Aku merasakan sesuatu dalam diriku meledak, hancur berkeping-keping. Kepingan-kepingan kehancuran yang tajam itu menusuk seluruh syarafku. Menyakitkan.
Dadaku sesak, seakan seluruh udara di sekitarku lenyap. Bibirku membeku tak mampu menemukan kata. Suaraku tercekat di tenggorokan.
Aku ingin menyumpahi mereka dengan seluruh kata yang paling kotor yang pernah ada di bumi. Aku ingin berteriak.
Tapi ternyata aku malah melangkah pergi. Ya ... Lebih baik begini. Lebih baik aku pergi daripada harus menyaksikan 'pertunjukan' mereka.
Aku melangkah tergesa, menembus kerumunan orang-orang yang menggila di Neptune's. Berkali-kali aku bertabrakan dengan orang. Mereka mengumpatku. Aku tidak peduli, di kepalaku sudah penuh dengan umpatan.
Aku berjalan menyusuri trotoar jalan. Berlin sangat dingin di tengah malam ini. Jaket jeansku tidak mampu menahan hembusan angin dingin yang menembus hingga ke tulang.
Aku merapatkan tanganku di dada, berjalan dengan cepat agar kakiku tidak membeku. Berkali-kali kali aku menggesekkan kedua telapak tanganku dan meniup-niupnya berharap bisa menciptakan seberkas kehangatan.
Tapi ternyata aku tetap menggigil, gigiku bergemeletuk hebat. Bibirku mungkin juga bergetar.
Aku merasakan seseorang berjalan tak jauh di belakangku. Jalanan yang begitu sepi membuat langkah kakinya terdengar jelas di telingaku.
Aku mulai merasakan kekhawatirkan. Aku menambah kecepatan langkahku. Berharap secepatnya sampai ke hostel lalu meringkuk di balik selimut yang hangat.
Ritme langkah kaki di belakangku juga semakin semakin cepat. Aku merasakan ada lebih dari satu orang berjalan di belakangku.
Saat aku berbelok, mereka juga berbelok. Aku mulai dilanda kepanikan. Aku mengambil ponselku di saku depan celana. Kartika. Ya ... Kartika, dia meninggalkan nomor ponselnya tadi.
Pas aku menekan tombol dial untuk memanggilnya, ternyata nomernya tidak aktif. Oh ya ... Dia bilang dia bisa di hubungi lewat WA. Bagaimana ini, aplikasi WA-ku sudah tidak kuaktifkan. Apa aku bisa mengaktifkannya dalam keadaan panik begini?
Aku kembali memasukan ponselku kedalam saku celana. Aku kembali berjalan dengan cepat, berjalan setengah berlari. Aku merasakan jarak orang yang di belakangku semakin mendekat.
Aku panik.
Akhirnya aku berlari. Dingin sekali, semakin cepat aku berlari, semakin ku rasakan dingin yang luar biasa.
Orang yang di belakangku juga berlari. Aku berlari semakin cepat. Berlari dan terus berlari. Tiba-tiba kakiku menginjak bagian yang tidak rata, aku terjatuh dengan dada menghempas ke aspal. Nyeri sekali, aku seperti kehilangan kemampuan untuk bergerak dalam beberapa detik.
Orang yang tadi mengikuti akhirnya sampai kepadaku. Dua orang laki-laki. Ya Tuhan ... Dia laki-laki yang tadi menari bersamaku.
Mati aku!
"Kalian mau apa?!" tanyaku dengan kasar saat aku sudah bisa berdiri kembali.
"Relax, Babe," kata lelaki dengan mantel hitam dan berkepala plontos itu.
Dia berusaha menyentuh bahuku. Aku mundur selangkah.
"Don't touch me!"
"Oh come on. Babe! Make it easy!" kata lelaki Yang satunya yang beambut gondrong mencoba menyenyuh pipiku, aku menangkis tangannya keras. Lalu aku berlari sekencang yang ku bisa.
"Hei ... Mau kemana kau, Jalang!!"
Aku tidak mempedulikan teriakannya mengumpatku. Aku berlari sekencang yang kubisa. Tak peduli lagi dengan rasa dingin yang luar biasa ini. Aku harus terus berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Month to Remember
Tiểu Thuyết ChungFee memutuskan resign dari tempat kerjanya dan menguras habis semua isi tabungannya untuk pergi travelling ke Benua Eropa. Ini bukan perjalan biasa, ini adalah pelarian. Pelarian dari konyolnya hidup yang dijalanani Fee selama ini. Fee berkenalan...