Chapter 5 : Pertaruhan Yang Setara

38 3 0
                                    

Chapter 5


         Pertaruhan Yang Setara


Micro camera sudah tersebar dan Lia juga sudah pulih sepenuhnya, ini waktunya kami memulai kembali misi perburuan kedua sampah masyarakat itu. Selama tiga hari terakhir ini banyak tayang di berita TV tentang tindakan pencurian dan pembunuhan yang dilakukan oleh mereka, sejujurnya aku masih belum yakin apakah Meli terbunuh dalam ledakan drone tempo hari karena dia memiliki senjata yang dapat menahan ledakan, jika ternyata dia masih hidup maka aku dan Lia harus memisahkan mereka dan menghadapinya satu lawan satu.
Suasana malam hari yang tenang dengan diterpa angin dari jendela yang membuat tubuh menggigil, aku dan Lia mempersiapkan diri sedangkan Rika menyiapkan drone dan laptop untuk membantu kami.

“Baiklah Lia, kita mulai lagi!” perintahku.
“Siap, akan aku balas perbuatan mereka,” balas Lia.
“Telah dilaporkan hari ini telah terjadi peristiwa pembunuhan yang berlokasi di dekat rumah sakit, diduga korban adalah seorang dokter dari rumah sakit yang ada di dekat lokasi ia terbunuh. Selama beberapa hari terakhir ini telah banyak terjadi peristiwa pembunuhan dan perampokan, semua barang-barang korban hilang dan diduga semua harta korban dibawa oleh pelaku. Kejadian ini meresahkan masyarakat dan takut ketika ingin bepergian di malam hari. Mari kita dengarkan pendapat pihak kepolisian yang menangani kasus ini,” jelas seorang reporter.
“Bagaimana menurut Anda tentang peristiwa pembunuhan yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir ini?” tanya seorang reporter.
“Saya dan pihak kepolisian lainnya sedang berusaha untuk menginvestigasi kejadian ini, motif pelaku sepertinya hanya mengincar harta karena semua korban dari kejadian ini tergolong orang-orang kaya. Sebisa mungkin kami akan segera menemukan pelakunya sekaligus mereka yang sering sekali melakukan pembuahan selama satu tahun terakhir ini,” tutur polisi.
“Sepertinya Anda benar-benar yakin bisa menemukan pelaku dari kasus pembunuhan ini,” ungkap reporter.
“Saya yakin bisa menemukan pelaku dari kasus ini karena itu memang sudah menjadi tugas kami sebagai polisi,” ucap polisi.
“Begitulah pendapat pihak kepolisian, kami akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini,” ucap reporter.

Aku sampai bosan karena setiap hari di saluran berita, hanya berisi tentang kasus-kasus pembunuhan yang tak pernah terungkap karena semua pelaku dari kasus tersebut selalu kami bunuh terlebih dahulu dan para polisi itu hanya menemukan mayat sang pelaku yang kami tinggalkan.
Kulihat tubuh Rika bergetar dengan gigi yang terus menggertak, seperti biasa jika dia mendengar atau melihat sesuatu tentang polisi maka emosinya akan memuncak. Ia memang tak pernah suka dengan pihak kepolisian yang selalu lamban mengambil keputusan dan tidak bisa bekerja secara maksimal.

“Lihatlah orang-orang dungu itu, berkata seolah bisa menangkap pelakunya padahal setiap hari selalu kita yang membereskannya,” geram Rika.
“Sudalah Rika, biarkan saja mereka,” ujar Lia.
“Boleh aku menculik salah satu dari mereka dan menyiksanya?” tanya Rika.
“Berapa kali aku harus mengatakan ini padamu, jangan lakukan itu,” balasku.
“Cih ... Tidak adil,” lanjut Rika.

Sekali lagi Rika memiliki keinginan untuk menculik salah satu dari pihak kepolisian dan menyiksanya sebagai pelampiasan, meskipun aku sudah melarangnya berkali-kali tapi dia terus menanyakannya seolah benar-benar ingin melakukan hal kejam tersebut.
Semua persiapan kami sudah selesai dan ini waktunya misi dimulai kembali. kali ini kami akan tidak akan kalah atau pun mundur lagi dan sejujurnya aku memikirkan ide gila yang ingin aku coba nanti, jika berhasil aku mungkin akan mendapatkan sedikit keuntungan.

“Apa kau sudah mulai paham?” tanya Teo.
“Sudah, terima kasih Teo, aku lebih mudah memahami bahasa Inggris darimu daripada ketika di sekolah,” ungkap Fani.
“Hahaha ... lebih mudah belajar bahasa asing pada orang asing juga,” balas Teo.
“Hei kalian, hentikan dulu les privat bahasa Inggris kalian dan bantu aku memantau setiap kamera yang kau sebar, mataku hanya ada dua dan akan kesulitan mengawasi semua kamera dari monitor,” pinta Rika.
“Baru saja aku dan Fani mulai,” keluh Teo.
“Jangan banyak bicara, cepat kemari!” perintah Rika.
“Kita bantu saja Rika, itu akan lebih baik iyakan Teo?” tanya Fani.
“Iya-iya aku mengerti,” balas Teo.

Semenjak tinggal di rumah ini Teo sering membantu Fani untuk belajar bahasa Inggris karena di sekolah Fani cukup kesulitan, jika dilihat lagi Teo sudah seperti menjadi guru pribadi Fani untuk belajar bahasa Inggris.
Rika menyeret kedua temannya tersebut untuk membantunya, yang aku lihat Teo dan Fani sudah benar-benar berada di bawah kendali Rika.

“Baiklah Jeamiy, kau dan Lia pergilah ke kota untuk melakukan pencarian dan tentu saja akan aku beri sedikit bantuan dengan mengirim hunter killer drone lagi, sementara Teo dan Fani juga akan ikut membantu dengan memantau kamera yang disebar oleh mereka di kota, jadi kita semua ikut ambil bagian dalam misi ini,” jelas Rika.
“Terima kasih Rika, idemu cukup bagus,” pujiku.
“Seperti biasanya jika masalah teknologi kau selalu bisa diandalkan,” saut Lia.
“Kami akan ikut membantu dari sini Jeamiy,” ucap Fani.
“Jika kau mengalami kesulitan jangan ragu untuk memanggil salah satu dari kami bertiga,” ujar Teo.
“Terima kasih Teo, akan aku ingat itu,” balasku.
“Sebelumnya, aku minta maaf tentang tadi siang,” pinta Teo.
“Tidak apa, ada baiknya jika kau tahu,” balasku.

Dalam pelaksanaan misi memburu dua kriminal itu, ada satu hal yang ingin aku coba lakukan jika sudah bertemu dengan mereka berdua.
Waktunya telah tiba di mana aku dan Lia harus berangkat ke tengah kota untuk mencari keberadaan Zaka dan Meli, dengan kerja sama antara kami berempat maka misi ini akan terasa cukup mudah karena ada banyak mata yang tersebar di seluruh kota.
Suasana di kota cukup dingin dengan angin yang berembus kencang, keadaan sekitar benar-benar sepi dan tak ada warga sipil satu pun yang melintas. Kami berjalan-jalan untuk melakukan pencarian dengan diikuti oleh drone milik Rika.

“Akan aku balas apa yang sudah mereka lakukan kepadaku,” ujar Lia.
“Jika sudah bertemu dengan mereka maka kau bisa melampiaskan semua emosimu seperti yang kau lakukan padaku tadi pagi,” balasku.
“Jangan ingatkan aku dengan hal itu, aku merasa malu sendiri,” jelas Lia.
“Baiklah, aku tidak akan membahas itu lagi,” ucapku.

Lia memang memiliki dendam kepada dua orang tersebut karena mereka telah memberi Lia hadiah perkenalan yang membuat dirinya terbaring di ranjang selama dua hari, dan hari ini ia berencana untuk membalas perbuatan mereka.
Malam yang begitu tenang dan sunyi dengan embusan angin yang kencang membuat suasana cukup mencekam, ditambah dengan banyaknya burung gagak yang beterbangan membuat siapa saja yang berada di posisi kami akan bergidik ketakutan.
Sepertinya Teo dan Fani melakukan tugasnya dengan sangat baik karena di sepanjang jalan yang aku lewati terdapat benda kecil berkilau yang sulit dilihat jika mata tidak fokus, aku tidak tahu berapa banyak jumlah kamera yang disebar oleh mereka.

“Rika, ada berapa banyak kamera dalam tas itu?” tanyaku.
“Aku tidak tahu pasti jumlahnya, aku tidak menghitungnya,” jawab Rika.
“Ada sekitar seratus lebih kamera dalam tas itu, Jeamiy,” sambung Teo.
“Jangan khawatir aku dan Teo sudah menyebarkan kamera itu ke seluruh kota termasuk tempat-tempat tersembunyi dan jarang dilalui orang,” lanjut Fani.
“Aku jadi merasa seperti sedang diawasi,” ungkap Lia.

Jumlah keseluruhan dari micro camera yang ada di tas tersebut ada sekitar seratus lebih kamera, namun berjalan di jalanan yang dipenuhi oleh kamera di setiap sisi membuat Lia merasa sedikit terganggu karena serasa diawasi oleh banyak orang.
Masih belum ada tanda-tanda kemunculan Zaka, dan Teo beserta Fani juga belum memberikan kabar apa pun. Mungkin Zaka memang masih berada di persembunyiannya atau memang sudah tahu kalau kami akan memburunya lagi malam ini. Yang aku takutkan adalah ia melihat Teo dan Fani yang sedang menyebar kamera ke seluruh kota dan  mengakibatkan timbulnya kecurigaan pada diri Zaka, setiap sudut jalan yang bahkan sering dilalui orang terlihat sangat sepi dan tak ada tanda-tanda seseorang baru saja melewati jalanan ini.
Akan merepotkan jika sampai Zaka mengetahui bahwa kami akan mengejarnya lagi malam ini, ia akan dengan sengaja diam di tempat persembunyian dan menunggu sampai pagi tiba di mana ketika pagi tiba kami akan mengakhiri misi pengejaran.

“Teo ada yang ingin aku tanyakan,” ucapku.
“Apa itu?” balas Teo.
“Kau yakin tidak ada orang berambut biru muda melihatmu menyebar kamera keseluruhan kota?” tanyaku.
“Aku yakin tidak ada, bahkan aku dan Fani juga menyebar setiap kamera dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan pada orang-orang,” jawab Teo.
“Jeamiy, lagi pula kami juga tidak melihat adanya orang yang memiliki ciri-ciri fisik seperti yang kau sebutkan,” sambung Fani.
“Semoga yang kau katakan itu benar, karena jika sampai Zaka melihat kalian melakukan gelagat yang aneh maka kita akan kesulitan menemukannya,” ujarku.

Yang pasti Zaka pasti bersembunyi di tempat yang jarang diketahui orang dengan kata lain ia pasti tinggal di sebuah rumah terbengkalai atau tinggal di tengah hutan seperti yang dilakukan oleh Fera.
Sembari menunggu kabar dari Teo dan Fani, kami terus berjalan dan memeriksa setiap rumah terbengkalai yang ada di kota.

“Dia tidak ada di rumah ini,” ujar Lia.
“Kita lanjutkan ke rumah terbengkalai yang lain,” ajakku.
“Cih ... Kenapa kau sulit sekali di tangkap,” geram Lia.

Dua jam sudah berlalu sejak dimulainya misi ini, namun setiap rumah yang kami datangi selalu kosong dan tak berpenghuni, hal ini mulai membuat Lia kesal.
Ketika aku sedang berpikir sejenak tiba-tiba ada panggilan masuk dari Teo dan Fani secara bersamaan.

“Jeamiy ada seseorang terlihat dari kamera yang terpasang di depan rumah sakit,” ungkap Fani.
“Jeamiy ada seorang gadis terlihat mencurigakan terlihat dari kamera yang terpasang di depan sebuah swalayan,” ungkap
“Yang benar saja dua panggilan masuk sekaligus,” ujar Lia.
“Itu artinya Meli masih hidup,” simpulku.
“Jeamiy, gadis itu terlihat di swalayan sebelah barat sedangkan orang satunya terlihat di rumah sakit sebelah timur dari posisimu,” jelas Teo.
“Dua tempat tersebut memiliki arah yang bertolak belakang dari posisi kami saat ini, lebih baik kita berpencar, Lia,” ajakku.
“Baik, akan aku kejar Meli yang terlihat di depan swalayan,” ungkap Lia.
“Akan aku kejar Zaka yang terlihat di depan rumah sakit. Rika pergilah dengan Lia, akan aku kejar Zaka sendirian dan dipandu oleh Fani,” ucapku.
“Baiklah, kita kejar bocah sialan itu,” ujar Lia.
“Teo, gadis itu terlihat di swalayan yang mana?” tanya Lia.
“Swalayan sebelah barat di dekat Bank Ferocity,” jawab Teo.
“Baiklah mari kita kejar bajingan kecil ini,” ucap Lia.

Teo dan Fani memberi kabar bahwa ada dua orang mencurigakan di dua tempat yang berbeda pula, artinya Meli masih hidup karena Teo melihatnya melintas di depan swalayan sebelah barat dan yang berada di sebelah Bank Ferocity. karena dua orang tersebut muncul di dua lokasi yang berbeda maka kami terpaksa berpencar dan aku meminta Rika untuk mengikuti Lia dengan dronenya sementara aku akan mengejar Zaka sendirian dengan dipandu oleh Fani.
Kami segera pergi ke tempat masing-masing di mana target kami terlihat, jarak dari lokasiku dengan rumah sakit yang ada di sebelah barat kurang lebih lima ratus meter dan harusnya jika sampai di sana maka aku tidak akan tertinggal terlalu jauh dari Zaka.

“Fani, aku sudah di lokasi yang kau berikan, ke mana dia pergi sekarang?” tanyaku.
“Dia terlihat pergi ke arah Utara dan berbelok ke kanan di persimpangan jalan sekitar lima belas menit yang lalu,” jawab Fani.
“Itu masih lima belas menit yang lalu, aku masih sempat,” ujarku.

Aku terus mengejarnya dan beberapa kali berhenti jika ada jalan bercabang serta dipandu oleh Fani ke mana saja jalur yang diambil oleh Zaka.
Beberapa menit berlalu sejak aku terus mengikuti Zaka. Namun, secepat apa pun aku berlari entah kenapa aku tidak bisa mengikutinya meskipun semua arahan dari Fani terbukti benar, dia memiliki kecepatan bergerak yang memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ketika hampir mendekati wilayah terbuka, aku melihat Zaka berjalan dengan santai ke arah utara menuju ke wilayah perumahan mati yang sudah tidak berpenghuni.

“Jeamiy, dia terlihat berjalan ke arah utara menuju ke wilayah perumahan mati, cepat ikuti!” Perintah Fani.
“Tunggu dulu Fani, aku tidak bisa mengikutinya lebih dari ini,” jawabku.
“Kenapa, kita akan kehilangan dia jika kau berdiam diri di tempat,” protes Fani.
“Tempo hari ia bisa tahu kalau aku sedang mengintainya dari jarak sekitar lima puluh meter, menurutku dia bisa merasakan kehadiran orang dari jarak tertentu,” balasku.
“Bagaimana jika kita kehilangan dia?” tanya Fani.
“Kita tidak akan kehilangan dia, setelah melewati perumahan kosong itu, hanya ada hutan belantara dan tidak mungkin dia akan pergi ke sana,” simpulku.
“Jadi menurutmu wilayah perumahan itu adalah pemberhentian terakhir Zaka?” tanya Fani.
“Benar, kemungkinan besar dia pasti tinggal di salah satu rumah kosong di sana,” jawabku.
“Baiklah Jeamiy, jika kau melihat dia masuk ke salah satu rumah di sana maka segera lakukan penggerebekan!” pinta Fani.
“Baiklah, terima kasih sudah memanduku sampai sejauh ini,” ungkapku.
“Sama-sama, semoga berhasil,” balas Fani.

Di depanku terdapat sebuah dua baris perumahan yang saling berhadapan dan membentang dari timur ke barat, jumlah keseluruhan bangunan di sana ada dua puluh empat rumah. Aku mengawasi Zaka yang terus berjalan ke sana untuk melihat ia masuk ke rumah yang mana dari deretan perumahan tersebut.
Setelah beberapa menit berjalan ia masuk ke rumah nomor tiga dari barat di deretan sebelah selatan, setiap tiga rumah terdapat sebuah jalan yang cukup lebar sebagai pemisah. Ketika aku sedikit menyipitkan mata, kulihat Lia yang datang dari utara, hal itu cukup membuatku terkejut karena kenapa dia bisa sampai kemari.

“Lia, sedang apa kau di sana?” tanyaku.
“Aku mengikuti Meli dengan arahan dari Teo Hingga membawaku ke tempat ini,” jawab Lia.
“Meli juga datang kemari, jadi ini tempat persembunyian mereka,” balasku.
“Kau tahu Zaka masuk ke rumah yang mana?” tanya Lia.
“Dia masuk ke rumah nomor tiga dari barat di deretan sebelah selatan,” jawabku.
“Bagaimana ini, apa kita harus menyergap sekarang?” tanya Lia.
“Sedikit mendekatlah, tapi jangan sampai kurang dari lima puluh meter dari posisi Zaka karena bisa jadi dia bisa merasakan hawa kehadiran seseorang dalam radius tertentu,” jawabku.
“Baik, aku akan berhati-hati,” balas Lia.

Meskipun wilayah itu adalah sebuah perumahan namun masih banyak pepohonan di sekitarnya, pembangunan perumahan ini memang belum sepenuhnya selesai dan sudah di tinggalkan. Mungkin yang jadi penyebabnya adalah habisnya dana dan tidak sanggup membayar para pekerjanya, itu sebabnya pepohonan di sekitar sini masih belum ditebang seluruhnya dan bisa kami jadikan sebagai tempat bersembunyi.
Aku berbicara dengan Lia melalui alat komunikasi kecil yang kami pasang langsung di salah satu telinga. Pendapatku tentang Zaka yang bisa merasakan hawa kehadiran orang lain dalam radius tertentu memang belum jelas, namun saat ketika ia bisa langsung mengetahui lokasi kami yang sedang memata-matainya dalam jarak yang cukup jauh cukup untuk menjadi satu bukti tentang kemampuannya tersebut.
Keheningan malam ini membuat kami harus sangat berhati-hati dalam bersembunyi karena suara kecil saja akan berakibat fatal, bisa jadi Zaka kabur atau malah berbalik menyerang kami.

“Rika, bisa kau periksa ada berapa orang di rumah yang ditempati oleh Zaka dan Meli?” perintahku.
“Baik jeamiy, aku bisa memeriksanya dengan kamera thermal drone ini,” balas Rika.
“Dan lagi, tolong sadap pembicaraan mereka!” pintaku.
“Dimengerti,” balas Rika.

