Ah, kehidupan masa SMA tak seindah kedengarannya. Abu-abu penuh ragu, akan kemana jadinya.
Aku melangkah keluar dari sebuah ruangan pengap yang menjadi penentu hasil belajar selama 3 tahun. Ujian selama 4 hari berturut-turut benar-benar menguras tenaga yang cukup besar.
"Shen dimana ya? Nggak muncul sama sekali dari tadi," gumamku sambil menjulurkan leherku kesana-kemari.
"Run." Sebuah tepukan di pundakku menghentikan aktifitas mencariku dan terpaksa beralih keasal suara.
"Wira? Ada apa?" tanyaku masih dengan raut yang kebingungan.
"Aku lihat dari depan ruanganku tadi, kamu kelihatannya kayak kebingungan banget," jelasnya.
Aku menghembuskan napas putus asa.
"Cari Shenya nih, kamu lihat nggak?"
"Oh" sahutnya singkat.
Tiba-tiba Wira menarik tanganku menuju ke parkiran.
"Wiiir...lepasin nggak! Sakit tau!" rontaku sambil berusaha melepas pegangannya.
"Katanya pengen tahu Shenya dimana." Dia tidak menoleh sedikitpun dan tetap tidak melepaskan tarikannya.
"Kan caranya nggak harus gini juga dong," sewotku kesal.
Wira berhenti berjalan. Melepaskan pegangannya. Aku mengelus pergelanganku yang cukup terasa sakit.
"Setiap orang punya caranya sendiri. Semakin dia menjadi orang lain, maka semakin hilang juga dia." Wira meneruskan langkahnya tanpa memperhatikanku.
Aku tertegun mendengar kalimatnya. Semenit kemudian aku tersadar, "Aku harus ikutin Wira!"
Aku segera berlari kearah parkiran dan melihat Wira sudah duduk diatas jok motornya.
"Ah, lama banget sih mikirnya. Efek ujian apa gimana?" sindirnya seraya menyodorkan sebuah helm bulat mungil.
Aku terkekeh kecil.
Sekitar 20 menit kemudian kami sampai di suatu tempat yang sudah sangat familier bagiku.
"Kenapa harus disini, Wir?"
Aku terpaku di tempatku berdiri. Benar-benar kacau, tapi bukankah ini memang harapanku?
Bukan. Bukan begini maksudku.
Kenapa? Kenapa disini? Kenapa harus Shenya?
Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Aku segera berlari menjauh dari pemandangan yang amat menyesakkan itu.
Shenya sedang duduk dengan seseorang. Di tempat kami biasa bercengkrama bercerita. Dengan orang yang harusnya amat berharga di kanvas hidupku, Tian.
"Loh, Arun! Mau kemana?" seru Wira saat melihatku berlari menjauh tanpa sebuah arah.
Aku tak menghiraukan apapun dan siapapun.
"Ya Tuhan, tidak cukupkan ujian untukku? Aku tak perlu ujian lagi. Cukup." Batinku tanpa berhenti berlari.
Tanpa terasa genangan air mata sudah memenuhi mataku. Aku berhenti.
"Arun, tenangkan hatimu," ucap Wira yang telah berhasil menyusulku.
"Tenang katamu? Siapa yang bisa tenang melihat pacarnya pergi berdua dengan sahabatnya sendiri! Siapa, Wira!" cecarku tanpa henti. Aku tidak terkontrol.
Bukan seperti ini yang aku inginkan. Ya, bukan seperti ini.
Wira hanya bisa melihatku yang masih terus menangis tersedu-sedu.
"Setahan-tahannya orang bertahan, ada waktunya dia harus memaksa melepaskan." Lirih Wira.
Aku menoleh ke arahnya.
"Wir, boleh nggak, aku..."
Belum selesai perkataanku, Wira sudah mendekapku erat ke dalam pelukannya. Seakan menyuruhku untuk menyalurkan rasa sakit yang terlampau sulit untukku.
"Aku masih orang yang sama, Run. Jangan pernah ragu berbagi sakit denganku," bisiknya pelan.
Mendengar pernyataannya malah membuat air mataku semakin deras.
Aku kira hal seperti ini hanya ada di film-film pendek yang biasa ditonton teman-temanku. But it's real, and now happened to me. Pengkhianatan.
"Run, maafin aku ya. Harusnya nggak gini caraku kasih tahu tentang Shenya sama Tian," lirih Wira.
Aku melepaskan pelukannya. Memandang Wira dengan pandangan menyelidik.
"Kamu udah tahu sebelumnya tentang mereka?"
Wira hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil menunduk menatap jalanan.
"Ya ampun, Wira. Kok tega banget sih, kamu gak bilang ke aku."
"Bukan aku tega, tapi..."
"Tapi apa?"
Dia tidak melanjutkan kalimatnya dan terus menunduk.
"Aku belum siap lihat kamu terluka kayak gini. Sekarang pun aku masih nggak sanggup, Run."
"Wir...." ucapku lirih.
"Maafin aku ya."
YOU ARE READING
Datatitaya
Fiction généralePercayalah akan ada akhir dari apa yang pernah mulai. (hiatus dulu ya nulis ini, mampet tapi dapet sebuah pencerahan menulis yang lain hehe)