Melihat kondisi Dirga yang seperti itu, sudah seharusnya dia langsung dibawa ke rumah sakit agar segera mendapatkan penanganan yang memadai. Sayangnya, itu adalah hal yang tidak mudah dilakukan saat ini, mengingat jalan pulang saja kami tidak tahu, ditambah lagi dengan komunikasi yang terputus membuat kami tidak bisa menghubungi pihak luar.Untuk sekarang ini kami hanya bisa mengandalkan Eva untuk menangani Dirga. Meskipun hanya dengan peralatan seadanya, paling tidak itu sedikit membantu.
"Biarkan aku melihat lukamu." Eva mendekati Dirga. "Bagaimana bisa kau tertembak? Siapa yang menembakmu?" tanya Eva sembari mengecek keadaannya.
Dirga tidak menjawab. Napasnya terengah-engah, mungkin efek shock.
Mungkinkah itu Vera? Dialah yang memegang senjata saat ini. Tetapi itu mustahil, tidak mungkin dia menyakiti temannya sendiri.
Dugaanku beralih ke Bang Rizal dan Risma. Akhir-akhir ini aku merasa mereka berdua cukup mencurigakan, gelagat mereka aneh. Pasangan tersebut telah meninggalkan senjata di air terjun---entah disengaja atau tidak. Itu artinya, tidak menutup kemungkinan mereka memiliki senjata yang lain. Aku hanya berprasangka, apakah mereka yang menembak Dirga? Jika itu benar, untuk apa mereka melakukan hal itu?
"Pelurunya menembus keluar bahumu, dan serpihannya masih ada yang bersarang di daging," lanjut Eva. "Umm ... boleh kucongkel? Andra, pinjam pisaumu."
Sontak, Dirga langsung bergerak menjauhi gadis itu. Ekspresinya berubah ketakutan. Aku pun sama terkejutnya. Sama halnya seperti dirinya, tentunya tidak akan kubiarkan orang lain mengoyak dan mencungkil sesuatu dari dalam dagingku, apalagi dengan orang yang belum berpengalaman. Pasti menyakitkan.
Melihat reaksi Dirga, Eva langsung terkekeh pelan seakan rasa ibanya telah hilang. "Aku hanya bercanda, jangan dianggap serius. Lagipula aku belum pernah melakukan itu sebelumnya. Aku tidak berani mengambil tindakan tanpa tahu apa-apa. Jika tetap kulakukan, bisa jadi itu hanya akan menambah infeksi yang jauh lebih parah. Kau tahu sendiri, aku bukan ahlinya."
"Bercanda kau bilang? Beraninya kau mempermainkanku." Sorot mata Dirga dipenuhi amarah, kontras dengan mimik wajahnya yang tampak menahan penderitaan. "Kau pikir ini hal yang bisa kau anggap lelucon?"
Eva termenung sejenak. "Maaf," ucapnya tulus. "Kemarilah. Kau tidak ingin mati kehabisan darah, 'kan?" lanjutnya lagi.
Meskipun raut wajahnya menampakkan sedikit keraguan, tetap saja akhirnya bocah itu pun menurut.
Situasi kembali tenang, bisa dibilang suasana di sini cukup canggung tanpa suara. Satu anak telah muncul dengan lumuran darah, memperlihatkan hal buruk yang telah menimpanya. Tentu saja hal ini membuat perasaan orang di sekitarnya campur aduk. Aku tahu anak lain memiliki banyak pertanyaan di kepala mereka, begitu juga aku. Namun, saat ini kami terdiam tak berucap, yang ada hanya suara ringisan kesakitan dari Dirga.
Setelah Eva selesai membalut luka Dirga dengan perban, bocah kota itu akhirnya membuka kata. "Ada orang lain selain kita di hutan ini, dialah yang menembak bahuku."
"Ceritakan lebih detail. Orang macam apa dia? Seperti apa rupanya? Kenapa dia melakukan ini padamu? Apa kalian sempat berbicara?" Andra memberondongkan pertanyaan.
"Apa dia salah satu dari pasangan itu? Atau ... Vera?" tambah Febrian. Ia menekan suaranya, sangat lirih.
"Bukan. Dia pria yang memiliki codet mengerikan di wajahnya. Aku tidak tahu siapa bajingan itu." Dirga mengepalkan tangannya.
Tanpa sadar, perlahan Mia menggaet lenganku. Gadis ini ketakutan. Dia bebisik pelan, suaranya bergetar. "Aku ingin pulang."
"Aku tahu. Kita semua ingin pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another
Gizem / Gerilim[15+] Aku tidak menyangka jika liburan yang kukira akan menyenangkan berubah menjadi petaka suram. Ketegangan dimulai saat kami memasuki hutan itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di sana, hal mengerikan yang dapat mengancam nyawa. Tidak kusangka kami...