Aku meminta Rika untuk memeriksa ada berapa orang di rumah yang ditempati oleh Zaka dan Meli serta menyadap pembicaraan mereka, Rika selalu bisa diandalkan untuk tugas memata-matai dan mencari informasi, kemampuan berbicaranya dan alat-alat yang ia gunakan cukup menjadi bukti bahwa ia memang ahlinya dalam bidang seperti ini.

“Jeamiy, dalam rumah itu hanya ada Meli dan Zaka, mereka hanya berdua saja,” ungkap Rika.
“Kau sudah memasang penyadap suara?” tanyaku.
“Sudah, aku juga sudah menyambungkannya langsung ke alat komunikasi kalian,” balas Rika.
“Bagus Rika, segera nyalakan!” Perintahku.
“Siap,” balas Rika.

Ternyata dari hasil pemeriksaan Rika, Zaka dan Meli hanya tinggal berdua saja di rumah terbengkalai itu. Sepertinya mereka memang tidak memiliki teman atau kenalan lain yang bisa diajak bekerja sama, Rika juga sudah memasang penyadap dan dengan begini kami bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

“Baik Meli, ini bagianmu,” ucap Zaka.
“Eh, tidak perlu, ambil saja semuanya,” tolak Meli.
“Karena kesalahanku, kita sampai harus bertarung melawan orang yang merepotkan,” ujar Meli.
“Meli jangan seperti itu, kau berhak mendapatkan bagianmu,” balas Zaka.
“Sepertinya aku tidak pantas menerimanya, lagi pula uang yang kudapat dari hasil mencuri beberapa minggu yang lalu masih ada,” tolak Meli.
“Meli dengarkan ini, aku sudah berjanji sejak pertama kali kita bertemu bahwa aku akan selalu menjaga dan memberikan apa pun yang menjadi kebutuhanmu, jadi aku mohon terima ini karena aku sangat peduli denganmu,” pinta Zaka.
“Baiklah jika kau memang memaksa, terima kasih Zaka kau satu-satunya orang yang peduli denganku,” ucap Meli.
“Sama-sama, tak akan kubiarkan apa pun melukaimu, akan kulindungi kau meskipun nyawaku yang menjadi taruhannya,” jelas Zaka.
“Itu terdengar sangat manis,” ujar Meli.

Walaupun Zaka terlihat kejam namun ia ternyata sangat peduli dengan Meli, mereka seolah terikat hubungan saling bergantung antara satu sama lainnya. Hal itu membuatku sedikit ragu-ragu untuk memberikan hukuman.

“Zaka sepertinya sangat menyayangi Meli melebihi apa pun,” ucap Lia.
“Kau yakin ingin membunuhnya?” tanya Lia.
“Kejahatan tetaplah kejahatan, ia melakukan tindak kriminal berulang kali dan harus mendapatkan balasannya,” balasku.
“Apa kita bisa menyerang sekarang, aku tidak sabar ingin mencoba hal yang terus aku latih tadi pagi,” ucap Lia.
“Baiklah tunggu aba-abaku,” ujarku.
“Akan aku balas perbuatan kalian tempo hari,” seru Lia.
“Kita akan menyerang dalam 3 ... 2 ... 1 ... Sekarang!” teriakku.

Dengan cepat kami langsung menyerang dan masuk ke dalam rumah Zaka.
Dengan cepat Zaka langsung menoleh ke belakang dengan raut wajah terkejut, dengan memusatkan tenaga pada tangan kanan aku menebas Zaka sekuat tenaga hingga membuatnya terpental meski sudah memasang posisi bertahan.

“Kau lagi sialan,” geram Zaka.
“Kau tidak akan lepas kali ini dasar sampah,” ejekku.
“Zaka ...” teriak Meli.
“Ke arah mana kau melihat hah ...” teriak Lia.
“Sial, mereka menyerang secara bersamaan,” resah Meli.

Di samping itu Lia melompat ke arah Meli dengan pedang yang sudah berubah menjadi merah menyala, wajahnya terlihat seram dengan mata merah yang menyala dalam gelap.
Dengan mengayunkan pedangnya sekuat tenaga, Lia menebas ke bawah dengan sangat kuat namun Meli dengan cepat menangkis serangan itu dengan punggung sarung tangan besinya. Tebasan tersebut membuat kedua orang itu terkejut, Lia terkejut karena serangan pedangnya yang memanas tidak bisa memotong sarung tangan besi milik Meli padahal seharusnya serangan itu bisa memotong besi atau baja dengan mudah, sedangkan Meli terkejut karena itu pertama kalinya ada sebuah serangan yang berhasil memberikan bekas yang cukup dalam di sarung tangan besinya.
Karena ada jeda waktu yang cukup, Meli membalas serangan dengan mengibaskan tangan kanannya untuk menyerang kepala Lia, tapi serangan itu berhasil di antisipasi oleh Lia dengan merendahkan tubuhnya hingga membuatnya tetap aman dari serangan tersebut. Celah sudah terbuka lebar, Lia menebas ke atas dan berhasil membuat luka robekan yang cukup lebar di dada Meli hingga membuatnya mundur beberapa langkah karena kesaktian.

“Hei hei hei, urusan kita belum selesai, harusnya luka robekan di dada itu aku berikan kepada Zaka tapi tak masalah jika kau yang menerima luka tersebut,” ucap Lia.
“Sialan kau, cih,” geram Meli.

Tak sampai di situ saja, Lia melanjutkan rangkaian serangannya dengan terus mengayunkan pedang panasnya tersebut bertubi-tubi dan membuat sarung tangan besi Meli terus menerima goresan yang cukup dalam.
Ketika Lia hendak menebas ke bawah, serangan itu ditangkis oleh Zaka dengan mengayunkan pedangnya ke atas, hal tersebut membuat pedang Lia terlepas dari tangannya dan melambung ke atas. Aku tidak terima jika pertarungan antara Meli dan Lia diganggu oleh Zaka, maka dari itu aku membalas serangannya dengan tebasan yang mengarah ke lehernya, serangan tersebut berhasil di tangkis olehnya meski harus terdorong mundur beberapa meter.

“Lawanmu adalah aku,” ucapku.
“Akan aku bereskan kau terlebih dahulu,” geram Zaka.
“Coba saja kalau kau bisa ...” teriakku.

Aku memusatkan semua tenaga yang kupunya di tangan kanan dan terus memberikan serangan bertubi-tubi, meskipun Zaka memiliki kecepatan yang sangat tinggi namun kali ini ia terlihat kewalahan menahan semua serangan yang aku berikan.
Setelah menerima semua seranganku, gerakan tangan Zaka mulai melemah dan melambat. Itu cukup untuk membuka celah yang cukup lebar pula, sekuat tenaga aku mengayunkan pedangku ke atas hingga membuat pedang Zaka terhempas meski berhasil menangkisnya. Sekarang tubuhnya tidak memiliki perlindungan apa-apa dan dengan cepat aku menyerang perutnya dengan arah ke samping hingga membuat luka robekan memanjang dan membuatnya kesakitan.

“Aarrgghh ...” teriak Zaka.
“Akan aku balas apa yang sudah kau lakukan pada Lia ...” teriakku.

Zaka mundur beberapa langkah karena perutnya mengeluarkan darah, dengan mengambil kesempatan aku memberikan tendangan keras tepat di wajahnya dan membuatnya terhempas dan menghantam dinding.

“Akan aku bunuh kau di sini ...” teriak Meli.
“Awas Lia ...!” resahku.
“Membunuhku ...? Jangan bercanda kau,” ujar Lia.
“Esmeralda Burning Hell : Wave of Fire ...” teriak Lia.
“Yang benar saja jurus apa itu? heranku.

Tepat setelah pedang Lia jatuh kembali ke tangan kanannya, ia mengucapkan hal yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Ketika ia menebas ke bawah muncul sebuah gelombang api besar berbentuk sabit meluncur ke arah Meli, meski menahannya serangan gelombang api itu membuat ledakan yang cukup besar dan membuat Meli yang menahan serangan itu terpental jauh menebus dinding.
Jurus yang tak pernah kulihat sebelumnya, tadi siang aku melihat banyak bekas terbakar yang memanjang di sekitar area tempat Lia latihan, jadi ini hasil dari latihannya dengan menciptakan sebuah gelombang api besar berbentuk sabit. Gadis ini benar-benar terlihat jauh berbeda dari saat aku pertama kali bertemu dengannya.

“Lia, itu hasil dari latihanmu?” tanyaku.
“Benar sekali, Esmeralda Burning Hell : Wave of Fire, jurus yang dapat aku ciptakan untuk menghempaskan musuh dengan menggunakan gelombang api besar,” jelas Lia.
“Itu bagus sekali Lia, jika Jeamiy berani berbuat macam-macam kau bisa mengancamnya dengan jurus barumu,” canda Rika.
“Baiklah aku tidak berani lagi berbuat macam-macam,” sambungku.

Lia terlihat semakin baik dalam menggunakan kekuatan apinya, dia berkembang dengan cukup cepat dan itu membuatku bangga padanya.
Tiba-tiba Zaka bangkit dan terlihat sangat marah karena rekannya mendapat serangan yang cukup fatal, ia berniat menebas Lia dari atas tapi dengan sigap aku langsung menangkis dan menghempaskan tangan kanannya. Karena tubuh Zaka sudah tidak terlindungi Lia menusuk pundak kanan Zaka dengan pedang panasnya, teriakan kesakitan Zaka terdengar cukup keras. Belum cukup menusuk pundaknya, Lia langsung mencabut pedangnya dan dengan cepat mencengkeram wajah Zaka serta membenturkannya ke bawah dengan sangat keras.
Seolah seluruh kepalanya di isi oleh kemarahan, Lia memukul wajah Zaka berkali-kali dengan tangan kanannya yang mengeluarkan bara api hingga membuat tanah di bawahnya retak, usai memukuli wajah Zaka aku segera menancapkan pedangku ke bahu kirinya, teriakan kesakitan kembali terdengar.

“Sialan kalian ...” teriak Zaka.
“Tutup mulutmu bangsat ...” teriak Lia.
“Kau tamat di sini, Zaka,” ucapku.
“Aku tidak akan mati di tangan kalian berdua ...” teriak Zaka.
“Aku sudah cukup mendengar itu darimu ...” teriak Lia.

Lia benar-benar menyimpan dendam yang mendalam pada Zaka hingga menghajarnya sampai seperti ini. Usai kucabut pedangku, Lia mencengkeram kepala Zaka kembali dan mengangkatnya serta membenturkannya ke dinding dengan sangat keras hingga kepala Zaka berdarah-darah. Belum cukup, ia mengumpulkan tenaga di tangan kanan dan memukul perut Zaka dengan tangan yang sudah membara hingga membuat dinding tersebut jebol dan menghempaskannya ke luar rumah.
Kepalanya sudah diselimuti oleh rasa amarah yang besar, mulut Lia mengeluarkan uap panas dan matanya menatap tajam ke arah Zaka dan Meli yang sudah tergeletak.

“Lia, kau baik-baik saja kan?” tanyaku.
“Aku baik-baik saja, hanya semangatku dan niat membunuh dalam diriku mulai berkobar,” jawab Lia.
“Haha jika kau melukai Lia tanpa membunuhnya maka siap-siaplah untuk mendapatkan balasan yang sangat mengerikan ketika bertemu lagi dengan sang penyihir api,” canda Rika.
“Mungkin kau benar, Rika,” sambungku.

Dua kriminal tersebut mulai bangkit lagi sembari menahan rasa sakit, melihat Meli yang kesulitan untuk bangkit Zaka segera menggendongnya dan melompat ke atas atap rumah. Darah segar mengalir keluar dari setiap luka kedua orang tersebut dan sebagian besar luka tersebut disebabkan oleh Lia yang sudah terbakar api amarah.

“Sial luka ini terasa perih dan panas,” keluh Meli.
“Kau akan baik-baik Meli, kau gadis yang kuat,” sanjung Zaka.
“Astaga Zaka, kedua bahumu berdarah, kepalamu juga berdarah-darah,” resah Meli.
“Jangan pedulikanku, ini hanya luka kecil,” ucap Zaka.
“Bagaimana aku bisa bersikap seperti itu sementara kau sendiri sangat peduli denganku,” protes Meli.

Zaka masih sempat mengkhawatirkan Meli meski kondisinya sendiri jauh lebih parah, ia mengelus kepala Meli yang sedang kebingungan harus berbuat apa untuk kabur dari situasi seperti ini.
Tangan kananku yang memegang pedang mulai bergetar seolah tangan ini menolak untuk membunuh kedua orang tersebut, namun otakku terus memberi perintah untuk membunuhnya karena kejahatan tetaplah kejahatan dan Zaka juga sudah membunuh banyak warga sipil yang tidak bersalah.
Aku dan Lia menghampiri dua orang kriminal tersebut untuk menanyakan beberapa hal sebelum saat penghakiman dimulai.

“Zaka, apa alasanmu melakukan hal ini?” tanyaku.
“Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu,” tolak Zaka.
“Jawab atau aku penggal kepalamu!” geram Lia.
“Apa kau tahu bagaimana rasanya hidup di jalanan tanpa keluarga atau tempat tinggal ...” sentak Zaka.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Selama ini aku terlantar di jalanan, tak ada orang yang peduli padaku yang tidak memiliki tempat tinggal atau keluarga,” jawab Zaka.
“Apa pun yang aku lakukan tak ada yang peduli, aku mengambil jalan seperti ini untuk menghidupi diriku sendiri karena setiap kali aku datang ke tempat yang sedang mencari pekerja, aku selalu menerima perlakuan tidak pantas,” lanjut Zaka.
“Meskipun banyak sekali orang kaya di kota ini namun tak pernah kutemui satu pun yang mau membagi sedikit uangnya untuk mereka yang miskin,” ucap Zaka.
“Orang-orang di kota ini benar-benar seperti iblis yang tak memiliki rasa kepedulian pada sesamanya ...” teriak Zaka.
“termasuk dirimu, kau hanya salah satu dari orang-orang kaya yang tidak memiliki rasa iba atau peduli pada mereka yang memiliki derajat lebih rendah,” ejek Zaka.
“Pada akhirnya, sifat asli manusia akan keluar jika mereka sudah bisa meraih apa saja yang mereka inginkan,” ucap Zaka.

