Derap langkah itu menginterupsi Fatimah menolehkan wajahnya ke arah bibir pantai. Khimarnya mengibar bersama desiran ombak. Kedua netra hitamnya tenggelam hangat dalam hazel seorang Panji. Lelaki yang sudah banyak menorehkan kisah dalam hidupnya. Tentang air mata, perasaan, cinta dan rindu. Lelaki yang selalu ia rindukan hadirnya, hangatnya dan senyumnya. Lelaki yang telah memahatkan asa sedalam lautan samudera. Lelaki yang telah menjadikan dirinya tegar dan kuat menahan pantulan luka. Separuh hidupnya ia abdikan untuknya sebagai seorang imam. Dialah cinta pertama yang banyak melukiskan cerita bahagia dan duka.
"Bisakah aku memelukmu sekali lagi, Fatimah?"
Hazel itu meneduh. Tersirat rindu dan bersalah yang begitu dalam. Berkaca-kaca matanya mendekat dengan helaan napas penuh dosa. Sang wanita terdiam di tempat dengan linangan air mata. Betapa miliyaran harap itu nyata kembali. Setelah pijaran nestapa memporak-porandakan istana dan sukma.
Langkah yang ia rindui makin mendekat hingga dua tubuh itu saling mendekap dalam renjana panjang. Sungguh sesaknya kini berbeda. Perihal dua hati yang kembali bersemi. Rentang waktu telah menemui ujung akhirnya. Bahwa Fatimah dan Panji adalah pasangan yang benar-benar ditakdirkan bersama.
"Maafkan segala perbuatanku. Maafkan segala perlakukanku. Aku tahu, kau terluka begitu dalam. Aku tahu kau banyak menerima luka. Maafkan atas semua salahku. Karena egoku kau harus menerima semua kesakitan itu."
Suara itu makin menumpahkan air mata seorang Fatimah. Ia sungguh merindukan suara indah itu. Suara yang selalu menggemah di telinganya setiap waktu. Suara pertama yang manjatuhkan hatinya untuk memilih keputusan terbesar menjadi pendamping hidupnya. Suara yang meretakkan dan menyusun hatinya di waktu yang sama. Suara yang selalu menjadi atensi hatinya memohon penguatan pada Rabnya.
"Aku berjanji akan menjadi partner jannamu. Pelengkap sempurnamu. Aku berjanji akan memberikan seiris surga untuk hidupmu. Aku mencintaimu. Fatimah ..."
Suara itu bergetar dengan dekapan yang makin kuat. Panji benar-benar akan memperbaiki semuanya lagi. Menyusun puzzel berantakan itu dengam baik. Dan akan menjadikan Fatimah sebaik-baiknya istri untuknya. Wanita yang mampu bersabar karenanya. Terluka untuknya dan menerima segala keadaannya dengan sepenuh jiwa.
"Jangan pergi lagi. Cukup sampai di sini kita berpisah. Ku mohon jangan pergi," ungkap Panji masih memeluk tubuh Fatimah.
"Aku tidak pernah pergi darimu. Sesenti pun tidak akan pernah, karena hatiku telah nyata untukmu. Patuhku adalah kamu. Segala ridho pencipta terletak padamu. Aku tidak akan pernah meninggalkan jiwamu. Suamiku ..."
Panji meneteskan air matanya. Tepat suara itu menggemah di telinganya. Suara lembut nam sabar itu benar-benar menusuk batinnya. Betapa berdosa dan brengseknya ia selama ini. Betapa bodoh dan tololnya ia selama ini. Gelap. Itulah penglihatan Panji pada Fatimah selama ini.
Panji menjauhkan tubuhnya. Mendekap pundak sang istri dan menatap netra legam itu sangat dalam hingga mampu menembus relung sang hawa dengan hangat.
"Dulu aku selalu meletakkan luka di atas perasaanmu, tapi sungguh kini aku berjanji padamu. Di bawah langit biru, diantara semesta dan dipersaksikan Pencipta. Bahwa aku akan mencabut luka itu dan menggantinya dengan bahagia tanpa batas. Akan ku berikan segala bisaku untuk mengobati setiap luka itu. Memahatkan cinta seperti harapanmu. Menerima hadirmu dalam sisa hidupku. Untukmu aku berjanji atas nama cinta."
Mata Fatimah memanas serta napasnya memburu haru. Ia tak mampu mengucap kata. Yang ia bisa hanya mengalirkan air mata suka. Sungguh pada harap ialah nyata yang indah. Kini segala rintihan dihadirkan dalam cinta dan bahagia. Bahwa janji Allah itu pasti bagi dia yang bersabar.
------------------------
𝐷𝑎𝑛 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑑𝑖𝑚𝑢𝑙𝑎𝑖 ...
{𝙈𝙚𝙡𝙤𝙙𝙮 𝙀𝙢𝙗𝙖𝙧𝙖}
"𝘗𝘦𝘯𝘶𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘢𝘪𝘳 𝘮𝘢𝘵𝘢, 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘦𝘴𝘢𝘬 𝘥𝘢𝘥𝘢. 𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘪𝘳𝘪𝘴 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢."
*--------------*
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody Embara (Complete)
Random❝Bilur itu serempak menganga tatkala semesta menyatukan dua raga yang hampir sama terlukanya. Jika Panji selalu memilih penolakan hanya demi masa lalunya, maka percayalah Fatimah memastikan akan tetap bertahan untuk biduk rumah tangganya. Sekali pun...