sekarang, setidaknya dia harus sedikit ikut campur.

“Tidak. Lagipula, sepertinya kami bisa bertemu dengan cara yang lebih normal dan di tempat yang lebih layak. Tempat yang dipenuhi bau kesedihan bukan tempat yang tepat buat melakukan reuni.”
Sejak sepuluh tahun lalu, Jagara selalu meyakini satu hal. Laki-laki muda yang pernah menjadi pasiennya sembilan tahun lalu itu punya pemikiran yang unik. Punya sebuah perencanaan yang matang dan seolah memiliki kemampuan buat memprediksikan sesuatu hal. Sama seperti hari itu di tempat pengungsian, beberapa bulan setelahnya, Jagara kembali dibuat takjub oleh kejadian yang kembali ia lihat. Di mana prediksi mantan pasiennya itu kembali terjadi.

Sementara itu, tepat di tenda pengungsian yang difungsikan sebagai tenda kesehatan mental anak, sosok yang mengenakan sneli khas seorang dokter itu tanpa sadar membalikkan tubuh. Mengedarkan tatapan mata ke segala penjuru. Mencari sesuatu yang entah apa .

“Dokter Karang mencari sesuatu?” suara seorang gadis remaja menyadarkannya. Secepat pertanyaan itu dilayangkan, secepat itu pula Karang kembali membalikkan tubuh. Tersenyum menatap sang remaja yang menatapnya heran.

“Tidak, dokter hanya merasa ada orang di sana.” Jawabnya tenang. Senum itu tidak perna hilang darinya. Terlukis meneduhkan dan penuh ketulusan, seolah ikut mengobati guncangan mental yang dialami para anak-anak di kamp pengungsian tersebut.

.

.

.

--Ini bagian prolognya, di bagian lain nanti banyak chapter revisi dan beberapa part baru ada juga part yang sengaja saya ilangin di sini. Have a nice read!--

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang