Saya harap kalian menyukainya.
Seorang gadis dengan pakaian SMA lengkap, tengah duduk di sebuah ruangan. Wajahnya tertekuk, matanya meyorot tajam ke arah sebuah foto keluarga. Empat orang dalam foto itu tersenyum bahagia. Ia meraih bingkai foto itu dan menggenggamnya dengan erat. Tanganya bergetar menahan amarah, matanya pun memerah. Sebenarnya apa yang gadis itu tunggu? Mungkin sebaiknya ia segera pergi saja. Dia meletakan foto itu ke tempat asalnya. Gadis itu menghela napas, lalu berdiri. Tiba-tiba seorang wanita menahan gadis itu dengan sebuah pertanyaan.“Kamu mau sekolah?”
Gadis itu menoleh sesaat lalu mengangguk. Wanita tadi hendak bicara lagi, tapi sebuah suara membuat wanita itu diam. Suara pecahan kaca.
“Memang harus ya mecahin kaca sembarangan?!” teriak wanita itu yang ternyata berjalan menghampiri asal suara.
Gadis tadi membuang muka, kembali geram, lalu melanjutkan jalannya menuju ke sebuah garasi. Ia menonjok bagian depan kaca mobil BMW berwarna silver milik yang terparkir rapi di garasi itu. Kaca mobil itu pecah, tangannya berdarah. Dia berjalan menuju mobilnya. Mobil Nissan March miliknya, hadiah dari sang nenek. Gadis itu masuk ke dalam mobilnya, lalu menancap gas sekuat tenaga agar mencapai kecepatan yang diinginkannya. Tujuh menit, dia sampai di sebuah sekolah. SMA Negeri 1 PELITA. Gadis itu turun dari mobilnya dengan wajah tak bersahabat. Darah di tangannya pun mengalir terus tanpa ia pedulikan.Zulfanny Alicia Ferdian. Itulah namanya, seorang gadis dari keluarga berada. Wajahnya cantik dengan sedikit bekas luka goresan di dagu bagian kirinya, rambut pendek dan tubuh yang proposional. Gadis yang jarang tersenyum apalagi berbicara. Wajahnya tak pernah menampakan sebuah ekspreksi. Sifat itu muncul semenjak ia menduduki bangku kelas enam SD. Karena sikapnya itu, ia tak memiliki teman, orang enggan bersamanya. Hanya melihatnya ada saja sepertinya enggan.
Zulfanny biasa dipanggil Fanny. Nama yang cantik, bagi sebagian orang pasti mengira nama Fanny adalah sosok yang ceria. Namun, memang tak sepenuhnya benar untuk Zulfanny.
Saat ini ia tengah berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya. Bisa dibilang ia terlambat, tapi hari ini kemungkinan besar tak akan ada pelajaran. Itu karena SMA PELITA baru saja melaksanakan Ulangan Akhir Semester. Fanny akhirnya sampai di kelasnya yang berada di lantai dua. Kelas XI IPA 3. Ia masuk ke dalam kelas itu, tanpa menyapa siapapun, ia duduk di bangkunya yang terletak paling depan. Tinggal satu hari saja ia berada di kelas ini. Selanjutnya ia memilih untuk pindah saja. Fanny menatap pintu di depanya dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian, seorang murid perempuan berkacamata dan pakaian yang terlihat lusuh duduk di sebelah Fanny.
“Pagi, Fan,” sapa murid itu.
Dia adalah teman sebangku Fanny, namanya Safira Anaya.
“Tadi aku udah buru-buru banget, aku takut telat,” ucapnya dengan napas yang terengah-engah.
Fanny mengangkat satu alisnya. Ia menoleh ke arah Safira, dari penampilannya bisa dikatakan anak ini di-bully 'lagi’.
“Di mana?” tanya Fanny memalingkan wajah.
Dahi Safira berkerut, “ma-maksud kamu?”
“Lo diapain lagi sama mereka?”“Em, aku ...”
“Jujur.”
Safira menghela napas, Fanny ini selalu saja bisa menebak apa yang dipikirkan olehnya.
“Di toilet, aku dijambak,” jawabnya gugup sambil melihat ke sekeliling kelas.
“Kelas dua belas gue nggak akan ada di sini lagi,” ungkap Fanny.Safira terkejut bukan main. “Kenapa? Terus nanti aku gimana?”
“Lo pindah,” ujar Fanny dengan tatapan sulit diartikan.
“Mana mungkin.”
Setelah itu mereka sama-sama terdiam. Mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing.
* * *
“Hanya itu yang bapak sampaikan. Sekarang kalian boleh pulang.”Murid-murid tersenyum bahagia, dengan tas yang sudah di punggung, mereka semua berdiri dan pamit. Fanny berjalan di koridor sendirian. Entah ke mana Safira, ia berpikir pasti anak itu sudah dijemput. Kenapa ia memikirkannya? Karena Safira sering di-bully dengan sangat kejam, bahkan lebih daripada semua murid yang pernah di-bully oleh salah satu geng perempuan di sekolahnya. Geng Queen nama geng itu.
Saat berjalan, beberapa murid berbisik menatap dirinya. Ia tahu apa yang dipikirkan mereka tentang dirinya. 'Seorang preman yang menghabisi anak buahnya.' Yang dimaksud prem di sini tak lain dan bukan adalah Fanny itu sendiri. Sebutan preman untuk Fanny adalah dikarenakan suatu alasan. Ada saat dimana ia sedang menolong seorang nenek yang dipalak preman. Namun, preman itu memanggil komplotannya. Mau tidak mau Fanny habisi saja semua. Bukan mau menyombong atau bagaimana, dari kecil Fanny suka sekali dengan bela diri sehingga saat kini ia hampir menguasai berbagai teknik bela diri. Dan, kejadian itu disalah artikan oleh murid sekolahnya.
“Jaga amarah,” gumamnya saat ia sudah duduk di dalam mobil. lalu ia menyalakan mesin mobil dan menancap gas.
* * *
Selesai membersihkan diri, Fanny merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tiba-tiba ia teringat bahwa besok akan ada pembagian raport. Ia beralih dari posisi tidur menjadi duduk. Fanny menghela napas panjang. Rasanya setelah kelegaan berbuka puasa dan melaksanakan sholat taraweh, ia sekarang merasa kesal. Tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Diambilnya ponsel di atas nakas, lalu ia angkat telepon itu.“Hallo?” Fanny mengawali.
“Hoi, Fan. Bentar lagi liburan. So, lo tunggu gue oke!” ucap seseorang di sebrang sana.
“Hm.”
“Jangan lupa nanti sambut gue di depan pintu! Harus ad—“
Tutt...Dimatikanya telepon sepihak. Ia sudah terbiasa melakukan hal itu pada orang tadi, yang mana adalah sepupu laki-lakinya. Fanny memandangi ponsel, di sana tertera nama 'Gabriel'. Sepupunya itu sangat menyebalkan, tingkahnya kocak, dan jahil. Padahal ia begitu tampan dengan wajah western yang ia miliki. Ayahnya yang asli orang London mewariskan wajah bulenya pada Gabriel. Walaupun begitu tingkahnya sangat bertolak belakang.
Saat ia tengah membayangkan bagaimana tingkah kocak Gabriel, ia mendengar suara keributan. Tanpa aba-aba, Fanny berlari menuju ruang tamu. Terlihat di sana kedua orangtuanya yang tengah bertengkar. Ia mencoba mendekat, tapi sebuah percakapan membuat langkahnya terhenti.
“Inget! Kamu pikir aku nggak pusing ngurusin kerjaan?!” bentak Deva, yang mana adalah nama papanya.
“Kamu sekarang udah doyan selingkuh, anak nggak diurus, dan sekarang sok menafkahi?!” Kini giliran Risti, mamanya.
“Jangan suka nuduh kamu!”“MENDING KITA CERAI!” ucap Risti dengan suara yang amat nyaring.
Prang! Degg!
Hatinya mencelos, guci di sebelah Fanny pecah tersenggol. Kakinya melemas. Tega-teganya mereka! Persetan dengan keluarga harmonis! Tanpa ingin tau kelanjutanya, Fanny berlari menuju kamarnya. Ia kunci pintu kamarnya, lalu menghempaskan diri ke atas kasur.'Ini bukanlah yang pertama kali. Padahal sudah bertahun-tahun aku hidup seperti ini, tapi kenyataanya ini seperti hal baru bagiku.'
KAMU SEDANG MEMBACA
DITHANNY
Teen FictionBaca yuk! Fanny tak pernah berpikir bahwa memiliki cinta pada seseorang itu penting. Baginya, kakaknyalah yang harus ia cintai. Tapi Fanny tak menyangka akan dipertemukan oleh seseorang yang mengubah cara pikirnya terhadap cinta. -Hati yang beku te...