The little things he needs

90 11 1
                                    

“Ji.” panggil lelaki berambut pirang itu.

Orang di hadapannya itu tidak bergidik sama sekali. Mendengar namanya disebut saja tidak. Ia terus berpacu di tempat, berjalan mondar-mandir di ruangan sempit yang ia sebut kamarnya.

“Jihoon?” dahi Soonyoung mengerut, mulai melihat ada yang aneh dari lelaki di depannya yang memunculkan ekspresi panik pada wajahnya.

Menilai bahwa panggilan ketiga tetap tidak akan digubris, Soonyoung akhirnya beranjak dari kasur untuk meraih tubuh mungil kekasihnya. Setelah berhasil mendapat perhatian yang ia inginkan, ia menangkup wajah Jihoon dengan kedua tangannya. “Cerita sini, ada apa?”

Jihoon terdiam di tempatnya, tiba-tiba lupa caranya bergerak dan bernapas. Ia baru ingat Soonyoung mampir ke kosannya malam ini untuk membahas projek akhir semester mereka. Mengingat hal itu membuat Jihoon semakin panik dan ia pun berusaha keras untuk menjauhkan tubuhnya dari Soonyoung.

Tapi, tentu saja Soonyoung tidak mau melepas genggamannya. Ia menyetarakan pandangannya dengan Jihoon dan menatap dalam mata kekasihnya. Setelah melihat ada kilauan melapisi kedua mata Jihoon, ia pun tersenyum kecil dan membelai lembut pipi kekasihnya dengan jemarinya, mencoba menenangkan tubuh Jihoon yang mulai bergetar pelan.

“Takut, Soonyoung.” ucap Jihoon dengan suara kecil, hampir tidak terdengar.

Oh, batin Soonyoung. It's one of the episodes, of his anxiety.

Ia langsung mengerti apa yang harus dilakukan. Dengan sigap, Soonyoung mendekap tubuh Jihoon dan mengayunkan tubuh mereka ke kanan dan kiri, tangannya pun tidak absen mengelus punggung Jihoon untuk menambah efek penenang.

Beberapa bulan terakhir ini, ia jadi lebih sering melakukannya. Dan kenyataan tersebut menambah rasa protektif yang tumbuh dalam dirinya.

“Udah mau cerita?”

Jihoon melingkarkan kedua lengannya di tubuh Soonyoung, merapatkan kedua tangannya di lengkung punggung lelaki yang terus membisikkan ribuan kata manis sebagai nyanyian nina bobo di telinganya. Soonyoung mengarahkan kedua tubuh mereka agar dapat berbaring di kasur empuk milik Jihoon, memosisikan diri senyaman mungkin.

Isakan kecil mulai terdengar dari tubuh rentan yang berada dalam dekapan Soonyoung, masih gemetar lembut walau terlihat tertahan. Situasi seperti ini menyakiti Soonyoung lebih dari korban sesungguhnya.

“Abisin dulu air matanya, ngga apa-apa.” kini jemari Soonyoung terselip di rambut hitam Jihoon, yang menurutnya terlalu lembut untuk seorang dewasa yang sehari-harinya tidak gagal disambut polusi jalanan Jakarta dan kejamnya terik matahari.

Seperti biasa, ia memainkan tiap helai rambut Jihoon dengan sentuhan ringannya, membawa Jihoon perlahan memejamkan kelopak matanya dan kemudian meredam tangis.

Setelah yakin bahwa malaikatnya sudah terlelap, Soonyoung membawa bibirnya ke kening Jihoon untuk mengecup manis dan mengirim mimpi indah sebagai pengobat tambahan.

Tidak lama setelahnya, ia merasakan genggaman kecil di kausnya. Kecil, tapi kuat, seakan menarik Soonyoung yang tiba-tiba hilang terbawa angin musim gugur.

“Jangan,” ucap Jihoon lirih, tercekat oleh isakannya yang ternyata masih belum surut, “jangan pergi. Aku takut, Soonyoung. Takut.”

[INA] Perfect Porcelain | SoonHoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang