Malam sudah tiba. Ia pamit pada ibu Asri dan Pak Seno. Dafa entah dimana. Ia melangkah keluar. Mendongak memandang rembulan. Bersama tiupan angin malam. Memejamkan mata meresapi suasana hening. Ia membuka mata dan berjalan ke arah mobil. Sambil berjalan, ia meraba rahangnya yang masih sakit saat digerakkan. Sampai didekat sana, justru matanya menemukan Yuna yang duduk sendirian memandangi langit malam. Juna diam. Menunduk. Lalu membulatkan tekad. Kakinya melangkah manuju Yuna berada. Wanita itu tetap diam walau Juna berdiri didekatnya.
"Boleh aku duduk?"
Tak ada jawaban.
Dan Juna mengartikan itu sebagai jawaban 'ya'. Ia mengambil tempat duduk di sisi Yuna. Juna menoleh, memandangi wajah Yuna dari samping. Wanita itu benar-benar tak terusik. Atau memang sadar dan memilih mengabaikannya?
"Kenapa belum masuk? Tak baik diluar saat malam begini. Udaranya tidak bagus dan dingin."
Terdengar helaan napas Yuna. Namun, ucapan Juna tak berbalas.
Juna melepas jaketnya. Dan menyampirkan ke bahu Yuna. Sontak hal itu membuat Yuna terkejut dan menoleh.
Juna bisa melihat ada genangan di mata Yuna, "Maaf, disini dingin. Aku takut kamu sakit."
Sekali lagi Yuna tak menjawab. Ia mengalihkan tatapan. Dan kembali ke aktivitasnya semula.
Juna melihat ke atas, pada apa yanga dipandang Yuna sejak tadi. Ternyata bulan purnama yang dilihat dari sini tampak begitu cantik. Awan-awan putih nan tipis mengelilinginya. Dan bintang-bintang dengan cahaya kelap-kelip mengitarinya. Sangat indah dan cantik. Kemudian tatapan Juna jatuh pada wajah Yuna yang disirami sinar rembulan. Ia merasakan waktu menjeda. Deruh angin malam yang dingin sedikitpun tak ia rasakan. Dan kesunyian membuat waktu kini membeku mendadak ia kehilangan sendi gerak. Matanya hanya terpaku pada garis-garis yang membingkai wajah Yuna. Rupanya yang khas melayu. Bulu mata yang lentik. Bola mata sayu. Hidung mungil. Dan bibir bawah tebal dan diatasnya tipis. Dari dekat sini, ia baru menyadari ada tahi lalat kecil di pipi Yuna. Sebelah kiri. Juga diatas dahinya ada ... bekas luka.
Tiba-tiba Yuna menoleh, menatap tangan Juna yang baru ia sadari terangkat dan hendak menyentuh bekas luka didahi Yuna. Juna segera menurunkan tangannya. Kepalanya menunduk.
"Maaf."
Juna berpikir, Yuna akan mengusirnya. Namun, Yuna justru bergeming dan membiarkan hening kembali mengambil alih.
Suara Yuna terdengar tiba-tiba. Pelan dan halus, "Dulu, aku menderita untuk kesalahan yang bukan aku perbuat."
Juna mendongak.
"Sekarang pun, aku harus menanggungnya karena pilihanku untuk menjadi ibu bukan pembunuh..."
Yuna menautkan kedua tangannya. Juna bisa melihat, tangannya masih gemetar samar dengan tautan yang mengerat.
"Kenapa..." Suara Yuna tercekat. Tarikan napasnya mulai terdengar, "kenapa aku yang mengalami ini?" Satu butir air mata lolos. Bibirnya bergetar.
"Aku berusaha untuk menjadi anak yang baik. Aku tidak mengganggu orang. Tapi.... aku tidak tau kenapa justru orang-orang sering mengusikku. Suka melihatku bersedih. Suka melihatku menderita. Suka melihatku jatuh dan terluka. Aku tidak tau apa salahku pada mereka... aku tidak tau apakah aku pernah membuat masalah pada mereka ... Semuanya seperti akulah penyebabnya. Mereka membenciku tanpa alasan. Membuatku terpojok dan terhina. Melukaiku tanpa sebab. Mereka menghakimiku layaknya aku sudah berbuat kesalahan yang besar. Aku tidak mengerti ... Kenapa kau dan mereka berbuat begitu ..." Suara Yuna menghilang. Berganti isakan lirih dan puluhan butir air mata yang berjatuhan dari kelopak matanya. Bahunya berguncang. Napasnya tersendat-sendat. Kepalanya tertunduk.
Juna bangkit lalu berdiri tepat di depan Yuna. Yuna mendongak menatap mata Juna yang tergenang air mata. Laki-laki itu bersimpuh dihadapannya. Seraya melingkupi kedua tangan Yuna yang gemetar. Menggenggam erat. Dan menautkan kedua mata mereka.
"Maaf ..." Kelopak mata Juna mengedip dan lolos satu butir air mata.
"Maafkan aku... Semua ini salahku ... Aku ... Aku ..." Kata diujung lidahnya lenyap. Bersama pikirannya yang hampa. Hanya kelabu dan sesak yang dirasakannya saat ini. Melihat Yuna yang menangis dan dirinya yang tak berdaya.
"Maaf ..." hanya itu yang terlintas. Juna meletakkan keningnya diatas genggaman mereka. Air matanya ikut mengalir deras. Sungguh, ia benar-benar tak tau lagi harus apa. Kesakitan Yuna yang didengarnya menghujam jantungnya. Memutar masa lalu betapa bejat dirinya dan kelakuan yang tak termaafkan. Masihkah kata maaf itu pantas untuknya setelah semua ini?
Isakan Yuna melingkupi mereka. Dan Juna menemani Yuna mengeluarkan semua kesedihannya. Bertemankan malam yang makin dingin dan kesunyian yang semakin terasa.
Tepat dikejauhan, Dafa berjalan menuju rumah seraya memegangi wajahnya. Ada luka di sudut bibirnya dan lebam biru di matanya. Tapi, sepertinya itu bukan apa-apa bagi dirinya. Ia tak tampak kesakitan. Dan semakin mendekati rumah, langkah Dafa terhenti. Di halaman samping rumahnya. Ia melihat Kakaknya menangis dan Juna yang bersimpuh didepannya. Ada apa? Apa yang ia lewatkan lagi?
Tetapi, Dafa hanya bergeming di tempatnya. Menyaksikan dari kejauhan. Hatinya berkata, untuk sekarang sebaiknya ia tidak kesana dan menjaga kakaknya dari jauh saja. Dafa mendongak dan memejamkan mata.
Tuhan, jangan siksa dia lagi. Aku mohon ... Biarkan aku sebagai penggantinya ...
Dan di suara hati yang lain.
Ini yang terakhir... Untuk air matamu. Aku akan menjagamu. Aku akan selalu disampingmu. Aku tidak akan membiarkan orang-orang menyakitimu lagi termasuk diriku. Tuhan, bantu aku mewujudkan semuanya. Bantu aku menghilangkan kesedihannya. Jika aku tidak bisa membuatnya tersenyum setidaknya bantu aku mengurangi sakitnya. Biarkanlah aku sebagai pengganti takdir-takdir buruknya... Kabulkan permohonanku, Tuhan...
***
9 Maret 2020Ending?
Sudah berapa abad nggak update, thor? 😅😅😅
I'm so sorry
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
Ficción GeneralWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...