13. Tentang dia✓

43 4 0
                                    

Jam 5 pagi kakek Stif kembali lagi ke rumah sakit, Ia membawakan bekal untuk cucunya dan tak lupa dengan Shella yang telah menjaga Stif, ia tersenyum melihat Shella melahap makanannya.

"Kakek jago masak, enak," Pria itu tersenyum, ia menyerahkan satu botol air mineral untuk Shella.

"Makasih kek," Shella meminum air yang di berikan sang kakek, ia senang begitu bisa berbincang dengan kakek Stif, pria tua itu begitu ramah.

"Kamu tahu gak, Stif itu sering banget cerita tentang kamu sama kakek, kakek tahu banget kalau dia itu suka banget sama kamu, pokoknya Stif itu kayak orang gila senyum sendiri," Shella mematung mendengar ucapan kakek Stif, bahkan Shella bisa lihat raut wajah ceria sang kakek.

"Ini pertama kalinya untuk Stif, dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, dan kasih sayang seorang ayah, sudah dari kecil Stif tinggal bareng kakek, anak yang penuh luka, pendiam dan enggan untuk bersosialisasi dengan orang lain, tapi dia berubah setelah ketemu kamu, hmm ngomong-ngomong kamu tahu gak, kamu pernah ketemu Stif di panti asuhan?" Pertanyaan di akhir kalimat  yang di tembakkan membuat Shella terpaku, ia mencoba berpikir keras apa yang di maksud kakek Stif.

"Panti asuhan kasih ibu," Shella terpaku pada bayangan masa kecilnya yang sering main ke panti asuhan, rumahnya dulu dekat dengan panti asuhan, karena di panti asuhan banyak anak sebayanya ia memilih main ke sana dan teman-teman kecilnya begitu ramah menerimanya bermain.

Namun, satu orang yang membuat Shella bertanya-tanya pada waktu itu adalah seorang anak laki-laki kecil yang menangis karena merengek pada sang ayah untuk tidak di tinggalkan.

"Aku mau ikut kakek, Aku gak mau disini," jeritan sang anak laki-laki itu tidak di gubris sama sekali, pria itu berjalan pergi meninggalkan anaknya dan menitipkan anaknya ke panti asuhan.

"Kakek, bawa aku pergi!" Teriakan anak laki-laki itu benar-benar membuat Shella merasa iba, ia ikut merasa bersedih.

Shella memutuskan untuk memasuki kantor panti, ia melihat ada beberapa kertas warna warni di sana, hendaknya ia ingin mengambil namun, ia tak berani. Ia kemudian menemukan ibu panti untuk membantunya.

Setelah ia membuat kertas itu dengan ibu panti, Shella berjalan mendekat ke arah anak laki-laki yang masih bersedih, ia menyodorkan kertas yang sudah ia jadikan sebuah origami kertas berbentuk angsa itu.

"Jangan nangis, aku mau kok jadi teman kamu," Ucapan Shella mampu menghipnotis pikiran anak laki-laki itu, ia kemudian tersenyum dan mengangguk.

"Karena kakek gak tega, Kakek bawa Stif pulang tanpa persetujuan ayahnya, kakek mencoba menyembunyikan keberadaannya, Sejak menginjak SMP, Ayahnya datangi Stif meminta ia kembali ke padanya, karena Stif trauma karena ayahnya sendiri, itu membuat ayahnya menyerah untuk memaksa Stif ikut, dan sejak saat ini, ayahnya hanya datang jika dia ada waktu itupun kalau ayahnya mau," Penjelasan panjang lebar itu membuat Shella mematung, ia sangat iba mendengar cerita menyedihkan tentang kehidupan Stif.

"Namun, setelah ketemu kamu lagi, keceriaan dia begitu terlihat, dia sering cerita sama kakek, bahwa orang yang selama ini Stif cari itu adalah kamu,..."

"....Bahkan setelah dia cerita kalau kamu meminta dia untuk jadi pacarnya membuat dunia itu benar-benar berwarna, Kakek senang lihat dia ceria," Kebahagiaan kakek terlihat ketika ia menceritakan tentang cucunya itu.

"Kakek bisa pergi dengan tenang," Shella meneteskan air matanya mendengar ucapan sang kakek, jujur hatinya sakit mendengar ucapan itu.

"Kenapa kakek ngomong gitu, Stif bakal sedih banget kalau kakek ninggalin dia, kakek itu harus sembuh, Shella yakin kakek bakal kuat, Shella bakal selalu doain kakek dan kakek harus semangat," Kakek tersenyum ia tidak yakin, waktunya menjaga cucu kesayangannya sudah sampai tahap ini, bukannya ia lelah menjaga sang cucu, hanya saja ia ingin membuat sang cucu bisa mandiri dan tidak bergantung pada kakeknya lagi.

"Pesan kakek, jangan pernah ninggalin Stif, Kakek tahu bagaimana karakter Stif, susah untuk menyukai anak berandalan seperti dia, pria yang masih kekanakan," Bagaimana bisa ia menjanjikan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi, dia dan Stif hanya angin berlalu, tidak ada apa-apanya.

"Mending kamu istirahat, kamu harus pulang, orang tua kamu pasti cemas nungguin, biar kakek yang jagain Stif, bentar lagi juga anak itu sembuh," Shella ikut tersenyum melihat senyum sang kakek, benar-benar tulus.

"Shella pamit dulu sama Stif kek," Shella berlalu setelah mendapat anggukan dari kakek, ia memasuki ruangan yang di isi oleh satu orang itu, Terlihat pria yang terbaring lemah dengan tatap kosong.

"Stif, Gue pamit dulu yah," Stif tersadar dan melihat ke arah Shella yang masih canggung berada di sampingnya.

"Makasih udah jagain gue, Maaf udah ngerepotin," Shella mengangguk lalu pamit undur diri. Ia berharap setelah ini tak ada urusan dengan Stif lagi.

"Shell!" Panggilan itu membuat langkah Shella terhenti, ia masih diam mematung membelakangi Stif.

"Gue janji gak bakal ganggu Lo lagi, gue janji gak bakal nampakin diri gue di depan Lo, Kalau Lo butuh sesuatu jangan sungkan minta tolong gue Shell, gue bakal berusaha untuk membantu," Stif tersenyum getir, ia menatap punggung itu dengan raut sedih, ia harus belajar melupakan, Ia lebih senang ketika melihat Shella berbahagia.

Langkah Shella membuat Stif hanya diam, gadis itu melangkah keluar tanpa mengatakan apapun, Stif cukup tahu posisinya, tak ada harapan yang meski ia perjuangkan, Yang mesti ia lakukan adalah berusaha untuk melupakan Shella, berusaha menyakinkan dirinya, jika Shella adalah milik orang lain.

Sulit!

Mungkin memang sulit, tapi Stif berusaha untuk menyakinkan dirinya sendiri, namun Stif tetap selalu mendoakan kebahagiaan yang terbaik untuk gadis itu, Cinta pertamanya yang membuatnya sulit melupakan kisah dimana ia punya teman karena satu sosok, Shella.

Shella keluar dari ruangan, ia mendapati kakek Stif dan pria Bayah itu sedang berdebat, Shella masih terdiam enggan mendekat tidak mau menganggu meski ia tidak tega melihat kakek begitu emosi karena pria paruh Bayah di depannya.

"Stif belum mau menemui mu, janganlah kamu datang dulu ketika pikirannya masih belum stabil," ujar Kakek begitu terdengar jelas di telinga Shella.

"Ayah selalu memanjakan dia, ayah selalu bikin dia begitu, susah di urus dan brandal," ucap sang pria yang menjadi lawan bicara sang kakek, pria itu begitu marah ketika kakek melarangnya untuk menemui Stif.

"Kamu yang bikin dia kehilangan arah, kamu tinggalin dia di panti dan tidak pernah memberikan kasih sayang untuk Stif," pria itu tersenyum sinis, ia sangat mendengar ucapan Sang ayah.

"Ayah, Dengar baik-baik, Stif itu memang karakternya terbentuk karena kakek yang membiarkan dia hidup bebas," Pria tua Bayah itu mendegus tidak suka akan ucapan anaknya.

"Alasan kakek lebih membebaskan dia karena ayah  tahu, Stif itu butuh lingkungan untuk memperbaiki mentalnya," Shella yang sedari tadi terdiam menyimak tentang perdebatan antara anak dan ayah.

"Anak yang tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua, Lagian kakek selalu mengingatkan pada Stif untuk tidak melakukan apapun yang buruk, apapun yang sering di lakukan di sekolah itu adalah kenangan yang mesti ia kutip, jika kebahagiaan itu bukan hanya dari keluarga tapi dari teman-temannya." ungkapan itu membuat ayah Stif terdiam enggan mencari kata-kata untuk menambahkan.

***


Updatenya Kamis-Jumat yah guys

Jangan lupa vote comment yah

Dear Mantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang