14. teman kecil

32 3 0
                                    

Entah kenapa Shella jadi kepikiran tentang perdebatan kakek dan ayah Stif, setelah pulang dari rumah sakit agaknya ia tidak enak hati.

"Kenapa kamu diam?" Shella tersentak ketika suara mamanya membuyarkan lamunannya. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, mamanya langusung menghadangnya di depan pintu rumah dan mengintrogasi kepergiannya.

"Maaf ma, aku cuma nemenin teman aku yang sakit, kasihan dia gak ada yang jaga," Mamanya menghela nafas, betapa khawatirnya ketika tak menemukan Shella di kamarnya.

"Pergi jam berapa?" Shella mengingat-ingat kapan ia pergi.

"Hmm mungkin jam 12 mah," Mamanya tak habis pikir bagaimana Shella senekat itu pergi tengah malam ke rumah sakit.

"Terus kenapa pulang jam 8 pagi, itu namanya kamu bolos loh, apalagi Reyhan ke sini," Shella membulatkan matanya ketika mendengar nama Reyhan, ia lupa jika pria itu ingin menjemputnya ke sekolah, ahh kenapa Shella lupa mengabarinya.

"Maaf ma, Shella benar-benar gak tahu, lagian Shella juga ketiduran di sana," Shella terdiam ketika mamanya semakin tajam menatapnya.

"Tidur? Kamu tidur sedangkan kamu jagain teman kamu, itu bukan jagain tapi numpang tidur di rumah sakit," Shella meringis, ucapannya mamanya memang benar adanya, habisnya Shella benar-benar lelah dan kantuk menyerangnya.

"Ma, Shella izin istirahat yah, janji kalau mau keluar bakal bilang deh," bujuk Shella, ia tahu bagaimana mamanya, perempuan itu pasti sangat cemas karena putrinya tak ia temukan di kamarnya.

"Oke, sana istirahat," Shella tersenyum memeluk mamanya sejenak lalu berlari kecil ke kamarnya.

Sampai kamar ia merebahkan tubuhnya yang sangat capek, tapi otaknya kini masih mengaliri pikiran tentang Stif, ada apa sebenarnya dengan Stif dan orang tuannya.

"Apa gue tanya sama Stif aja yah, tapi... Itu kan privasi keluarga dia kenapa gue harus kepo yah, tapi gue pengen tahu," Shella gundah memikirkan semua itu, kenapa ia harus memikirkan keluarga Stif, itu pun bukan urusannya.

Sebelum pergi, sepucuk surat sempat kakek Stif kasih ke dia, Shella mengambilnya di saku celananya, ia dapat melihat surat yang sekarang ia genggam.

"Ini ada surat, Stif sempat nulis ini buat kamu waktu kamu tidur,"

Shella menatap surat itu, surat yang di tulis oleh Stif dan entah apa isi dari surat tersebut. Hendaknya ia membuka surat tersebut namun, ketukan pintu membuatnya urung, ia menyimpan surat itu ke meja nakas lalu berjalan membuka pintu.

"Aduh mama, mama ganggu istirahat aja," Rintik Shella, mamanya berdecak lalu menyodorkan sebuah segelas susu dan sandwich dengan muka tanpa ekspresi yang di buat-buat.

"Sarapan dulu baru tidur, kamu pasti belum makan," Shella mengangguk lalu memasuki kamarnya kembali namun, mamanya kembali menahannya.

"Teman kamu siapa? Kok kamu sampe peduli? Tommy yah?" Shella terdiam cukup lama, soal Tommy mamanya memang sudah tahu perihal Tommy, bahkan pria itu sering ke rumahnya untuk bermain dengan Shella, katakan Tommy seperti anak kecil, tapi dia sering sekali ke rumahnya hanya untuk bermain ataupun numpang tidur, tapi setelah dia menemukan perempuan sesuai ia sudah jarang sekali kerumahnya.

"Bukan," Mama Shella mengerutkan keningnya lalu berkata," lalu siapa?" Shella menghela nafasnya.

"Mama mau tahu atau mau tahu banget," tentu saja mamanya ingin tahu banget, Shella berdecak entah memulai pembicaraan dari mana, apa ia harus jujur jika Stif adalah mantan selingkuhannya.

"Teman Shella, baru kenal juga," mamanya mengangguk, mamanya memang tipikal orang kepo, Shella menguap untuk mengelabuhi mamanya agar tidak banyak tanya dan memintanya istirahat.

"Oh kirain selingkuhan," nampaknya mamanya tak menggubris gerakannya, ia malah kembali membahas perkara itu.

Ngomong-ngomong, tebakan mamanya sangat tepat sasaran, ia jadi malu sendiri, kenapa ia harus menjadi perempuan yang tidak baik, seharunya ia tidak membuat sejarah atau kenangan buruk untuk masa-lalunya.

"Ya udah, kamu istirahat," ujar mamanya lalu beranjak dari sana, Shella mendengus kesal.

"Sedari tadi kali, bikin terngiang-ngiang aja," Shella memasuki kamarnya Setelah kepergiannya mamanya hatinya kenapa gelisah seperti ini, ia duduk di kasurnya memikirkan tentang ucapan kakek Stif, tentang teman kecilnya.

Stif memang teman kecil yang di bicarakan kakek Stif, hanya saja ia merasa aneh ketika melihat Stif, ia merasa jantungnya berdebar tak menentu dan pikiran itu ia tepis jauh-jauh karena ia menghargai Reyhan sebagai pacarnya yang sudah memberikan kesempatan kedua.

Mungkin perasaanya hanya perasaan teman yang sudah lama tak bertemu, Shella menghela nafas panjang. Kenapa ia harus berurusan dengan Stif yang berakhir seperti ini, sebagai orang linglung.

***

Shella kecil menunggu di ayunan panti asuhan hendaknya menemui teman barunya yang kemarin ia temui, ia bangkit dengan gembira ketika melihat pria kecil itu berjalan dengan pria paruh bayah di sampingnya.

"Hay, Kamu mau kemana?" Stif kecil itu menatap Shella, Shella yang berhasil menenangkan hatinya karena perasaan kecewanya terhadap sang ayah.

"Kamu jangan sedih yah, aku mungkin tidak akan ke sini lagi, aku harus ikut kakek aku," Shella menekuk wajahnya ketika mendengar itu, Stif tersenyum lalu mengusap lembut rambut gadis kecil itu.

"Kamu harus ingat aku, aku bakal cari kamu kalau kita udah besar, kamu harus ingat dan cari aku yah," Shella kecil mengangguk mantap, air matanya berlina ketika melihat teman barunya itu pergi, meski baru pertama kali bertemu Stif kecil sangat asik di ajak berteman.

"Aku punya sesuatu untuk kamu, kamu buka ketika aku udah pergi yah, dan dari pesan lagi... Hari ini kamu sangat cantik," Shella kecil tersipu malu mendengar pujian itu, ia tersenyum sembari mengangguk.

"Ayo Stif kita harus berangkat, bye Ella," Shella tersenyum, ia tidak tahu kenapa kakek Stif kecil tahu nama panggilannya, tapi Shella tidak mau berpikir hal itu, ia masih fokus menatap kepergian Stif, laki-laki kesepian.

"Stif!" Shella terbangun dari tidurnya ketika ia bermimpi tentang Stif, tentang pertemuan terakhir ia dengan Arif.

"Stif?" Shella menoleh ketika mendengar suara bariton khas Reyhan, yah Reyhan datang menemuinya setelah mendapat telpon dari mama Shella jika Shella sudah berada di rumahnya, karena tidak tega membangunkan Shella ia menemani perempuan itu di dalam kamar menunggu ia bangun.

"Reyhan, tadi aku mimpi tentang dia," Shella memang tidak mau menyembunyikan apa-apa dari Reyhan, ia tidak mau Reyhan salah paham.

"Mimpi? Kenapa kamu mimpiin dia," Tidak mungkin ia ceritakan jika ia dan Stif adalah teman kecil dahulu, ia takut Reyhan salah paham.

"Dia tadi kecelakaan, aku mimpi dia koma," bohongnya, keputusannya untuk jujur ia urungkan, entah kenapa ia harus berbohong.

"Oh," Shella mengangguk mendengar satu kata itu dari mulut Reyhan, meski Reyhan tak suka ia tetap tersenyum lebar.

"Kenapa tadi kamu gak ada di rumah, terus kamu gak angkat telpon aku?" Pertanyaan Reyhan benar-benar menjebaknya, jika ia jawab Reyhan akan marah dan jika ia tak menjawab, ia akan tahu dari orang lain, Ah Shella sangat gusar.

"Reyhan, mama buatkan kamu makanan, ayo makan," Shella menghela nafas lega, ia harus berterimakasih kepada mamanya karena berhasil menyela pertanyaan Reyhan.

"Shella juga lapar ma," Perempuan paruh Bayah itu menghela nafas lalu mengangguk.

"Ayo, Reyhan, mama siapin spesial buat kamu," Reyhan tersenyum lalu mengikuti mama dari belakang, Shella benar-benar sangat berterima kasih pada mamanya dan juga pada makanan yang mamanya buat, itu berhasil menggagalkan pertanyaan Reyhan.

***

Dear Mantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang