Tembok Runtuh

4 0 0
                                    


Minggu pagi yang cerah. Aroma kopi yang nikmat menyambut akhir pekan dengan indah.

"Gimana? Masih ngambek nih?" goda Wira sambil menggerakkan satu alisnya. Aku melirik dengan lirikan paling sinis yang pernah ada.

Kejadian pagi ini benar-benar membuatku tak habis pikir. Bangun dengan mood yang bagus, tapi tiba-tiba runyam karena kehadiran Wira di rumahku, ditambah lagi dengan kecerewetan ibuku yang sudah kenal dekat dengan Wira.

"Mau ngapain sih, pake acara ngajak keluar. Nggak tahu lagi males apa," gerutuku sambil mengaduk-aduk kopi di depanku.

"Arun." Nada bicaranya berganti serius.

Tanganku berhenti mengaduk. Memperhatikan.

"Kamu yakin nggak mau cerita sama aku?"

"Cerita apa dulu, aku kebanyakan cerita sampai bingung..." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku.

"Aku percaya kamu pasti paham arah pembicaraan kita."

Aku terpaku. Paham, aku paham betul arahnya, tapi aku masih sedikit bingung darimana dia tau masalah yang sudah lama menggangguku.

"Kenapa kamu tiba-tiba pengen tahu gini? Padahal biasanya biasa aja." ujarku mengelak.

"Kamu aja yang nggak sadar aku perhatiin terus. Tapi akhir-akhir ini aku ngerasa kamu lagi ada masalah." jelasnya tanpa ragu.

"Cowok yang suka nebak perasaan orang, banyak yang nggak suka lho."

Aku meminum kopi yang sudah mulai dingin. Menimbang tawaran Wira untuk bercerita. Aku tidak mau ada orang lain yang ikut mengambil keputusan dalam lembar hidupku. Cukup aku. Apapun resikonya.

"Tapi aku mau kamu janji dulu Wir, jangan pernah campuri urusanku. Cukup dengar ceritanya aja," tawarku.

"Ya nggak bisa gitu dong, Run." tolaknya.

"Hey, it's up to you, yang penting ini aku maunya gitu." Aku tetap kokoh dangan pendirianku.

Tawaranku sudah tidak bisa diganggu gugat.

Wira menggelengkan kepala heran dengan penawaran yang aku ajukan.

"Run, aku tahu ini pasti yang terbaik. Keputusanmu pasti paling benar." ujarnya dengan muka pasrah.

"Jadi?"

Aku tahu pasti aku yang menang.

"Aku setuju sama penawaran kamu. Kamu harus cerita semua, tapi aku nggak akan ikut campur."

Yes, i'am win.

Dua gelas kopi di depanku sudah dingin. Sama seperti perasaan yang lama tak dirasa. Tahu-tahu sudah tak ada hangatnya.

Aku hampir saja tertawa, melihat ekspresi Wira saat mendengar ceritaku. Memang benar berbagi cerita adalah obat. Membalut sedikit luka yang mulai ada. Tapi aku juga takut bila benar, perasaan laksana gulma. Bisa tumbuh kapan saja tanpa rencana.

"Jadi kamu udah ngerasa capek sama Kak Tian?"

"Kalau kita terus lari tanpa sebuah tujuan pasti, lama-lama pasti butuh istirahat juga, kan?"

Wira diam mengamini perumpamaanku.

"Arun, sebenernya aku ngajak kamu kesini......"

"Aduh! Aku lupa Wir, aku itu mau ada acara di Bogor. Ibu udah bilang kan tadi? Aku harus pulang sekarang." Aku baru ingat setelah melihat jam di layar ponselku, sampai-sampai memotong perkataan Wira.

"Eh, apa Wir? Maaf maaf aku potong tadi. Tapi beneran deh, aku harus balik sekarang." Aku meminta maaf dengan raut yang benar-benar patut dikasihani.

"Oh, nggak jadi kok, Run. Aku anter ya? Kan tadi aku udah janji ke ibu kamu buat anter pulang." katanya.

"Aduh gimana ya, aku nggak enak ngerepotin gini. Aku pulang sendiri aja. Makasih ya udah mau jadi pendengar yang baik."

Aku menahan Wira yang sudah akan berdiri. Wira kembali duduk di kursinya.

"Beneran mau pulang sendiri?" tanyanya meyakinkan.

Aku mengangguk yakin.

"Yaudah, aku yang makasih soalnya kamu udah mau percaya sama aku." Wira menepuk bahuku perlahan.

"Iya, santai aja. Aku balik ya, bye." Aku berdiri dan melangkah keluar dari kafe.

Maaf, aku bukan orang berhati konsisten. Dan menghindar adalah cara yang tepat saat dirasa tembok sudah mulai runtuh.

DatatitayaWhere stories live. Discover now