4. Kejadian Tak Terduga

41 4 4
                                    

Toko buku yang kami kunjungi terbilang besar. Terdiri dari tiga lantai di dalamnya. Di lantai pertama, mata kami disuguhi oleh beraneka macam alat tulis dan juga perlengkapan sekolah.  Mulai dari buku tulis, kotak pensil, penggaris, tas sekolah, tas laptop, hingga kotak bekal makanan. Pokoknya lengkap deh. Semuanya tersedia dengan berbagai macam warna.

Nah kalau di lantai dua biasanya diisi oleh buku-buku pelajaran anak sekolah. Ada buku paketnya, buku penunjang, berbagai macam kamus, juga buku kumpulan soal dari berbagai jenjang pendidikan.  Tapi tentu saja, yang jadi tempat favorit kami adalah lantai tiga. Yap, ini bagaikan surga dunia bagi kami. Buku-buku fiksi mau pun non fiksi tersebar di seluruh rak yang ada di lantai ini. Selain itu ada juga rak khusus buku tentang keagamaan, kesehatan, dan buku masakan.

Aku dan Tsania langsung saja menghambur tak tentu arah saat memasukinya. Aku menuju bagian belakang sedangkan dia menuju ke samping. Aku lebih suka menjelajahi lantai tiga dari bagian belakangnya, entah mengapa bisa begitu. Mungkin karena di bagian belakang ini terdapat kaca besar yang menghadap langsung ke jalanan. Aku seolah bisa mengamati hiruk-pikuknya kota dari atas, ditemani oleh ribuan buku di hadapanku.

Mataku terhenti saat membaca tulisan di rak buku masakan. Ah mengapa aku tak mencari buku belajar memasak saja terlebih dahulu? Bukankah sudah kuniatkan untuk belajar memasak?

Kuhampiri rak tersebut dan menatap satu per satu buku yang berjejer. Aku bingung hendak membeli yang mana, semua tampak menggoda. Apalagi perpaduan warna dan gambar di sampul depan buku masakan ini, seolah memaksaku untuk memilikinya.

Buku berjudul Semua Bisa Memasak menarik perhatianku. Isinya terdiri dari banyak resep masakan simpel untuk pemula sepertiku, maka kumasukkan ia ke dalam tas belanjaku. Berhubung aku suka ngemil, jadi aku juga mencari buku cara membuat camilan. Pilihannya ternyata banyak juga. Kudapan Kekinian, Camilan Sehat & Enak, Olahan Lezat untuk Pemula adalah beberapa contohnya. Baiklah, aku memilih satu buku saja di antara ketiganya.

Kukira sudah cukup untuk berburu buku masakan. Saatnya beralih ke rak penuh buku fiksi di bagian tengah. Aku berdiam diri sembari menatap satu per satu buku yang tersusun. Beragam judul dan penulis menghiasi sampul depan buku. Mereka seolah berlomba-lomba menyajikan kata-kata dan gambar sampul yang dapat menarik pembaca.

Aku membaca judul buku dari susunan atas hingga bawah, mencari yang mengena di hatiku untuk kupilih. Serius sekali ekspresiku saat memilah buku. Bahkan kadang sampai jongkok, tak peduli ada orang di sampingku. Bisa lupa waktu deh kalau aku di toko buku.

Setelah melihat buku di bagian bawah, aku kembali berdiri dari jongkokku. Ketika itulah, di antara rak-rak buku yang tersusun rapi ini aku melihat sesuatu di depanku. Hm lebih tepatnya seseorang.

Dari perawakannya yang tinggi, lengan yang sedikit berotot, dan mulut tertutup masker hitam, aku merasa ia adalah lelaki yang pernah kutemui di perpustakaan fakultas tempo hari.

Entah penglihatanku yang salah atau tidak, kurasa mataku telah menangkap sosok lelaki bermasker itu lagi. Kebetulan ? Aku tak tahu.

Sontak, mataku menatap lelaki itu dari kejauhan untuk memastikan apakah benar dia lelaki bermasker yang kumaksud. Melihatnya saja sudah membuatku merinding ketakutan. Sialnya, ia malah balik menatapku. Masih dengan mata tajamnya itu. Lalu kemudian Ia sepertinya berjalan cepat kearahku.

Aliran darahku seakan mengalir deras dan hawa dingin menyelimutiku. Tubuhku terasa membeku, namun kupaksakan kakiku untuk berjalan menjauh darinya.

"Sa..qi..llaa," ucap lelaki itu mengeja namaku.

Aku makin takut. Aku teringat akan Tsania. Tapi di mana dia sekarang? Aku tak punya pelindung saat ini. Aku berusaha setenang mungkin dan menyelip di antara pengunjung toko buku lainnya. Berharap keberadaanku tersamarkan.

Kugunakan kesempatan ini untuk menelepon Tsania. Sayangnya, teleponku tidak diangkat, mungkin Ia sedang asyik memilah buku sepertiku tadi atau mungkin Ia sedang bersama Windy. Ya seharusnya Windy sudah tiba di sini sekarang.

Aku kembali berjongkok, berpura-pura sedang memilah buku di bagian rak bawah. Saking takutnya, aku tak menyadari bahwa tiga orang pengunjung didekatku sudah beranjak menjauh dariku.

Aku tercekat saat kulihat punggung lelaki bermasker itu di depanku. Saat ia membalik badannya, Ia mendapatiku jongkok ketakutan seorang diri. Lelaki itu lalu ikut berjongkok di sampingku dengan tatapan tajam ke arahku.

"Ka-ka mu ..mau a-apa?" tanyaku dengan suara gemetar.

Bukannya menjawab pertanyaanku, lelaki itu malah mencengkeram kuat pergelangan tanganku. Kurasakan kuku-kuku panjangnya yang mengenaiku.

Aku meringis kesakitan dan tidak bisa berkata apa pun. Sungguh, aku berharap ada seseorang yang menolongku.

Lelaki itu tak juga melepaskan cengkramannya. Ia seakan ingin menarik dan membawaku pergi dengan cara kasarnya itu.

Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk menggigit tangan lelaki kasar ini. Sekuat tenaga kuberanikan diri.

"Aaaw, sial. Jangan lari kau Saqilla!" ucap lelaki bermasker.

Aku berlari tak tentu arah. Berlari dari satu rak ke rak lainnya mencari tempat untuk sembunyi.

Di bagian rak buku bertuliskan novel islami sepertinya tempat yang cocok untukku bersembunyi. Letaknya di susun sedemikian rupa menyerupai bentuk zig-zag. Ada seorang lelaki yang sedang memilah-milah buku di sana. Lelaki tersebut tidak lebih tinggi dari lelaki bermasker tadi.

Tanpa pikir panjang, aku memohon padanya untuk menutupi tubuhku dengan punggungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanpa pikir panjang, aku memohon padanya untuk menutupi tubuhku dengan punggungnya. Dalam situasi genting begini, entah mengapa sifat pemaluku hilang, apalagi jika berbicara pada lawan jenis.

"Toloong tutupi aku sebentar saja. Ada orang yang sedang mengejarku," ucapku dengan suara sangat pelan sambil memohon.

Lelaki itu diam saja, namun keningnya berkerut tanda bingung. Ia malah berjalan hendak menjauh dariku.

Aku tak punya pilihan. Sambil menangis, aku memohon lagi pada lelaki itu agar menutupi aku. Tepat saat itu juga, lelaki bermasker tadi berjalan berkeliling di sekitar rak tempatku bersembunyi. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Lelaki bermasker melihat ke arah seorang pemuda yang sedang memilah buku novel islami, lalu kembali berjalan ke arah lainnya.

***

Aku menahan tangis sambil menutup mulutku sendiri dengan telapak tangan. Ada perasaan lega ketika lelaki aneh itu telah pergi. Aku kemudian berdiri dari dudukku. Ya, tadi aku duduk di sela-sela rak buku, kemudian pemuda ini menutupiku dengan tubuhnya.

"Terima kasih, ma-maaf mengganggumu."

"Tak apa. Sekarang boleh aku pergi? Atau kamu masih akan menahanku di sini?"

Sebenarnya aku masih was-was, tapi mau bagaimana lagi. Setidaknya lelaki ini telah melindungi tadi. Lelaki ini berkumis tipis dan berkulit putih. Wajahnya lebih ramah dibandingkan lelaki bermasker tadi, walau pun sikapnya sedikit cuek.

"Iya, bo-boleh, sekali lagi terima kasih ya."


Saqilla & Alva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang