4-Bunda

160 41 40
                                    

4-Bunda

"LO tuh ya, sumpah ngeselin banget, gue yang ngasih tau upacara dah mulai, gue yang nyamperin capek capek lari larian keringetan sampe gue—"

Jari telunjuk Ana berhenti di depan bibir Sei. Pandangan mata Ana, sungguh menyebalkan, raut wajah datar, pandangan yang entahlah, dan Ana baru saja menghentikan langkahnya hanya untuk menyuruh temannya, Sei, diam.

"Sttttt, berisik deh lo. Biasa aja lah Sei, toh lo juga tadi ketemu kan sama Alde? padahal seneng tuh, pura-pura marah-marah gak jelas," tatapan Ana sekarang berubah 180° menyebalkan!!

Kaki Ana kembali menyentuh lantai lorong X-IPS1 yang sepi dan hanya terisi suara cempreng milik Sei. Suara Sei yang seakan-akan sudah menembus ke dalam gendang telinganya.

BRUK

Tiba-tiba Ana terjungkal ke belakang, tentu saja tidak sampai jatuh menyentuh tanah, karena Ana hanya menabrak seragam cowok bertubuh tegap dan bidang yang—TUNGGU! APA?!

Ana baru saja menabrak... musuh besarnya di SMA ini, Noah.

"Ye, si bocah jalan gak nengok-nengok," cibir Noah menyebalkan.

Ana menatap cowok didepannya dengan perasaan marah, kesal.

"Tolongin dulu, kek. Udah liat gue jatoh, bukan nolong malah mempersulit aja lo ya," balas Ana emosi.

"Gak mau ya, lo masih bisa diri sendiri. Cuma ketabrak seragam gue gak akan bikin lo lumpuh trus amnesia," cibir Noah, lagi. Sepertinya perdebatan ini tidak akan selesai.

Ana perlahan berdiri dari posisinya, menatap netra kelam itu dengan kesal yang berganti dengan, kagum. Tak pernah ia sangka, manusia didepannya ini memiliki netra yang begitu mempesona. Tapi boong.

Tanpa berkedip Ana masih setia menatap netra itu dalam. Lalu sekejap ia tersadar, namun tetap berpura pura masih mengagumi netra itu.

"AW!" Ana mencubit pinggang Noah. Rencana bagus, An! Buat Noah lengah lalu cubit!

"Apa-apaan sih Anaconda! lo tuh penyiksa banget ya, keknya lo gede bakal jadi psikopat nih gue yakin."

"Lo yang apa-apaan, gue dilahirkan dengan nama super duper indah dipanggil Anaconda, gue tuntut atas pencernaan nama baik lo ya."

Noah memundurkan kepalanya mengernyit, seketika dia lupa apa kosakata yang tepat dari kata 'pencernaan nama baik'.

"Pencemaran, kali!" ujarnya mencibir. Ana hanya cuek. Ketika dia hendak melanjutkan langkahnya, suara Noah menginterupsi.

"Iya deh, ngalah aja sama yang abis terkagum-kagum sama muka gue." Ana berbalik dan menatap malas Noah.

"BODOAMAT!"

Ana berlalu meninggalkan Noah dengan senyum tengil yang tak berhenti menghiasi wajahnya

***

"Ana," sebuah suara lembut mengalun masuk ke telinga Ana

"Ya, Bun? Silakan masuk ga dipungut biaya."

Abigail Perth, istri dari Atlantis Gergero Perth, Ayah Ana—tertawa mendengar balasan putrinya.

Abigail itu seorang ibu yang baik, asik, gaul, tentu saja. Terkadang ia suka mengusili putrinya, meledek Ana. memanggil putrinya itu dengan nama teman laki-lakinya yang baru saja chattingan bersama sang putri.

"Serius amat, abis ngapain?" tanya Abigail

"Ana iseng aja, Bun, buat lagu. Serius dong, Bun. Biar keliatan sibuk," jawab Ana.

Abigail tertawa.

"Bunda denger, kamu tadi telat sekolah ya? kok bisa? Kamu berangkatnya kan gak terlalu mepet sama waktu masuk sekolahnya, An?"

"Iya, loh, Bun! Nih ya, Bun. Tau gak?"

Abigail mengambil posisi duduk ternyaman, kalau putrinya sudah bercerita, tidak akan berhenti hingga malam atau setidaknya sampai ada notif terbaru tentang video cover gitar fingerstyle buatannya.

"Masa tadi kan Ana berangkat sekolah santai santai aja ya, jalan kayak biasa, terus tiba-tiba Bun, TIBA-TIBA, ada orang lewat naik motor nyipratin air becekan ke Ana, Buuunnn!" adu Ana.

"Ohh pantesan aja, pulang pulang bajunya gak kotor tapi kaos kakinya kotor banget lagi," ujar Abigail.

Ana merangkak ke arah Abigail, meletakkan kepalanya di paha Abigail, lalu kembali berbicara.

"Iya Bun beneran kan? Kena ciprat aer becek. Untung aja dia mau nganterin sampe sekolah," balas Ana masih dengan raut sebal.

Abigail mengerjapkan mata, tersenyum jail ke arah Ana.

"Cie-cie anak Bunda, cie," ledek Abigail semangat. Tangannya mencolek dagu Ana menggoda.

Ana mengeryit sebal.

"Ah bunda gitu, Ana kesel bukannya didukung malah diledek!"

"Loh kok didukung? Tpi gapapa deh, anak bunda ada yang ngecrush cieee," Abigail kembali meledek sang putri sulungnya itu

"Au ah bunda gitu," Ana beranjak meninggalkan kasurnya yang empuk dan pas juga wuenak untuk rebahan itu

***

"Hah serius?"

"Iya, kemaren gue liat kok, mereka barengan ke sekolah,"

"Mi apa mi oyeng, EH DEMI APA?"

"Gak caya lo?"

Noah melambatkan langkahnya, berusaha tetap mendengar cerita cewek-cewek di SMA-nya.

"Iya, eh kok lo gatau? Bukannya kemaren pas upacara mereka di depan gitu ya? Pasti pada bisa ngeliat dong,"

"Gue kan kabur setiap upacara, nanya lagi lo."

"Ya gue kira lo mau liat liat anak baru yang cakep, so i think you ikut upacara,"

Noah menghembuskan nafas, mengatur langkah kakinya agar dapat mendahului cewek cewek di depannya dengan normal dan tidak terlihat seperti baru saja menguping.

"Hai kakak-kakak. Pagi." Noah tersenyum hangat ke arah 4 cewek tersebut

Rambut ombre, baju ketat, rok minimalis, alis angrybird, eh ada satu yang lebih baik, sepertinya itu sang ketua.

"Omg, Ross. OMG. Eh iya Noah, pagi juga," gadis rambut ombre yang di-curly dengan baju seragam kekecilan itu menjawab, ia tersipu malu.

"Heh Salma, apaan si. itu buat gue. Hai Noah... ehm mau ke kelas ya?"

"Iya, duluan ya, Kakak-kakak cantik" Noah mengedipkan matanya genit.

Setelah menjauh, Noah tertawa mengingat wajah-wajah siswi-siswi yang tadi digodanya.

"NOAH!!!"

Noah menghentikan langkahnya seketika, tatapannya berubah lalu, menengok ke arah belakang.

Seseorang menatapnya begitu antusias, namun. Siapa?

[REVISI]

Official [SELESAI - REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang