Bunga berguguran tak sedikit pun menyisahkan pada pohon, hanya bisa berpasrah pada yang Menciptakan lalu bersyukur.
Sedikit demi sedikit mulai berubah dari hitam menjadi kelabu mungkin memang seperti ini cara Rabbi memperindah sebuah kisah yang dulunya terlihat menjijikkan.Hening. Suasana rumah begitu hening hanya ada suara kelontang dari wajan penggorengan, Zahra begitu fokus pada yang ia kerjakan; memasak untuk pria yang seminggu ini resmi menjadi suaminya.
"Masak apa hari ini?"
Zahra menoleh pada asal suara yang berhasil mengagetkan. "Bawang goreng."
Alis pria itu bertautan tak mengerti pada perkataan istrinya. "Kau kan bertanya, 'masak apa aku sekarang' jadi aku jawab 'bawang goreng'," jelasnya panjang lebar.
"Aku bertanya hari ini, bukan sekarang." Pria itu tersenyum menang sembari menatap wajah istrinya dari meja makan. Zahra terlihat kesal bibir mengerucut. Menggemaskan.
"Masak apa hari ini?" ulang pria berinisial R, Rizal.
"Nasi goreng," jawabnya singkat.
***
Ini sudah ketiga kalinya Rizal mengajak, juga ketiga kalinya Zahra menolak.
Tentu kalian mengerti kan apa yang dimaksud MENGAJAK.Rizal kesal, ia pergi ke atap rumah mencoba menenangkan diri, mungkin sekali dua kali ia bisa menahan, namu bagaimana ini sudah yang ketiga kalinya.
Ia begitu dalam menghirup udara malam, dingin berhasil membuat kepalanya sedikit pusing. Tak berangsur lama suara derap kaki menghampiri, siapa lagi kalau bukan Zahra. Ia menghampiri Rizal dengan selimut tebal di tangannya, ia tahu Rizal kedinginan.
"Maaf," ucap Zahra sembari memberi selimut itu pada Rizal, yang dipedulikan malah mendengus kesal.
Zahra hanya tersenyum maklum, ia berjinjit berusaha memasangkan selimut pada tubuh suaminya. Rizal mengerti tangan istrinya tidak mungkin sampai untuk memasangkan selimut itu, hingga pada akhirnya Rizal terpaksa membungkukkan tubuhnya, ia tak mau menolak karena memang suhu malam ini begitu menyengat.
"Mas, ayo kita masuk. Udaranya sangat dingin." Zahra menarik tangan Rizal, tapi Rizal sama sekali tak bergerak. Zahra menoleh menatap heran pada Rizal, apa dia tidak kedinginan? Pikir Zahra, tentunya.
"Kau akan menolak," ucap Rizal terus terang sembari menatap dalam kedua mata milik Zahra.
Tak bisa dipungkiri, semburat merah menghiasi wajahnya. Zahra tersenyum menunduk malu, ia betul-betul tak mengerti pada debar di hatinya, bukankah sebelum itu ia menolak keras atas pernikahannya? Ya, pernikahan hasil dari sebuah perjodohan atas kehendak orang tua, ayah Zahra.
Entah kenapa hatinya mengatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk berkata yang sejujurnya pada sang suami, raut wajah yang semula tenang begitu cepat berubah murung. Rizal menyadari raut kekhawatiran di wajah istrinya.
"Ada apa?" tanya Rizal membelai surai hitam milik Zahra. "Kenapa tiba-tiba murung seperti itu?"
Yang ditanya tak menjawab walau hanya sepatah kata pun.
"Kau sakit?" tanyanya lagi kali ini ia menempelkan telapak tangannya di dahi Zahra.
Zahra menggeleng pelan, menyingkirkan tangan Rizal dari dahinya dan berkata, "Mas, aku ingin mengatakan sesuatu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta [BAKU]
Romance17+ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN. Zahra Nadzaran Fidqa, seorang muslimah berusia 19 tahun bermasalalu menyeramkan. Ia di jodohkan dengan anak teman orang tuanya, Rizal Maulana. Zahra terima dengan lapang dada, walau awalnya terpaksa, namun pada akhirn...