Zaka memiliki kebencian yang mendalam pada orang-orang kaya di kota ini karena tak ada satu pun yang mau membantunya ketika ia hidup terlantar di jalanan. Karena hal itulah ia melakukan tindakan perampokan dan pembuahan demi kelangsungan hidupnya sendiri dan untuk melampiaskan rasa kebenciannya pada orang-orang kaya, dia berasal dari lingkungan yang keras jadi aku tidak heran jika ia juga memiliki sikap yang keras pula.

“Aku pernah melihat banyak sekali berita tentang terbunuhnya seorang kriminal namun sang pelaku tak pernah diketahui, banyak orang yang menyebut mereka adalah pembasmi kejahatan di kegelapan malam,” ucap Zaka.
“Aku yakin kalianlah pelakunya. Menyebut diri kalian sendiri sebagai pembasmi kejahatan benar-benar hal yang sangat bodoh,” hina Zaka.
“Meli memiliki tubuh yang pendek dan kecil layaknya anak-anak dan karena alasan itu ia pernah diculik oleh wanita misterius berambut hitam yang diikat ekor kuda, beruntung aku berhasil menyelamatkan Meli dari orang itu dan memberi penculik itu luka di salah satu matanya. Jika kalian memang pembasmi kejahatan lantas kenapa orang seperti itu masih berkeliaran di kota hah ...” teriak Zaka.
“Jeamiy, wanita yang dimaksud oleh Zaka jangan-jangan,” tebak Lia.
“Benar sekali, sama seperti yang aku pikirkan, wanita yang dimaksud oleh Zaka adalah Fera,” simpulku.

Sebuah fakta telah membuatku terkejut karena Meli adalah salah satu korban dari Fera yang berhasil diselamatkan oleh Zaka, dan luka di salah satu mata Fera juga bekas dari serangan yang diberikan oleh Zaka, Meli terlihat menundukkan kepalanya karena teringat insiden yang hampir membuat dirinya dimutilasi.
Kejadian penculikan Meli kemungkinan besar terjadi sebelum Fera mulai melakukan penculikan besar-besaran hingga akhirnya jejak Fera tercium oleh kami. Zaka sangat marah karena mengira bahwa julukan pembasmi kejahatan di kegelapan malam hanya sebatas omong kosong belaka.

“Tunggu dulu Zaka, wanita yang kau maksud itu sudah kami bunuh,” jelasku.
“Itu benar, tidak ada lagi kasus serupa yang akan terjadi karena si pelaku sudah kami hakimi,” sambung Zaka.
“Aku sudah terbiasa dengan omong kosong,” geram Zaka.
“Hei sialan, mari bertaruh denganku!” tawar Zaka.
“Tunggu Zaka, apa maksudmu?” resah Meli.

Hal mengejutkan terjadi, Zaka menantang aku bertaruh, hal tersebut membuat Meli juga terkejut karena bagaimana bisa orang yang sudah menerima luka cukup banyak menantang bertaruh pada orang yang sudah menyerangnya secara bertubi-tubi.

“Lihatlah kondisimu sendiri Zaka!” protes Meli.
“Meli dengarkan ini, meski kita kabur maka kecil peluangnya kita bisa benar-benar lolos dari orang-orang ini karena tubuh kita sudah seperti ini, jadi jika ingin benar-benar lepas dari kejaran orang-orang ini maka kita harus segera membunuh mereka sekarang juga,” jelas Zaka.
“Tapi apa kita bisa menang?” tanya Zaka.
“Kita pasti menang, percayalah pada kemampuan dirimu sendiri dan temanmu,” ucap Zaka.
“Siapa yang kalah harus memenuhi permintaan dari yang menang, dan yang menang bebas meminta apa saja pada yang kalah,” jelas Zaka.
“Kau benar-benar sudah bosan hidup ya?” sindir Zaka.
“Apa kau sadar dengan posisi dan keadaanmu saat ini?” tanyaku.
“Apa kau takut?” ejek Zaka.
“Aku percaya pada kemampuanku sendiri dan Meli bahwa kami bisa mengalahkan kalian,” ucap Zaka.
“Baiklah ini pemakamanmu,” sindir Lia.

Kepercayaan diri Zaka begitu besar sampai berani menantang kami bertaruh meskipun ia menyadari tentang posisi dan keadaannya, ia dan Meli sudah mendapat luka yang cukup lumayan tapi keberanian Zaka memang aku akui. Ia tidak gentar sedikit pun menghadapi lawannya meski kondisinya sendiri jauh dari kata baik, karena tak ada pilihan lain aku harus menerima tantangannya karena memang aku ingin menyelesaikan masalah ini dan pertarungan melawan dua kriminal berbahaya ini dimulai kembali.

PANDORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang